Haya bersembunyi di lantai 7 kantor polisi. Ia sedang duduk menangis di atap sendirian. Perasaannya benar-benar kesal dan marah.
Selama ini ia percaya pada timnya di Divisi Barang Hilang. Tapi kedua seniornya itu sangat tega menghinanya!
Apakah salah seorang perempuan ingin menjadi polisi hebat yang menangani banyak kasus? Apakah hanya laki-laki saja yang boleh menangkap penjahat?
Rasanya Haya ingin membalas perlakuan para seniornya. Ia tidak akan diam saja ketika di bully seperti ini!
Haya menghapus air matanya. Ia bertekad memberi pelajaran kedua seniornya: Ajun dan Roi. Haya ingin lihat seberapa menyesalnya mereka berdua karena sudah membuatnya sedih dan marah seperti ini.
Dengan langkah cepat Haya turun ke lantai 2. Dengan mengendap-endap ia masuk ke ruangan Divisi Barang Hilang. Kali ini ruangan sepi. Karena semua tim sedang rapat dengan Kapten Alan di ruang meeting.
Haya langsung ke meja kedua seniornya yang menyebalkan itu. Dia menemukan kedua kunci sepeda motor mereka tergeletak di atas meja. Buru-buru Haya mengambilnya dan bergegas ke lantai 1.
Ia keluar dari gedung kantor polisi dan berencana pergi parkiran sepeda motor. Sebelum menuju parkiran, Haya mengambil pasir di dekat taman depan kantor polisi. Ia punya rencana dengan pasir itu.
Begitu sampai di parkiran sepeda motor, mata Haya langsung menelusuri deretan sepeda motor yang sedang parkir. Ia mencari dua sepeda motor Honda CBR 150R yang biasa dipakai oleh kedua seniornya, Roi dan Ajun itu.
Target pertama, motor Ajun yang berwarna hitam. Haya membuka tangki bahan bakar motor lalu memasukkan pasir ke dalamnya.
Target kedua, motor Roi yang berwarna merah menyala. Haya kembali melakukan yang sama. Ia memasukkan pasir ke dalam tangki bahan bakar.
"Kita lihat apakah setelah ini kalian bisa menertawakanku lagi atau enggak?" Haya tersenyum puas melihat perbuatannya.
Ia tidak sabar melihat kedua seniornya tidak bisa menyalakan motor mereka. Apalagi hari ini, mereka berdua harus mengurus setumpuk laporan barang hilang. Pasti mereka akan pulang larut malam. Pasti mereka akan kesulitan untuk pulang.
Haya mau berbalik badan. Tepat di depannya, Kapten Ji sedang melipat tangan.
"Sudah puas?" tanya Kapten Ji dingin.
Sial, batin Haya.
Dengan takut Haya berusaha menyembunyikan kedua kunci motor senionya di balik punggung.
"Eh, Kapten. Tumben ada di sini?" Haya berusaha mengalihkan pembicaraan.
Kapten Ji hanya bisa geleng-geleng kepala. "Ikut aku, Haya."
Dengan merunduk, Haya mengikuti langkah Kapten Ji yang berjalan menuju kantin kantor polisi. Ia menduga Kapten Ji akan mengomelinya habis-habisan. Pasti sehabis ini Kapten Alan akan tahu dan menghukumnya.
Mati aku, Haya mengutuk dirinya sendiri.
Kapten Ji memesan kopi dan milkshake untuk Haya. Haya benci kopi dan Kapten Ji tahu itu. Menurutnya kopi adalah minuman paling tidak enak di dunia ini. Rasanya pahit. Baunya seperti abu terbakar. Intinya Haya tidak akan pernah minum kopi.
"Aku udah mendengar semuanya dari Erika," Kapten Ji memulai pembicaraan.
"Erika?" Haya tidak percaya sahabatnya mengadukan dirinya pada Kapten Ji.
"Roi dan Ajun memang salah karena sudah meremehkanmu, tapi membalas mereka dengan cara seperti itu …." Kapten Ji sampai kehabisan kata-kata menggambarkan betapa bodohnya sikap Haya tadi.
"Mereka duluan yang salah. Mereka yang meremehkanku terlebih dahulu, Kapten," Haya sangat emosional.
"Iya aku tahu. Tapi ada cara lain untuk membalas mereka. Karena perbuatanmu, mereka akan kesulitan pulang hari ini," Kapten Ji mendecakan lidah.
Bodoh amat, batin Haya kesal.
Haya sama sekali tidak peduli dengan nasib motor apalagi nasib kedua seniornya itu. Dia lebih suka mereka berdua kesulitan!
"Kalau ayahmu tahu soal ini…" Kapten melanjutkan.
"Kapten mau cerita ke ayah?" Haya panik.
Sejak masuk akademi, Kapten Ji selalu mengancam Haya dengan kata-kata "kalau ayahmu tahu." Memang Kapten Ji tidak akan setega itu melaporkan Haya pada ayahnya. Tapi perkataan itu cukup efektif untuk membuat Haya berhenti melakukan hal-hal bodoh selama ini.
Kapten Ji mengangguk. "Tentu saja. Kalau aku sebagai senior sekaligus atasanmu gak bisa menasehatimu, mungkin Inspektur Jendral Ardi bisa melakukannya."
Inspektur Jendral Ardi adalah ayah kandung sekaligus orang yang dulunya suka menantang keputusan Haya menjadi polisi. Ayahnya dulu mengepalai Kantor Polisi di Bandung. Sebelum ayahnya pensiun, Haya menghabiskan sebagian besar masa remajanya di Kota Kembang itu.
"Kapten, jangan bawa-bawa ayah dong. Kan Kapten, tahu sendiri ayah itu tempramen orangnya. Nanti aku disuruh keluar dari kepolisian dan menikah," kata Haya ketakutan. Ia memohon pada Kapten Ji.
Dari semua hal yang ditakuti Haya di dunia ini, ia paling takut dengan kemarahan ayahnya. Apalagi menyangkut pekerjaan atau pendidikan.
….
Empat tahun yang lalu…
"Pokoknya ayah gak akan setuju kamu jadi polisi. Titik!" kata ayah tegas.
Inspektur Jendral Ardi, sekaligus ayah Haya adalah pria berusia hampir berusia 60 tahunan yang gagah. Ayah Haya memiliki bentuk wajah oval dengan kumis dan jangggut putih menghiasi wajahnya. Sekilas wajahnya persis dengan Haya. Atau bisa di bilang mirip Haya malah.
"Pokoknya aku cuman mau jadi polisi. Titik!" kata Haya gak mau kalah.
Ayah berkacak pinggang. "Kamu ini gak tahu beratnya dunia polisi. Kamu juga gak tahu seberapa bahayanya menjadi polisi perempuan itu. Kamu pikir menangkap penjahat itu sekedar main petak umpat, hah?!"
"Ayah, kan belum tahu kemampuanku. Meskipun perempuan sejak kecil aku udah pandai bela diri dan menembak lho, Yah. Aku yakin bisa jaga diri," Haya menjelaskan.
Ayah menghela napas frustasi. Dari ketiga anaknya, hanya putri bungsunya inilah yang paling susah dinasehati. Haya selalu keras kepala.
"Oke. Kalau kamu jadi polisi silahkan. Tapi kalau kamu sampai bikin ulah selama di akademi atau bahkan di dunia kepolisian, ayah akan langsung minta atasan mecat kamu. Setelah itu kamu harus langsung nikah sama anaknya teman ayah. Deal?" ayah menantang Haya.
"Oke kalo gitu," Haya menjabat tangan ayah. Ia setuju dengan kesepakatan yang ditawarkan ayahnya.
Sementara itu, ibu hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan suami dan putrinya yang sama-sama keras kepala.
….
"Oke, aku akui kalau memasukkan pasir ke tangki bahan bakar motor senior sangat kekanak-kanakan," kata Haya sambil merundukkan kepalanya.
Kapten Ji meneguk kopi.
"Aku siap dihukum asal ayahku gak diberi tahu soal ini, Kapten," Haya memohon.
Tiba-tiba Kapten Ji menepuk-nepuk pundak Haya.
"Baiklah, Haya. Aku gak akan melaporkan ini semua ke ayahmu. Aku juga gak akan menghukummu," kata Kapten pada akhirnya.
Haya sangat lega.
"Haya, aku yakin suatu hari nanti kamu akan jadi seorang polisi yang hebat. Kamu bisa memecahkan kasus dan menangkap orang jahat. Percayalah," Kapten Ji menyemangati Haya. "Pokoknya aku akan melihatmu sukses sebelum aku mati."
"Kapten, jangan dikit-dikit bilang mati dong. Aku yakin Kapten Ji akan berumur panjang," kata Haya.
Kapten tertawa kecil. Ia bangkit berdiri.
"Kembalilah ke divisimu. Dari tadi Kapten Alan mengomel mencarimu kemana-mana. Sampai pusing aku mendengarnya. Satu lagi, aku akan menghukum kedua seniormu itu nanti," kata Kapten Ji.