Jam sudah menunjukkan pukul 21.00. Haya dan seluruh tim yang akan melakukan misi penangkapan bandar narkoba bernama Ibas sudah berkumpul di klub malam. Ibas dipastikan akan melakukan transaksi jual beli dengan klien di klub ini.
Haya sudah berganti pakaian dengan seragam pelayan. Ia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Tak lupa Haya juga mengenakan dasi kupu-kupu.
Aku benar-benar terlihat seperti pelayan sungguhan, batinnya senang ketika berkaca.
Saat sedang memasang sepatu, Kapten Ji muncul.
"Haya, apa kamu siap?" tanya Kapten Ji.
"Tentu saja, Kapten. Ini kan misi pertamaku," kata Haya senang. Ia sangat senang sampai jantungnya terasa melompat-lompat.
Kapten Ji tersenyum. Ia senang bisa mewujudkan salah satu impian Haya.
"Oh ya, aku mau kamu membawa ini," Kapten Ji menyerahkan sebuah kalung dengan liontin huruf H.
"Ini untukku?" Haya memandangi kalungnya dengan mata berbinar-binar.
"Sebenarnya aku mau memberinya saat ulang tahunmu nanti. Tapi aku berubah pikiran. Aku ingin memberikan ini di misi pertamamu, Nak," kata Kapten Ji senang.
"Makasi banyak, Kapten," kata Haya terharu. Ia langsung memakai kalung itu.
"Satu lagi. Aku harap kamu membawa ini juga nanti," Kapten Ji menyerahkan sepucuk senjata api pada Haya.
Haya bingung. "Kenapa aku harus membawa ini? Bukannya aku nanti gak ikut menangkap?"
Dalam misi penangkapan ini, hanya anggota Divisi Inteligen yang diizinkan membawa senjata api. Haya tadi melihat Ethan meletakkan pistol di kakinya tersembunyi di balik celana.
"Bawalah. Jika terjadi apa-apa jangan segan-segan untuk melindungi diri," kata Kapten Ji serius. Haya bisa membaca ada nada khawatir di suara seniornya ini.
"Tapi… apakah misi kali ini…"
"Setiap misi selalu berbahaya, Anakku. Ingatlah apapun yang terjadi jangan lupa melindungi rekan satu timmu. Tapi yang terpenting juga jangan lupa untuk melindungi dirimu terlebih dahulu. Jangan berkelahi ataupun berusaha menangkap penjahat. Mengerti?" kata Kapten Ji sungguh-sungguh.
"Baik, Kapten."
Haya meletakkan pistol di kakinya.
….
Seluruh tim Divisi Inteligen dan tim penyamaran sudah berada di posisi mereka masing-masing. Haya bersama dengan dua rekan yang menyamar menjadi pelayan memulai aksi. Kali ini mereka mengantar minuman-minuman ke meja para tamu.
Semua terlihat normal. Penyamaran seluruh tim terlihat natural. Mereka terlihat seperti staf klub malam pada umumnya.
Ethan dan beberapa anggota Divisi Inteligen menyamar sebagai pengunjung. Mereka duduk menyebar sambil menunggu kedatangan Ibas.
Tak lama, seorang pria botak dengan perut buncit masuk ke dalam klub. Ia di sambut oleh gadis-gadis penghibur.
Haya tahu itu Ibas. Ia sudah melihat foto pria itu dari rapat tempo hari. Ibas duduk di salah satu meja yang tak jauh dari tempat Ethan duduk.
"Pelayan," Ibas memanggil salah satu pelayan.
Haya otomatis memberanikan diri berjalan ke arah pria itu.
"Mau pesan apa, Pak?" tanya Haya berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegub kencang.
"Saya mau pesan Mojito dan Martini," kata Ibas.
Haya segera mencatat pesanan lalu berbalik pergi. Ia menyerahkan pesanan Ibas pada Deka, rekannya dari Divisi Orang Hilang yang menyamar menjadi bartender.
Selagi menunggu minuman Ibas dibuat, Haya memperhatikan sekeliling. Ia melihat beberapa pria berkemeja duduk di sekitar Ibas. Sekilas, orang akan menganggap pria-pria itu tamu. Tapi Haya tahu mereka bukan tamu biasa.
Mata mereka sibuk melirik sekitar. Mereka juga duduk begitu tegang ketika seorang pria bule bermata biru menghampiri Ibas. Sepertinya itu klien Ibas.
"Ada delapan pria yang duduk di sekitar Ibas. Mereka memakai kemeja hitam, merah, biru dan putih," Haya berbisik pada Deka.
"Sepertinya mereka meletakkan pistol di kaki. Lalu ada yang membawa pisau di pinggang," Deka menimpali.
Haya melirik. Ia memperhatikan kaki keempat orang itu. Benar, di kaki mereka seperti ada bayangan pistol yang tersembunyi di balik celana. Ada pula yang menyelipkan pisau di pinggang. Haya sangat kagum dengan mata Deka yang begitu jeli.
Seperti dugaan Kapten Ji kemarin, Ibas pasti bertransaksi dengan membawa anak buahnya. Kata Kapten Ji transaksi narkoba itu paling beresiko dengan penipuan sehingga membawa pasukan dan senjata api adalah suatu kewajiban.
Kapten Ji paling takut kalau transaksi ini gagal lalu kedua belah pihak saling baku tembak. Bisa mengancam nyawa pengunjung lainnya.
"Tolong laporkan ini ke tim lainnya," pinta Haya.
Deka selesai membuat minuman. Haya pun mengantar kedua minuman itu ke meja Ibas. Ketika menaruh minuman itu, Haya mendengar Ibas berbicara dengan pria bule itu dalam Bahasa Inggris.
"Ethan, tunggu aba-abaku. Saat si bule itu menyerahkan cek, langsung dekati mereka," kata Kapten Ji di earphone. Haya bisa mendengar karena ia memakai earphone juga.
"Baik," jawab Ethan.
Di saat si bule menyerahkan cek pada Ibas, Ethan mulai bangkit berdiri dan berjalan santai ke arah Ibas.
Tapi tanpa disangka, salah satu dari anak buah Ibas menjatuhkan pistol. Si bule langsung menoleh. Ia bangkit berdiri dengan marah.
Si bule mengeluarkan pistol dan menodongkannya pada Ibas.
"Do you want to betray me?!! (Apa kamu mau mengkhianatiku?!!)" tanya si bule itu marah. Ia kesal karena Ibas membawa anak buah dengan senjata api.
"No (Tidak)," Ibas buru-buru menggeleng.
Anak buah Ibas yang melihat si bule menodongkan pistol langsung mencabut pistol dari kaki mereka. Mereka balik menodongkannya pada si bule.
Beberapa pria berbaju hitam muncul tiba-tiba dari belakang sambil membawa pistol. Sepertinya itu anak buah si bule.
Sedetik kemudian, baku tembak tidak bisa dihindarkan. Seluruh pengunjung langsung merunduk ke lantai begitu pula dengan Haya dan anggota tim lainnya.
"Seluruh tim, lindungi diri," perintah Kapten Ji dari earphone.
Haya berjalan mengendap-endap ke belakang meja bartender.
"Situasinya kacau," kata Deka.
Sementara itu, anggota Divisi Inteligen menghampiri Ibas dan si bule. Mereka menembak salah satu anak buah Ibas yang berusaha menembak mereka.
Ibas tahu kalau yang baru saja menembak anak buahnya adalah polisi. Ia buru-buru lari ke arah pintu keluar. Untungnya di pintu keluar sudah ada anggota Divisi Inteligen yang menghadang.
Anggota Divisi Inteligen lainnya masih baku tembak dengan anak buah Ibas, si bule dan anak buah si bule.
Melihat pemandangan itu, Haya langsung merasa dirinya seperti berada di film action. Adegan baku tembak ini sungguh menyeramkan. Haya bahkan melihat salah satu anggota Divisi Inteligen ada yang tangannya tertembak.
Haya berusaha memutar otak. Dia tidak bisa bersembunyi di sini. Dia tidak bisa membiarkan para penjahat itu lolos apalagi melukai rekan-rekannya.
"Deka, tolong cari Kapten Ji," katanya pada Deka.
Tanpa di perintah Haya berlari ke arah pintu keluar. Ia ingin membantu anggota Divisi Inteligen menangkap Ibas. Haya juga menarik pistol dari kakinya.
Ketika sampai di dekat pintu keluar, Haya sangat kaget. Ia tidak menyangka Ibas yang bertubuh gemuk sangat jago berkelahi. Terbukti anggota Divisi Inteligen sampai kewalahan melawan pria itu.
Tak beberapa lama anak buah Ibas muncul dan membantu Ibas. Mereka memukuli anggota Divisi Inteligen. Haya ingin membantu tapi Kapten Ji bilang dia tidak boleh berkelahi.
Apa yang harus aku lakukan, batinnya bingung.
Mata Haya tiba-tiba melihat sesosok pria tinggi yang terpaku melihat perkelahian. Ia tidak bisa bergerak dari tempatnya berdiri. Haya memberanikan diri menghampirinya. Lalu ia menyambar tangan pria itu.
"Cepat pergi," katanya sambil menarik pria itu.
Mau tidak mau pria itu menurut. Haya dan pria tinggi itu berlari keluar klub malam. Mereka berlari meninggalkan suara-suara tembakan yang terdengar keras di belakang mereka.