Erika sedang membantu Haya mengemasi barang-barangnya. Hari ini Haya resmi keluar dari rumah sakit setelah satu minggu penuh dirawat.
Dan baru-baru ini Haya sudah bisa berjalan lancar. Ia sudah tidak perlu menggunakan kursi roda lagi.
"Oh ya ibumu tadi menelponku," kata Erika.
"Ibuku?"
Erika mengangguk. "Katanya ibu dan ayahmu sudah dengar kalau kamu mengalami kecelakaan di misi. Mereka katanya akan segera pulang ke Jakarta."
Mata Haya membelalak. "Siapa yang memberi tahu mereka tentang kecelakaan ini?"
"Entahlah. Mungkin Mayor Agung atau Kapten Alan," jawab Erika asal.
Sial sial sial, Haya mengutuk dalam hati.
Selama seminggu terakhir ini ia sudah bersusah payah menyembunyikan kecelakaan misi ini dari kedua orang tuanya yang sedang berada di Singapore. Ia tidak ingin mereka khawatir. Terutama ia tidak ingin sang ayah marah.
Ayah itu punya ketakutan jika anak perempuan satu-satunya ini terluka. Oleh karena itu, ayah selalu melarang Haya menjadi polisi. Menurut ayah pekerjaan polisi terlalu berbahaya untuk anak perempuan.
"Ayah akan membunuhku setelah ini," kata Haya cemas.
"Mana mungkin," sanggah Erika. "Waktu di telpon tadi ayahmu benar-benar cemas kok."
Haya hanya memandang Erika dengan tatapan tidak percaya. Ia jauh lebih percaya kalau ayahnya akan memarahinya sepulang dari Singapore.
….
Haya berjalan santai menuju kantor polisi. Hari ini Senin. Hari pertamanya bekerja setelah dinyatakan sembuh total oleh dokter.
Suasana kantor polisi tidak berubah. Banyak orang masih lalu lalang. Sayangnya Haya tidak menganggap demikian. Baginya kantor polisi tanpa Kapten Ji terasa sangat berbeda.
Biasanya setiap ia sampai ke kantor polisi, Kapten Ji pasti menyapanya sambil mengunyah donat. Lalu saat mereka berpapasan makan siang di kantin, Kapten Ji akan memberinya kue ataupun buah. Katanya Haya sudah bekerja terlalu keras sehingga perlu banyak makan.
Terakhir saat Haya lembur bekerja, Kapten Ji biasanya akan mampir ke Divisi Barang Hilang sekedar untuk berkata, "jangan pulang kemalaman. Kamu bisa sakit nanti."
Sayangnya semua itu sudah tidak akan Haya temui lagi. Tidak akan ada pria tua yang menyapanya sambil makan donat, tidak ada pria tua yang memberinya makanan dan tidak ada pria tua yang mencemaskannya kerja lembur.
"Haya," panggil seseorang dari belakang.
Ethan berdiri sambil menatap Haya dengan pandangan heran. "Apa kamu baik-baik aja? Kamu melamun."
Yang dimaksud Ethan dengan melamun adalah dirinya yang sedang berdiri di lorong kantor polisi dengan tatapan kosong.
"Ah, aku baik-baik aja kok," kata Haya.
"Syukurlah. Aku dengar kondisimu sudah membaik dari Erika," kata Ethan sambil menemani Haya berjalan menuju ruang divisinya.
Haya hanya tersenyum.
"Nanti siang, Mayor Agung memanggil kita ke ruang rapat. Jadi jangan terlambat ya," katanya sambil melambaikan tangan. Lalu Ethan menghilang di ujung lorong.
Haya menggaru-garuk rambutnya. Ratusan pertanyaan memenuhi pikirannya. Terutama soal rapat dengan Mayor Agung.
….
Mayor Agung duduk tegang di hadapan seluruh tim yang kemarin menangani kasus Ibas. Haya bisa melihat wajah kusut dan mata lelah yang terpancar dari raut wajahnya. Sepertinya Mayor Agung bekerja terlalu keras akhir-akhir ini sampai kurang istirahat.
"Selamat siang," Mayor Agung memberi salam.
"Selamat siang," balas seluruh orang yang hadir.
"Hari ini secara resmi saya mau menyampaikan kalau kita kehilangan salah satu rekan yang sudah banyak berjasa untuk negara ini, Kapten Adji Pangestu. Saya tahu selama ini ia sudah bekerja keras di kepolisian," kata Mayor Agung.
Mendengar nama Kapten Ji, hati Haya terasa pedih. Ia jadi teringat momen terakhirnya bersama pria tua itu. Di akhir nafasnya, Kapten Ji berkarta pada Haya "hiduplah."
Ya sekarang Haya memang hidup. Tapi hatinya sedih menerima kenyataan seperti ini.
"Misi kita menangkap bandar narkoba bernama Ibas gagal. Kita hanya berhasil menangkap anak buah Ibas. Tapi pria itu menghilang. Sekarang kita sedang melakukan penyelidikan untuk mencari keberadaan Ibas," kata Mayor Agung.
"Oleh karena itu, seluruh tim penyamaran akan kembali pada divisi mereka masing-masing. Lalu Divisi Inteligen akan mulai melakukan misi mencarian Ibas," tambah Mayor Agung,
Haya mengangkat tangannya.
"Officer Haya dari Divisi Barang Hilang ingin mengajukan pertanyaan, Mayor," kata Haya.
"Silahkan."
"Mayor, bolehkah saya pindah ke Divisi Inteligen?" tanya Haya blak-blakan dihadapan semua orang. Orang-orang di dalam ruang rapat kaget. Mereka berbisik-bisik tentang betapa beraninya Haya meminta pindah divisi.
"Saya ingin menangkap pembunuh Kapten Ji. Karena kematian Kapten Ji bukan sekedar kecelakaan misi. Tolong pindahkan saya ke Divisi Inteligen," Haya memberi tahu alasannya.
Mayor Agung menatap Haya sambil menghela napas. Gadis ini selalu minta pindah divisi, batinnya. "Officer Haya, permintaanmu tidak bisa diterima."
"Kenapa, Mayor?" Haya mempertanyakan keputusan Mayor Agung. Suasana ruang rapat mendadak tegang.
"Kamu masih terlalu muda dan belum punya pengalaman. Lagipula tes untuk masuk Divisi Inteligen baru ada tahun depan. Kedua, kematian Kapten Ji adalah sebuah kecelakaan misi. Kita tidak pernah tahu siapa yang menembak Kapten Ji. Jadi kembalilah ke Divisi Barang Hilang," kata Mayor Agung tegas.
"Tapi saya melihat sendiri si pembu…"
"Officer Haya!" bentak seseorang tiba-tiba. Itu adalah Kapten Amir dari Divisi Hubungan Masyarakat. "Beraninya seorang officer membantah perintah atasan!"
Kapten Amir adalah seorang pria kurus berumur 40an. Wajahnya kotak dengan kumis tipis. Kapten Amir dikenal sebagai orang yang keras dan pemarah. Ketika ada officer yang tidak disiplin, Kapten Amir akan maju di garis terdepan untuk menghukum orang itu.
Beberapa waktu lalu, seniornya di Divisi Barang Hilang, Ajun datang terlambat untuk ikut upacara bendera. Kapten Amir menghukum Ajun berlari memutari lapangan 20 kali tanpa boleh berhenti.
Oleh karena itu, Haya berhenti melawan. Ia tahu di hadapan Kapten Amir dirinya tidak akan menang. Pria menyebalkan itu akan menghukumnya jika ia berani mengeluarkan sepatah kata lagi.
"Baik, rapat kita akhiri sampai di sini," kata Mayor Agung menyudahi rapat. Ia merasa tidak ada yang perlu dibahas lagi.
Semua orang berdiri, memberi hormat pada Mayor Agung dan berjalan keluar ruangan.
Lalu Kapten Amir mengikuti Mayor Agung keluar ruangan sambil menatap Haya dengan sinis. Sepertinya pria itu tidak menyukai Haya.
Ethan menuju ke arah Haya. Pria itu menepuk-nepuk bahu Haya. "Pulanglah lebih awal. Wajahmu sangat pucat sekarang."
Ethan bersimpati dengan keadaan Haya. Ia tahu kehilangan Kapten Ji adalah sebuah pukulan berat untuk gadis itu. Mungkin Haya hanya perlu waktu untuk menerima kenyataan.
Sementara itu, Haya hanya bisa terduduk lemas di kursi di dalam ruang rapat. Ia sangat sedih. Mayor Agung tidak percaya kata-katanya. Ia melihat sendiri kalau Kapten Ji ditembak. Apakah itu bukan pembunuhan?
Meski tidak melihat wajahnya, Haya ingat betul bahwa si pembunuh memiliki sebuah tato berbentuk kompas di lengan kanannya. Tapi kemana ia harus mencari pembunuh itu? Mayor Agung menolaknya masuk Divisi Inteligen! Haya bahkan merasa dirinya akan terjebak di Divisi Barang Hilang selamanya.