Dua tahun kemudian ….
Haya dan Erika berjalan santai di pinggiran kota Jakarta. Hari ini Sabtu. Haya ingin sekali menikmati akhir pekan damai.
Beberapa minggu terakhir Haya selalu mendapat tugas tambahan setiap akhir pekan. Ada saja kasus barang hilang yang membuatnya kerepotan. Yang paling parah terjadi seminggu lalu. Seorang wanita tua kehilangan kalung warisan keluarganya. Wanita tua itu menangis berjam-jam di kantor polisi. Haya sampai bingung bagaimana menenangkan wanita itu.
Gara-gara wanita tua itu, Haya sampai pulang larut malam. Wanita itu bersikukuh baru akan pulang setelah kalung warisannya ditemukan polisi. Mana mungkin sebuah barang langsung ketemu dalam waktu satu hari?!
Mengingat kejadian itu Haya ingin sekali mengumpat kesal. Pekerjaannya sudah sangat banyak. Plus Kapten Alan, kepala Divisi Barang Hilang malah memberinya mandat membantu wanita tua itu.
Haya bisa melihat tawa kemenangan dari Ajun dan Roi, seniornya di Divisi Barang Hilang. Mereka senang karena pekerjaan menyusahkan itu diberikan pada Haya.
Lalu Haya dan Erika berjalan masuk ke rumah tua era Belanda yang disulap menjadi bar. Menurut kabar tempat itu punya desain interior yang unik karena bernuansa era 40an. Dalam benaknya, Haya sudah tidak sabar mencicipi segelas tequila sambil menikmati suasana tempo dulu.
Ruang bar ini didesain sangat klasik. Banyak sekali foto hitam putih yang menampilkan wajah Bung Karno, guci tua dan foto-foto di era kemerdekaan.
"Rasanya kayak kembali ke jaman dulu ya," kata Haya sambil menyesap tequilanya. Tequila terasa dua kali lebih enak ketika diminum sambil bersantai.
Erika mengangguk setuju. Ia memesan segelas cocktail dan mulai menikmatinya.
"Aku pengen deh sering-sering ke sini," kata Erika.
Tidak ada hal yang lebih menyenangkan daripada rehat sejenak di sebuah bar sambil menikmati minuman beralkohol. Meskipun Haya dan Erika bukan tipe peminum berat, mereka cukup menyukai alkohol dalam jumlah kecil tentunya.
"Rika, aku pergi ke toilet sebentar ya," kata Haya sambil bangkit berdiri.
Toilet di bar itu berada di bangun terpisah dengan bangunan utama. Haya harus berjalan ke halaman belakang untuk mencapai toilet.
Sewaktu hendak masuk ke dalam toilet, Haya bertabrakan dengan seorang pria.
"Maaf," Haya buru-buru meminta maaf pada pria yang ditabraknya.
"Oh gak apa-apa," kata pria itu.
Sewaktu melihat wajah pria yang ditabraknya, Haya terkejut. Wajahnya sangat familiar. Haya memperhatikan pria itu berjalan menuju bangunan utama bar. Tubuhnya gemuk dan kepalanya botak.
Haya berpikir keras. Dimana ya aku pernah bertemu orang itu, batinnya.
Tiba-tiba ingatan Haya muncul. Itu Ibas! Ya itu adalah Ibas si bandar narkoba yang gagal ditangkap Divisi Inteligen 2 tahun lalu.
Buru-buru Haya memfoto pria itu. Lalu Haya berlari masuk ke dalam toilet. Dengan tangan tergesa-gesa Haya mencari nomor Ethan.
"Halo," sapa Haya ketika telponnya tersambung.
"Halo, Haya. Ada apa?" tanya Ethan.
"Kamu sedang dimana?"
"Aku di kantor polisi sekarang. Kenapa, Haya?"
"Ethan, aku mau tanya soal kasus Ibas 2 tahun lalu. Apakah pria itu sudah berhasil ditangkap?" Haya bertanya dengan deg-degan.
"Sayangnya belum. Emang kenapa, Haya? Tumben nanya begitu," Ethan heran. Ethan heran karena gadis itu hampir tidak pernah membahas pekerjaan di hari libur.
"Ethan, aku tahu ini terdengar gila. Aku ketemu Ibas," kata Haya berusaha menahan suaranya agar tidak menjerit.
"Apa??! Dimana?"
"Di bar tempat aku dan Erika nongkrong," kata Haya. "Aku bakal kirimkan alamat bar dan foto Ibas yang tadi aku potret barusan."
"Oke oke. Aku akan segera menghubungi kantor pusat. Haya, jangan bertindak bodoh. Tunggu sampai kami semua sampai di sana. Jangan menangkap sendiri. Oke?" kata Ethan panjang lebar.
Ethan harus memperingatkan Haya sedemikian rupa mengingat betapa nekatnya gadis itu.
"Oke oke," jawab Haya. Lalu telpon terputus.
Haya keluar dari toilet. Ia berjalan menuju bangunan utama bar. Matanya mencari-cari sosok Ibas.
Ibas rupanya sedang duduk di dekat bartender. Ia sedang menikmati bir dan menghisap cerutu besar.
Haya mengamati sekeliling. Ia yakin kalau Ibas sendirian. Ia tidak terlihat membawa anak buahnya. Ternyata pria itu sudah merasa aman menjadi buronan yang tidak terendus selama 2 tahun ini hingga berani pergi tanpa membawa anak buah.
Lalu Haya berjalan ke mejanya kembali.
"Lama amat. Kamu abis ngapain di toilet?" Erika memandang Haya heran.
"Rika, ini bukan waktunya bertanya. Kita harus menangkap Ibas sekarang. Orang-orang dari kantor pusat akan ke sini sebentar lagi," kata Haya.
Mendengar itu, otak Erika berproses. "Ibas si bandar narkoba itu? Dia di sini?"
Haya mengangguk.
"Ini sangat berbahaya. Kita gak boleh bertindak tanpa…"
Erika belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Haya sudah berjalan menuju meja bartender tempat Ibas bersantai.
Sial, umpat Erika dalam hati.
Haya menghampiri Ibas. Ia menepuk bahu pria itu.
"Permisi, apakah Anda adalah Ibas?" tanya Haya untuk memastikan.
Pria bernama Ibas itu memandang Haya dengan bingung. "Iya, benar. Ada apa?"
Tanpa diperintah 2 kali, Haya langsung menarik tangan Ibas dan memelintirnya ke belakang. Ibas menjerit kesakitan.
Seluruh mata pengunjung langsung tertuju pada mereka berdua.
"Apa-apaan ini?!" teriak Ibas marah sambil menahan sakit.
"Kami dari kepolisian mendapat perintah untuk menangkap buronan pengedar narkoba sepertimu, Ibas," kata Haya tegas.
Ibas berusaha melepaskan diri. Sebelum semua itu sempat terjadi Haya sudah menodongkan pistol yang kepala Ibas.
Semua pengunjung berteriak. Mereka sangat takut melihat Haya menodongkan pistol. Bahkan bartender yang awalnya meracik minuman dengan ceria mendadak diam tak berkutik ketakutan.
Haya sangat bersyukur karena ia selalu membawa pistol kemana-mana. Ia sama sekali tidak menyangka usahanya membawa pistol ternyata ada manfaatnya.
"Kalau kamu bergerak atau melawan, kamu bisa mati," ancam Haya serius.
Erika berlari ke arah Haya sambil membawa tali. Dengan cekatan Erika mengikat tangan Ibas dengan simpul mati.
Selang 10 menit kemudian, sirine mobil polisi terdengar. Setidaknya ada 3 mobil polisi terparkir di depan bar.
Para pengunjung panik dan berlari berhamburan keluar bar. Ethan dan para polisi masuk ke dalam bar dan segera mengamankan Ibas.
"Apa kalian gak apa-apa?" tanya Ethan khawatir pada Haya dan Erika.
"Kami baik-baik aja kok," kata Erika sambil tersenyum lega.
Jauh di dalam hatinya, Haya sangat senang. Ia berhasil menangkap orang yang tidak berhasil ditangkap Kapten Ji di masa lalu.
….
Riko berjalan tergesa-gesa masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil bosnya sudah menunggu dengan tidak sabar.
"Bos," Riko memanggil bosnya.
"Bagaimana? Sudah berhasil menangkapnya?" tanya pria itu dingin.
"Kita gagal lagi," wajah Riko memucat. Ia takut sekali akan kena marah bosnya.
Lalu Riko dan bosnya mendengar suara sirine mobil polisi yang masuk ke dalam bar. Riko semakin takut dengan apa yang terjadi saat ini.
"Ada 2 orang polisi yang berhasil menangkap Ibas," kata Riko jujur.
Ekspresi bosnya berubah tegang. Dengan deg-degan Riko menyerahkan tabletnya pada bosnya.
Di dalam tablet itu, Riko telah menyadap CCTV bar. Bosnya menonton rekaman apa yang terjadi di dalam bar.
Bos melihat bagaimana 2 orang polisi wanita menangkap Ibas. Bahkan salah satu dari polisi itu menodongkan pistol ke kepala Ibas.
"Saya minta maaf, Bos," kata Riko sambil merunduk.
Di luar dugaan bosnya memandang Riko dengan senyum. "Akhirnya aku menemukanmu, Haya."