Haya mengucek matanya. Kantuknya belum hilang. Sejak semalam Haya sibuk membaca novel 'Percy Jackson and The Olympians' yang dipinjamnya dari Erika beberapa waktu lalu.
Karena asyik membaca Haya tidak menyadari kalau jam di rumahnya sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Haya buru-buru tidur. Dan bangun terkaget-kaget jam 6 pagi. Alarm berbunyi terlalu keras di kupingnya.
Dari 5 sekuel Percy Jackson, Haya baru saja menyelesaikan dua buku pertama: Pencuri Petir dan Lautan Monster. Sangat seru, menurut Haya.
Haya tipikal gadis yang menyukai novel-novel genre fantasi. Ia sangat suka kisah penyihir, peri bahkan dewi-dewi. Nah kebetulan, novel Percy Jackson ini menceritakan petualangan anak-anak setengah dewa yang harus mengikuti perkemahan. Perkemahan ini dimaksud untuk melatih mereka agar mampu melindungi diri dari para monster.
Yang membuat Haya sangat tergila-gila dengan novel ini adalah karena anak-anak setengah dewa ini punya orang tua seorang dewa sungguhan! Mereka diletakkan di kemah yang sesuai dengan nama orang tua dewa mereka.
Saat sedang asyik membayangkan adegan bertarung, ponsel Haya berdering. Nama ibu muncul di layar ponselnya.
"Halo, Bu," sapa Haya.
"Sudah bangun?" tanya ibu.
"Iya. Baru saja aku bangun," kata Haya.
"Ngomong-ngomong ibu gak jadi pulang minggu depan, Nak," ibu memberi tahu.
Haya berjalan ke arah dapur. "Lho kenapa, Bu?"
"Kayaknya kakak iparmu mau melahirkan minggu depan. Ibu mau di sini menjaga kakak iparmu sampai lahiran deh," ibu memberi tahu.
"Oh."
"Ayahmu senang banget selama di sini. Dia gak sabar punya cucu laki-laki katanya," ibu terdengar sangat senang.
Haya memiliki dua kakak laki-laki. Kakak pertama, bernama Hans yang usianya lebih tua 12 tahun dari Haya. Hans sekarang menetap di Australia bersama istri dan putri kecilnya.
Kakak kedua, bernama Harun yang usianya lebih tua 10 tahun dari Haya. Harun sekarang bekerja di salah satu bank di Singapore. Istri Harun merupakan warga negara Singapore. Sekarang istri kakaknya itu sedang hamil besar.
Oleh karena itu, ayah dan ibu memilih tinggal di Singapore menemani istri Harun yang sedang hamil tua. Kurang lebih mereka sudah tinggal di sana selama 2 bulan terakhir. Sebenarnya yang paling bersemangat soal kehamilan itu ayah Haya. Ia sangat senang ketika tahu akan mendapat cucu laki-laki pertamanya.
"Oke, Bu. Titip salam sama Harun dan Narina ya. Bilangin ke mereka kalau aku akan ke sana setelah bayinya lahir," kata Haya.
"Sip deh."
Telepon terputus.
Haya mengecek kulkas. Ia mengeluarkan buah-buahan dan nugget. Sejak ibu tinggal di Singapore, Haya banyak menyimpan buah dan makanan beku untuk bertahan hidup.
….
Haya bersenandung ceria ketika memasuki kantor polisi. Ia berjalan santai menuju lantai 2 tempat Divisi Barang Hilang berada.
Ketika sudah di depan ruang divisinya, Roi dan Ajun sedang berdiri di depan pintu. Aura muka mereka menunjukkan kemarahan.
"Ngapain kalian di sini?" tanya Haya blak-blakan pada kedua seniornya ini.
Roi maju mendekati Haya. "Kamu kan yang ngadu ke Kapten Ji soal kemarin?"
Otak Haya berproses.
"Apa maksudmu?" tanya Haya bingung.
"Udah deh gak usah sok polos. Aku yakin kamu yang ngadu ke Kapten Ji kemarin," Ajun menuduh Haya.
"Kalian ini pada PMS ya?! Pagi-pagi udah nuduh orang seenaknya!" Haya menyemprot kedua seniornya dengan wajah galak.
Haya mau masuk ke ruang divisinya, tapi tangan Ajun menghalangi pintu.
"Jawab dulu," kata Ajun dengan nada tinggi.
Wah mereka ini mau cari mati, batin Haya.
Haya melipatkan kedua tangannya di dada.
"Pertama, aku gak paham apa yang kalian maksud. Kedua, aku gak pernah ngadu ke Kapten Ji. Puas?"
"Kalau gitu kenapa Kapten Ji menghukum kami? Aku yakin semua itu karena kamu, Haya. Gak mungkin Kapten Ji menyuruh kami berdua menyusun semua laporan Divisi Inteligen selama 10 tahun terakhir!" Ajun benar-benar emosi.
Haya hampir tertawa terbahak-bahak. Menyusun laporan Divisi Inteligen selama 10 tahun terakhir kelihatannya sangat berat untuk mereka.
"Wah, tandanya Kapten Ji percaya sama kemampuan po-li-si laki-laki seperti kalian. Bayangkan tugas berat dan penting milik Divisi Inteligen aja diserahkan pada dua po-li-si laki-laki yang katanya di atas po-li-si perempuan cupu macam aku," Haya memberi penekanan pada setiap kata polisi.
Roi sudah mulai kehilangan kesabaran. Ia berniat memukul kepala Haya. Tapi sebelum itu sempat terjadi, Haya sudah menghindar.
"Kamu udah gila?!" Haya membentak Roi.
Tanpa mempedulikan Haya, Roi kembali akan memukul kepala Haya. Tapi sebuah tangan besar mencengkram tangan Roi.
"Apa ini cara kalian bertengkar dengan junior? Apa kalian gak tahu dia perempuan?" tanya suara itu dingin pada Roi.
Untuk sedetik Haya terkesima dengan pria di depannya ini. Tubuhnya tinggi, rambutnya di sisir rapi ke belakang dan matanya… berwarna coklat tua.
Bukankah ini Ethan, seniornya di akademi dulu? Kenapa dia berubah ganteng sekarang, batin Haya terpukau.
"Gak usah ikut campur deh, Ethan! Ini bukan urusan anak Divisi Inteligen," kata Roi dingin.
"Ada apa ini?" tiba-tiba Kapten Ji muncul.
Langsung Roi dan Ajun ketakutan. Haya dan Ethan juga kaget dengan kehadiran Kapten Ji.
"Kenapa pagi-pagi malah ribut? Apa kerjaan kalian berempat kurang banyak, hah?" suara Kapten Ji menggelegar di sepanjang lorong.
"Ti-tidak, Kapten," jawab Ajun kelagapan.
"Officer Ajun dan Officer Roi kenapa masih di sini? Apa laporan Divisi Inteligen selama 10 tahun terakhir yang kupercayakan pada kalian kurang banyak? Apa perlu aku tambah menjadi 15 tahun?" Kapten Ji menatap kedua officer itu dengan tajam.
"Tidak, Kapten," kata mereka berdua serempak. Lalu lari terbirit-birit ke ruangan arsip Divisi Inteligen.
"Saya pamit juga, Kapten," kata Ethan lalu undur diri.
Haya memperhatikan kepergian Ethan sampai menghilang di ujung lorong. Ethan luar biasa ganteng, batin Haya.
"Sudah puas lihatnya?" kata Kapten Ji lalu menjewer kuping Haya.
"Ahhhh," Haya kesakitan.
"Pagi-pagi sudah bikin keributan. Kamu ini masih junior, Haya! Bisa-bisanya mau berkelahi dengan senior," Kapten Ji sangat kesal.
"Mereka duluan yang mulai," kata Haya masih menahan sakit.
Akhirnya Kapten Ji melepaskan jeweran pada kuping Haya.
"Ya Tuhan, Anakku. Kurang-kurangin bikin masalah lah, Nak. Sekali-kali kamu harus mengalah dengan para senior itu," Kapten Ji menasehati.
Haya malas berdebat.
"Iya, Kapten," kata Haya.
"Aku sampai menghukum mereka berdua untuk membela kamu. Apa kurang cukup?" Kapten Ji benar-benar frustasi.
"Jadi Kapten Ji menghukum kedua senior sialan itu demi aku?" Haya sangat terharu.
Kapten Ji berdeham. "Kecilkan suaramu."
Rasanya Haya ingin sekali memeluk Kapten Ji. Ia tidak menyangka Kapten Ji menghukum Ajun dan Roi demi dirinya.
"Makasi banyak, Kapten," kata Haya ceria lalu masuk ke ruang Divisi Barang Hilang.
Di dalam ruangan, Haya mengeluarkan ponselnya. Ia mulai mengetik pesan untuk Erika.
[Haya: Ri, nanti pas makan siang makan bareng yuk]
Beberapa detik kemudian.
[Erika: Tumben amat. Mau ngutang?]
Dasar gadis sialan, batin Haya.
[Haya: Enggak lah. Aku mau tanya-tanya tentang Ethan]
[Erika: Ciyeee. Ada yang naksir nih]
[Haya: Awas kalau kamu bilang-bilang yang lain]
[Erika: Tenang aja. Mulutku akan selalu terkunci]
Haya tidak sabar menunggu makan siang. Dia ingin bertanya lebih lanjut tentang Ethan.