Sejak kejadian labrak-melabrak, Roi dan Ajun sama sekali tidak menyapa Haya. Setiap bertemu Haya, mereka memilih buang muka atau menghindar. Dan sejak saat itu juga kedua seniornya tidak berani mencari masalah dengan Haya lagi.
Beginilah hidup Haya sekarang. Tenang tanpa mendengar omong kosong kedua seniornya yang sangat mengganggu itu.
Meskipun Haya sudah lepas dari dua seniornya itu, Kapten Ji tidak henti-hentinya mengawasinya. Kapten Ji seolah mengikuti kemanapun Haya pergi seperti sebuah bayangan. Apakah pria tua itu takut Haya membuat ulah lagi?
"Sumpah sampai detik ini aku masih gak percaya kamu melawan para senior itu. Kamu bahkan menghindari pukulan mereka. Keren," kata Erika sambil membawa nampan berisi makan siangnya di meja Haya.
Erika yang bekerja di lantai 3 baru tahu cerita Haya versus Roi dan Ajun dari polisi divisi lain. Berita tentang Haya bahkah sudah menyebar ke seluruh gedung kantor polisi.
"Pantas aja mereka masuk Divisi Barang Hilang. Kemampuan bertarung mereka payah. Masak cuman mukul kepala aku aja gak bisa," cibir Haya.
Erika menggeleng-gelengkan kepala.
"Divisi Barang Hilang gak seburuk itu, Haya. Cuman kedua seniormu itu aja yang payah," Erika berusaha membela Divisi Barang Hilang.
"Iya deh."
"Kamu tuh beruntung banget lho. Udah dibela Kapten Ji, eh dibela Ethan juga. Cewek-cewek di divisiku sampai iri. Mereka mikir kamu pakai susuk lho," kata Erika.
"Susuk? Gila aja aku pakai begituan buat menggaet cowok," Haya geleng-geleng kepala mendengar gosip semacam itu.
"Aku sih juga percaya kamu gak akan pakai ilmu hitam. Lagian Ethan masih single lho. Kamu masih ada kesempatan menggaet dia," Erika menyemangati sambil menyuapkan bubur kacang ijo ke mulutnya.
Mata Haya terbelalak. "Serius?"
Tidak ada kabar yang lebih membahagiakan selain kabar Ethan masih single. Apakah aku punya kesempatan untuk menggaet Ethan, batin Haya berbunga-bunga.
"Sayangnya yang ngantri menggaet Ethan juga banyak," ledek Erika. "Mulai dari cewek-cewek divisiku, cewek Divisi Inteligen bahkan anak ceweknya para pejabat kepolisian mulai tertarik. Jadi kamu harus cepat, Hay."
"Tenang aja. Aku bakal segera mendekati dia," kata Haya percaya diri.
Erika hanya tertawa kecil. "Aku tunggu kabar baiknya."
Haya pun kembali menikmati makan siangnya di kantin. Bangunan kantin terletak di belakang kantor polisi. Area seluar 300 meter persegi ini dapat menampung 100 orang polisi. L
Haya paling suka dengan kantin ini. Bangunan ini paling enak untuk makan dan nongkrong. Ditambah, kantin juga menyediakan makanan Indonesia hingga mancanegara. Jadi para polisi tidak bosan makan makanan Indonesia setiap hari.
Lalu mata Haya menyusuri seluruh area kantin. Setiap divisi biasanya makan semeja. Namun Haya lebih sering makan berdua dengan Erika daripada makan dengan divisinya. Ia malas sekali melihat wajah kedua senior jeleknya itu.
Tiba-tiba sesosok pria tinggi dengan rambut yang disisir ke belakang berjalan mendekat ke arahnya. Pria itu tersenyum pada Haya. Itu Ethan.
"Hai, guys," sapa Ethan langsung duduk di samping Haya.
Erika langsung tersedak kaget.
"Kamu gak apa-apa?" Ethan khawatir melihat Erika tersedak.
Haya dan Erika tidak menyangka Ethan, senior mereka di akademi datang untuk makan semeja dengan mereka.
"Oh ya, aku sering melihat kalian berdua sewaktu di akademi dulu. Kamu Erika kan?" tanya Ethan.
Erika mengangguk.
"Dan kamu pasti Haya," kata Ethan pada Haya.
Haya mengangguk.
"Kapten Ji, banyak bercerita tentangmu," kata Ethan sambil tertawa.
Kenapa pria tua itu cerita tentangku di depan Ethan sih, batin Haya bingung. Di satu sisi ia tersipu malu. Di sisi lain ia kesal dengan Kapten Ji.
"Senior, tumben sekali duduk di sini?" tanya Haya sopan. Di kantor polisi, junior harus memanggil kakak kelas dengan sebutan 'senior' atau nama pangkat mereka.
Sayangnya Haya terlalu malas melakukan itu. Di Divisi Barang Hilang, dia akan memanggil kedua senior laki-lakinya, Roi dan Ajun dengan langsung menyebut nama mereka. Padahal mereka berdua beberapa tahun lebih tua dari Haya.
Haya tidak bisa membohongi dirinya. Jantungnya berdebar-debar senang karena Ethan duduk di sebelahnya.
Ethan tersenyum.
"Gak usah terlalu formal. Panggil aku Ethan aja. Aku ke sini cuman mau memberi tahu kalau Divisi Inteligen sebentar lagi akan menyelidiki kasus baru. Karena kasus ini akan memerlukan penangkapan langsung pelaku di TKP jadi kami harus melakukan misi menyamar."
"Masalahnya, misi menyamar ini perlu banyak orang. Jadi perlu bantuan dari divisi lain untuk misi ini," Ethan melanjutkan.
"Lalu?" Haya penasaran.
"Apakah kamu mau masuk tim misi penyamaran?" Ethan menawarkan.
Haya sampai kehabisan kata-kata mendengar omongan Ethan barusan. Entah kebaikan apa yang sudah Haya lakukan hari ini. Kenapa tiba-tiba ia mendapat tawaran langka seperti ini?
Apakah ini nyata atau mimpi? Apakah sekarang ia bisa benar-benar melakukan sebuah misi? Apa ini pertanda baik?
"Haya?" Ethan melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Haya.
Haya mengerjap. "Ya-ya. Aku mau, Ethan."
"Baiklah. Kalian bisa melanjutkan makan siang. Aku pergi dulu. Sampai bertemu di tim misi penyamaran," kata Ethan sambil bangkit berdiri.
Sebelum Ethan berjalan pergi, Haya memanggilnya. "Ethan, terima kasih karena memberiku kesempatan ini."
"Berterima kasihlah pada Kapten Ji. Dia yang meminta Mayor Agung agar boleh mengajakmu di misi penyamaran ini," kata Ethan.
….
Haya berlari membabi buta ke ruang kerja Kapten Ji. Ia ingin sekali bertemu dengan instruktur sekaligus seniornya itu.
Dalam hidupnya, Haya tidak menyangka Kapten Ji begitu peduli dan menyayanginya seperti anak sendiri. Selain selalu membela Haya, pria tua ini juga membuka peluang emas agar Haya bisa mencicipi rasanya bergabung dalam salah satu misi Divisi Inteligen.
"Kapten Jiiiiii," Haya berlari dan langsung memeluk Kapten Ji yang sedang sibuk mengetik.
"Astaga," Kapten Ji sangat terkejut dipeluk Haya tiba-tiba.
"Terima kasih karena sudah memberiku kesempatan," kata Haya sambil meneteskan air mata terharu.
Haya melepaskan pelukannya.
Kapten Ji tersenyum. Ia sangat senang melihat Haya tersenyum bahagia seperti ini.
"Kamu sudah dengar semuanya dari Ethan ya?" tanya Kapten Ji memastikan.
Haya mengangguk. "Tanpamu, aku tidak akan pernah punya kesempatan menjalankan misi sungguhan.
Kapten Ji menepuk-nepuk bahu Haya.
"Lakukanlah yang terbaik di misi ini. Tunjukkan pada Mayor Agung kalau kamu pantas ikut tes dan bergabung dengan Divisi Inteligen, Nak," Kapten Ji menasehati.
"Makasi banyak, Kapten," Haya mengangguk keras.
"Jangan cuman makasi aja. Sekali-kali teraktir pria tua ini makan atau minum," kata Kapten Ji.
"Oke. Aku akan menraktir. Tapi kita gak boleh minum alkohol. Kata ayah, Kapten Ji harus berhenti minum kalau mau umur panjang," Haya memperingatkan Kapten Ji.
Kapten Ji mendecakkan lidah. "Baiklah. Gak ada alkohol kali ini."
Lalu Haya memberi hormat dan pergi kembali ke ruang divisinya dengan ceria. Ini akan jadi minggu terbaik dalam hidupku, batin Haya bahagia.
Sementara itu, ingatan Kapten Ji terlempar ke kejadian 12 tahun lalu. Ia sudah mengenal Haya sejak gadis itu masih berumur 10 tahun tepatnya saat Inspektur Jendral Ardi, ayah Haya ditugaskan di Kantor Polisi Bandung.
Di pertemuan pertama mereka, Haya dengan percaya diri bilang, "Kapten Ji, suatu hari nanti aku akan menjadi polisi sepertimu dan ayah."
Melihat ketulusan di balik kata-kata Haya, Kapten Ji sangat tersentuh. Ia menepuk-nepuk pundak Haya. "Jadilah polisi, Nak. Aku akan selalu mendukungmu."