Pagi ini Haya sangat bersemangat. Ini adalah rapat pertamanya dengan Divisi Inteligen. Meski bukan anggota resmi, Haya sudah sangat bangga bisa duduk satu ruangan dengan seluruh anggota divisi ini.
Ruang rapat Divisi Inteligen berbentuk ruang kaca lengkap dengan meja panjang, kursi, papan tulis dan proyektor. Sangat elegan. Berbeda dengan ruang rapat Divisi Barang Hilang yang bentuknya mirip tempat penitipan barang.
Di ruang rapat Divisi Barang Hilang banyak sekali barang-barang yang ditemukan polisi tapi tak kunjung diambil oleh pemiliknya. Barang-barang itu juga tidak bisa diletakkan di gudang karena tidak ada tempat kosong yang tersisa di sana.
Tepat pukul 8 pagi, seluruh tim Divisi Inteligen beserta orang-orang yang akan membantu dalam misi penyamaran telah berkumpul. Ethan yang melihat Haya sudah di dalam ruangan langsung mengambil kursi persis di sebelah gadis itu. Tak lama kemudian, Kapten Ji masuk ke dalam ruangan.
"Selamat pagi," sapanya sebelum memulai rapat.
"Selamat pagi, Kapten," kata mereka serempak.
Haya memperhatikan Kapten Ji dengan fokus. Tapi pria tua itu kelihatan aneh hari ini. Wajahnya agak pucat. Apakah Kapten Ji sedang sakit?
"Misi kita kali ini adalah menangkap bandar narkoba besar yang berinisial Ibas. Kalian bisa melihat foto Ibas yang kita dapatkan dari kamera CCTV dari salah satu hotel berbintang di Jakarta," kata Kapten Ji sambil menampilkan wajah pria itu di projection screen.
"Ibas ini sudah lama menjadi target kepolisian. Tapi berungkali lolos karena kita tidak punya bukti kuat kalau dia menjual narkoba dari Indonesia ke luar negeri. Karena itu, kita perlu menangkap basah dia sedang melakukan transaksi dengan klien," kata Kapten Ji. Haya masih fokus memperhatikan.
"Berdasarkan laporan mata-mata kita, Ibas akan bertemu klien dari luar negeri di sebuah klub malam. Karena itu, yang paling penting adalah anggota Divisi Inteligen harus memasang mata memperhatikan transaksi yang akan dilakukan Ibas. Pembagian tugas sudah aku tulis di kertas itu," kata Kapten Ji sambil membagikan kertas ke anggota Divisi Inteligen.
"Sementara itu, tim penyamaran akan membantu memberikan aba-aba atau tanda pada anggota Divisi Inteligen. Karena kalian menyamar, kalian harus memperhatikan siapa saja yang duduk di dekat Ibas ketika dia bertemu klien. Pasti dia membawa anak buahnya. Perhatikan siapa saja yang mungkin membawa senjata dan duduk di dekat Ibas. Itu saja tugas untuk tim penyamaran. Paham?"
"Paham, Kapten," jawab tim penyamaran.
"Kalian bertiga akan menyamar menjadi pelayan," Kapten Ji menunjuk Haya dan dua rekan yang duduk di sampingnya.
"Officer Deka dari Divisi Orang Hilang akan menyamar menjadi bartender. Aku dengar kamu bisa meracik minuman?" tanya Kapten Ji. Dia kelihatan senang dengan pria bernama Deka itu. Kapten Ji sangat suka dengan minum.
Dasar tukang minum, cibir Haya dalam hati.
"Iya, Kapten," jawabnya malu-malu.
"Lalu sisanya akan bertugas sebagai cleaning service," kata Kapten Ji pada empat orang lainnya.
Haya sangat senang. Di misi pertamanya dia akan menyamar menjadi seorang pelayan. Dia harus mengamati gerak-gerik orang yang mencurigakan yang duduk di dekat Ibas lalu melaporkannya pada tim Divisi Inteligen.
Ini pasti akan sangat menyenangkan, batin Haya girang.
"Ada pertanyaan?" tanya Kapten Ji.
"Tidak ada, Kapten," jawab seluruh peserta rapat serempak.
"Oke, rapat selesai. Aku akan bertemu kalian lagi nanti sore. Kita ada latihan untuk simulasi penangkapan Ibas. Jangan sampai terlambat," Kapten Ji mengakhiri rapatnya dan keluar dari ruang rapat.
Saat Kapten Ji berjalan keluar, Haya buru-buru bangkit berdiri dan mengejarnya.
"Kapten Ji," Haya memanggil Kapten Ji.
"Ada apa, Haya?" tanya Kapten Ji. Wajahnya masih terlihat pucat.
"Apakah Kapten sakit?" tanya Haya khawatir.
Kapten Ji menggeleng. "Enggak kok. Aku cuman kurang tidur aja semalam."
"Apa Kapten mau Haya bawakan obat atau …"
"Gak usah, Nak. Aku baik-baik aja. Kamu harus fokus pada misi kali ini. Jangan memikirkan hal-hal yang tidak penting. Paham?"
"Pa-paham," Haya bingung harus berkata apa lagi. Kapten Ji sepertinya tidak ingin Haya mencemaskannya.
"Kembalilah ke divisimu, Haya."
Haya belum sempat memberi hormat ataupun menjawab, Kapten Ji sudah berjalan meninggalkannya.
….
Erika sedang menikmati kue coklat dan jus di kantin kantor polisi. Ia sedang menunggu Haya yang sedang latihan simulasi menangkap bandar narkoba.
"Haya," Erika melambai-lambaikan tangan begitu melihat Haya masuk ke dalam kantin.
Haya pun berjalan ke arah Erika.
"Wah calon anggota Divisi Inteligen barusan latihan simulasi nih," Erika menggoda Haya.
"Apaan sih? Aku belum jadi anggota Divisi Inteligen," kata Haya sambil mencubit pipi sahabatnya.
"Ya namanya juga doa, Haya. Semoga sahabatku ini segera pindah divisi," Erika tersenyum lebar.
Kemudian Haya memesan makanan. Ia memesan nasi padang dan es teh ukuran jumbo.
"Jadi gimana latihan simulasi tadi? Kamu ketemu Ethan? Kalian ngobrol banyak?" tanya Erika bertubi-tubi.
Haya sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan Erika.
"Banyak amat sih pertanyaannya. Pertama, latihannya lancar. Lagipula aku di sana cuman untuk mengawasi gerak-gerik orang yang mencurigakan aja. Kedua, aku ketemu Ethan. Bahkan dia duduk di sebelahku pas rapat. Ketiga, kami gak ngobrol sama sekali. Dia terlalu fokus latihan dengan divisinya," jawab Haya bersemangat.
"Seenggaknya kamu beruntung masih punya kesempatan untuk dekat dengan orang yang kamu sukai. Kalau aku apes banget. Udah gak tahu suka sama siapa-siapa, eh sekarang ibuku malah nyuruh aku pacaran," kata Erika iri.
Haya hampir tertawa terbahak-bahak. Pasti wanita tua itu sudah bosan melihat anak gadisnya tidak pernah pacaran selama 22 tahun.
Tapi mau bagaimana lagi? Erika itu sibuk belajar sejak di akademi. Dia bahkan tidak pernah melirik senior ataupun teman seangkatannya.
"Terus kamu jawab apa pas ibu minta kamu segera punya pacar?"
"Ya aku jawab aku gak berniat menikah dalam waktu dekat. Aku bilang kalau aku baru siap menikah umur 30 nanti," jawab Erika jujur.
"Lalu?"
"Ibuku sangat marah, Haya. Dia sampai melempar sapu dan berteriak padaku. Katanya 'apa kamu ingin melihat ibu mati duluan baru menikah?'. Gara-gara itu aku sama sekali gak berani pamit kerja tadi pagi. Bisa-bisa ibuku menceramahiku lagi," Erika benar-benar frustasi.
Haya tertawa terpingkal-pingkal. Dia sangat mengenal ibu Erika. Wanita itu hanya punya seorang putri. Dia berharap putrinya segera menikah dan memiliki anak. Sialnya, Erika bukan tipe putri yang sesuai harapannya.
"Ya Udah, Rika. Kamu buruan deh cari pacar. Di kantor polisi kita ini kan banyak cowok single. Pacarin aja salah satunya," saran Haya.
Erika hampir memukul kepala Haya karena kesal.
"Kamu pikir pacaran itu mudah? Pacaran dengan sesama polisi itu lebih susah lagi. Bayangkan kalau aku dan dia bertengkar sementara kami sekantor. Belum lagi, kalau sampai putus. Pasti akan jadi bahan gosip segedung ini," Erika menjelaskan panjang lebar.
"Iya deh. Aku ada saran lagi. Nanti aku bakal bantuin ngobrol ke ibumu. Aku akan berusaha bujuk ibumu."
"Sungguh?" mata Erika berbinar-binar.
Haya mengangguk keras sambil tertawa.