"Rena demam," ucap Rean yang membuat langkah Josen terhenti seketika. Sedangkan cowok itu yang memasukan ponsel ke saku celananya langsung tersadar kalau Josen tidak di sampingnya.
Rean menoleh ke belakang melihat Josen yang tampak seperti mayat hidup itu hanya mendengus. "Kenapa berhenti? Gue cuma kasih tau, jangan mikir yang aneh-aneh!" ucap Rean yang kembali berjalan dan mengabaikan Josen.
Josen tersenyum lebar, itu menandakan kalau Rean sudah menganggapnya sebagai temannya. Ia terkejut bukan karena Rena demam. Melainkan, ia terkejut karena Rean memberitahunya.
Tau sendirikan Rean itu bagaimana? Sikap dia berbeda saat bersama Rena saja.
Meskipun mereka sudah duduk sebangku selama tiga minggu, Rean belum menganggapnya sebagai teman. Cowok itu sendiri yang menganggapnya, dan Josen berusaha agar Rean berubah pikiran, sehingga menjadikannya teman. Josen berlari menghampiri Rean yang jaraknya sudah terlalu jauh.
***
"Ryu, lo nggak mau jengukkin si cewek umpan lo?" tanya Yuki yang baru saja masuk membawa bungkusan plastik. Ryu yang sedang memainkan gitar hanya tersenyum tipis dan menghentikan petikannya.
"Ngapain? Besok juga palingan sekolah kan? Dan besok, semuanya akan di mulai," ucap Ryu dengan tersenyum penuh permainan. Victor yang duduk di samping cowok itu hanya tertawa kecil.
"Lo ingetkan, masih ada satu syarat lagi yang belum gue ucapin?"
Ryu menoleh dengan tersenyum menyeringai. "Tenang, gue bukan orang tua yang mudah pikun," jawabnya yang kembali bermain gitarnya.
"Victor, ntar malem jadikan ke club?" tanya Nessa yang merangkul leher Victor dengan mesra.
"Jadi dong," jawab Victor dengan lembut.
Di luar kelas sebelas IPS dua terdapat Rean yang tak sengaja mendengarkan ucapan mereka semua, tangannya mengepal, ia sendiri masih belum mengetahui maksud cewek umpan dan juga permainan mereka.
Yang jelas, ia akan bilang semua ini ke Rena, agar ia lebih berhati-hati dengan Ryu.
Rean kembali berjalan menuruni anak tangga menuju kelasnya, dan di tangga ia tak sengaja berpapasan dengan cowok yang membuat kaum hawa terus tersenyum.
Ia yakin kalau cowok itu adalah Rezvan. Rean tak memperdulikan dia dan terus berjalan melewatinya.
Namun, langkahnya terhenti saat cowok itu memanggilnya duluan.
"Lo temen Rena, kan?" tanya cowok itu yang membuat Rean terpaksa membalikkan tubuhnya. Rezvan tersenyum canggung pada Rean, sedangkan cowok itu hanya menatapnya dengan tatapan dinginnya.
"Kenapa?"
"Rena kenapa nggak masuk? Nomernya nggak aktif? Lo tau dimana rumah Rena? Lo tau kenapa nomer teleponnya nggak aktif?" tanyanya dengan rentetan pertanyaan.
"Dia demam," jawab Rean yang kembali melanjutkan langkahnya.
"Gue tanyanya ada empat pertanyaan, kenapa lo cuma jawab satu?" tanya Rezvan yang lagi-lagi membuat Rean menghentikan langkahnya, ia mendengus.
"Pulang sekolah, gue tunggu di lobby," ucap Rean yang kembali melangkahkan kakinya, ia bahkan mempercepat langkahnya agar ia tak di panggil lagi oleh idol itu.
Rean sebenarnya bingung, kenapa cowok itu kenal Rena? Apa hubungan Rena dengan Rezvan? Kapan mereka bertemu? Yang Rean ingat, terakhir kali cowok itu menghampiri Rena saat ia sedang di hukum …
Langkah Rean seketika terhenti. "Atau …" gumamnya dengan mengingat kejadian saat Rena dan Rezvan berada di depan kelas. "Atau karena itu?"
Rean menghela napasnya, ia tak mau berpikir terlalu banyak yang menyebabkan kepalanya pusing. Rean kembali melangkahkan kaki menuju kelasnya sebelum guru mendahuluinya.
***
Rena memeluk lututnya dengan erat, hatinya terasa bingung. Sangat bingung. Ia menyesal sudah mengatakan itu pada Riel, tapi ia juga kesal karena Riel datang atas perintah bundanya.
Yang Rena butuhkan sekarang ini adalah bundanya, bukan Mama Anne, ataupun Riel.
Tapi kenapa bundanya lebih peduli dengan kerjaannya? Seminggu ini lebih sering berada di kantor dari pada di rumah, dan entah kenapa, akhir-akhir ini Rena memimpikan ayahnya.
Ia menjadi penasaran bagaimana rasanya mempunyai ayah, bagaimana rasanya dilindungi oleh ayah. Semua itu ada di dalam pikirannya.
Rena mengambil benda tajam yang menjadi kesayangannya dari dalam laci sebelum ke kamar mandi dan menyalakan shower.
Ia lelah,
Lelah bersikap semua baik-baik saja. Ia lelah untuk tetap bercerita meski dia tidak baik-baik saja. Dia juga ingin bebas, dia ingin merasakan kebahagiaan, dia ingin melampiaskannya, tanpa harus menyakiti siapa pun.
Mata Rena menatap ke pergelangannya yang kiri. Terlihat beberapa bekas luka dari perbuatannya yang lalu. Itu semua tidak cukup.
Pisau kecil di tangan kanannya itu perlahan-lahan mengukir garis, mengiris kulitnya yang sensitif. Tapi Rena tidak peduli. Dia menekan pisau itu semakin dalam, membuat darah perlahan mengalir dari pergelangan tangannya. Rena merasa tenang.
Air yang keluar dari shower menghapus semua tanda-tanda kegiatan Rena. Melihat darahnya mengalir bersama air membuat hatinya merasa jauh lebih tenang. Dia merasa bahagia.
Kegiatannya itu terhenti begitu saja ketika dadanya kembali terasa lega. Dia menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ini memang bukan pertama kali bagi Rena, namun cara ini tetap akan menjadi nomor satu baginya
Rena kembali berdiri, dan mulai menghilangkan bekas darah yang ada di sana. Ia membersihkan badan karena badannya sudah terasa lengket.
Membutuhkan waktu sepuluh menit, cewek itu kembali keluar dari kamar mandi dengan kaus merah muda dan celana pendek.
Ia menutup jendela dan tirainya rapat-rapat. Setelah itu, Rena mengambil kain tipis untuk menutupi lukanya agar darah berhenti mengalir.
Menunggu beberapa menit, ia membuka kain itu lagi, dan melihat darah yang sudah terhenti. Dengan cepat ia mengambil perban dan obat merah di dalam laci.
Hanya membutuhkan waktu lima menit, luka itu sudah di perban oleh Rena. Matanya menatap lekat tangannya, ia sendiri bingung kenapa ia melakukan ini, apa karena ini sudah kebiasaannya setiap merasakan ingin meluapkan amarah?
"Ini bukan yang pertama kalinya buat aku, tapi kenapa aku bisa bertahan sampai saat ini? Bunda yang kadang lebih mementingkan pekerjaannya dan melupakan ku. Ayah yang tak pernah ada kabar sama sekali sejak ia pergi dari rumah, tapi kenapa aku bisa tahan? Dan di saat seperti, kenapa aku lemah?"
Aneh rasanya kalau pikir, tapi Rena tetap menjalani hidupnya.
"Aku akan terus di samping bunda, meskipun bunda sekali sibuk di kantor." Pikiran Rena memang selalu berubah-ubah, apa lagi selesai melakukan self injury. Dan ia dengan mudahnya melupakan semua kesedihan dan amarahnya pada keluarga ini.
***
Bel pulang berbunyi dengan nyaring, semua murid langsung menutup bukunya, dan memasukkan semua ke dalam tas. Setelah guru berjalan meninggalkan kelas, barulah semua murid berhamburan keluar kelas.
"Rean, gue mau jenguk Rena nih, lo mau ikut?" tanya Yunbi bertanya pada Rean.
"Kalau mau jenguk, ya jenguk aja, ngapain ajak-ajak?" ucap Rean melihat Yunbi sekilas, lalu berjalan meninggalkan cewek itu bersama dengan Josen.
Cowok itu hanya tertawa kecil saat Rean yang bersikap dingin pada Yunbi, saat melihat wajah Yunbi yang manyun itu, Josen semakin tertawa terbahak-bahak.
"Dingin banget ya, neng," ucap Josen yang bermaksud menyindir.
"Hahaha, iya," ucap Yunbi dengan wajah datarnya.
"Udah lah, nggak usah kesel gitu. Ayo, bareng gue. Gue tuh tau maksud lo ajak Rean, biar lo bisa nebeng kan?" tanya Josen yang merangkul Yunbi.
"Lepasin, Josen!"
"Eh, iya, maaf. Ya udah, ayo," ucap Josen yang berjalan lebih dulu, dan di ikuti Yunbi di belakangnya.