"Kok lo masih disini? Bukannya lo bilang mau ketemu sama seseorang?" tanya Rena yang mengusap wajahnya karena air hujan.
"Nggak usah banyak tanya, buruan naik!" ucap Rean mengalihkan pembicaraannya. Rena tersenyum dan langsung naik ke motor tanpa berkata apapun lagi. Saat memastikan kalau Rena sudah duduk dengan nyaman, Rean melajukan motornya dengan kecepatan normal.
Jalanan sore ini sedikit padat, dan membuat Rena yang tak tahan dengan hawa dingin itu langsung memeluk tubuh Rean dari belakang.
Rean sedikit terkejut dan ia kembali teringat kalau sahabatnya itu tidak kuat dengan angin dingin yang terlalu lama. Cowok itu mendadak khawatir padanya kalau ia sampai demam karenanya.
Saat di lampu merah, kedua tangan Rean memegang tangan Rena yang sudah terasa sangat dingin. Sedangkan pemilik tangan itu tersenyum. "Hangat," gumamnya yang masih mampu terdengar oleh Rean.
Rean juga ikut tersenyum, sayangnya lampu berganti hijau, dan membuat ia kembali memegang stir motornya itu. Rean sedikit menambah kecepatan agar cepat sampai rumah.
Tanpa dirasa, mereka sudah berada di tengah-tengah pagar mereka. Rena langsung turun dari motor, ia berjalan cepat menuju pagarnya, dan melihat sela-sela pintu pagar. Rena mendengus saat tak melihat mobil sang bunda, garasi pun masih terkunci.
"Kenapa, Ren?" tanya Rean yang ikut turun dari motornya.
"Engh, enggak apa-apa, kok. Makasih udah anter gue balik, kalau gitu gue masuk dulu. Oh, iya, jangan lupa mandi pake air anget biar nggak masuk angin. Bye!" ucap Rena tersenyum, dan langsung membuka pintu pagarnya.
"Jangan lupa minum teh anget, Ren," teriak Rean dari sela-sela pagar tinggi Rena.
Rena tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, ia masih ingat ternyata. Ucapan itu sering mereka lontarkan saat masih kecil. Terutama Rena, ia yang sering menyuruh Rean untuk mandi air hangat setelah hujan-hujanan.
Rena masuk ke dalam rumahnya yang sepi itu, sangat sepi. Tak ada siapapun di rumah besar ini. Bi Asna – pembantu di rumah ini – sedang ijin pulang kampung sampai beberapa hari ke depan. Rena langsung berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya. Ia akan mengepel genangan air akibat tetesan air dari tubuhnya itu setelah mandi.
Membutuhkan waktu lima belas menit, cewek itu keluar dari kamar mandi menggunakan kaus polos berwarna hitam, dengan celana pendek.
Ia duduk di atas kasur dengan mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Tubuhnya masih terasa dingin karena ia mandi tidak menggunakan air hangat, ia tak ingin membasahi seluruh rumahnya.
"Kenapa bunda belum pulang ya? Kenapa dia juga enggak kirim aku chat apapun?" gumam Rena yang kembali teringat pada bundanya yang tidak memberikan kapan apapun.
Rena mengambil tasnya yang hanya basah di bagian luar, karena tasnya waterproof, jadi buku-bukunya aman dari air hujan. Saat mencari ponselnya, ia seketika ingat kalau ponselnya itu ada di jaket.
Ia kembali berjalan ke kamar mandi untuk mengambil jaketnya yang basah itu. Ia menepuk keningnya pelan saat ia ceroboh menyimpan ponsel di saku jaket. Dan ponsel itu tak bisa menyala sekalipun.
"Bego banget lo, Ren. Kenapa nggak lo taruh di tas aja si?" gumam Rena menyalahkan diri sendiri.
Rena kembali ke kasurnya, dan merebahkan tubuhnya di kasur yang terasa dingin, juga nyaman itu. Ia benar-benar merasakan sepi, biasanya sekarang ini ia memasak bersama bundanya untuk makan malam, tapi hari ini ia hanya memakan sepotong roti saja. Tak ada asupan nasi sejak kemarin malam.
Sebenarnya ia bisa beli, tapi ia terlalu sayang dengan uangnya yang sudah bersusah payah ia kumpulkan. Apa perusahan bunda sedang ada masalah? pikir Rena yang menyembunyikan wajahnya di bawah bantal.
Ini tidak untuk yang pertama kalinya, beberapa tahun lalu Rena di rumah sendirian selama beberapa minggu, dan bundanya juga tak memberi kabar apapun. Saat itu yang dilakukan Rena adalah menunggu di depan ruang televisi dengan mata yang terus melihat ke arah pintu.
Yang membedakan sekarang ini adalah satu, Rena benar-benar sendirian di rumah sebesar ini. Di tambah ponsel yang rusak akibat kecerobohannya.
Rena beranjak dari kasurnya, ia lupa belum menggembok pintu pagarnya. Rena berjalan gontai menuruni anak tangga sampai keluar, ia menggembok pagar, dan mengunci pintunya itu. Saat melihat banyak air, Rena langsung mengambil pel dan langsung mengepel semua air di lantai.
Tubuhnya terasa tak enak saat ia selesai mengepel sampai ke lantai atas. Ia merasakan hawa yang sangat dingin di luar, dan akhirnya cewek itu memutuskan untuk langsung tidur. Ia tak ingin kalau besok ia sampai demam, seperti kejadian dua tahun lalu. Untung saja besok tak ada tugas apapun, jadi Rena tak perlu belajar malam ini.
***
Sedangkan cowok yang tinggal di samping rumah Rena merasakan kecemasan, sangat cemas dengan kondisi sahabatnya. Rasa khawatir-nya semakin terasa saat ponsel Rena sama sekali tidak aktif. Bahkan dari tadi malam, ia sudah melempar banyak batu di jendela kamar, tapi gadis itu tak kunjung keluar ke balkon.
Apa yang terjadi? Ia ingin masuk ke rumah Rena, tapi pintu pagar masih tergembok. Dan ia teringat wajah kecewa Rena kemarin sore, ia kecewa karena bundanya belum pulang sejak kemarin. Jadi sekarang ini ia tinggal di rumah itu sendirian.
"Bi Asna ijin pulang kampung, kalau bunda kerja, aku di rumah sendirian dong? Kalau hujan gimana? Kalau petirnya kenceng gimana?"
Ucapan Rena tiba-tiba saja teringat dalam pikirannya, ia mengatakan itu dua hari yang lalu saat di kantin, dan kalau di ingat-ingat, tadi malam hujan semakin deras, ditambah petir yang semakin kencang. Apa Rena baik-baik saja? Pikir Rean memandangi kamar Rena yang tirainya masih tertutup rapat.
"Rean, ayo sarapan. Udah setengah tujuh loh, nanti kamu terlambat," ucap Anne – Mama Rean – yang membuat cowok itu sedikit terkejut.
"Kenapa dari tadi ngeliatin jendela Rena terus? Kalian marahan?" tanya Anne.
Rean menggelengkan kepalanya. "Rena di rumah sendirian, kemarin sore dia kehujanan bareng Rean, dan tadi malem juga petirnya semakin kencang—"
"Kamu tenang aja, kan ada bundanya, ada Bi Asna juga kan?"
Rean menggeleng cepat. "Dia sendirian, bundanya belum pulang dari kemarin, dan Bi Asna pulang kampung. Apa Rena baik-baik aja, ma?"
"Kamu masuk aja ke rumah Rena seperti biasanya—"
"Di gembok, ma."
Anne juga ikut berpikir, dan khawatir pada Rena yang ada di rumah besar itu seorang diri. Anne tau betul kalau Rena sangat tak menyukai petir, juga mudah demam saat terlalu lama di udara dingin, atau kehujanan.
"Gimana, ma?"
Saat mereka sama-sama terdiam, tiba-tiba saja mereka mendengar suara teriakan dari depan rumah Rena, dan itu membuat Rean langsung berlari keluar rumah. Anne hanya tersenyum melihat kelakuan anaknya, ia tau kalau anaknya itu dingin di depan semua orang, tapi tidak di depan orangtuanya, juga Rena.
*** Maaf kalau ada typo :" akan Author revisi kalau ada waktu luang >< ***