Pagi ini Joon memasuki kelas dengan malas dan pegal-pegal. Karena pindah jurusan tanpa sepengetahuan orang tua, dia harus bekerja paruh waktu untuk menutupi kekurangan biaya kuliahnya sendiri. Semalaman dia terjaga di mini market. Begitu menyentuh kursi, Joon langsung menjatuhkan diri dan tidur.
Samar-samar, dia mendengar para mahasiswi ribut membicarakan bintang jatuh. Oh, benar, tadi malam ada bintang jatuh. Joon terpesona menyaksikannya dari balik meja kasir di sudut mini market bagian depan yang semua dindingnya adalah kaca.
Bintang jatuh itu SYUNG ... jatuh dengan diikuti cahaya panjang yang menapak, lalu menghilang begitu saja. Amat cepat, tapi berkesan sekali. Dan rasanya seolah bintang itu jatuh tak jauh dari pandangan mata. Benar, dan itulah yang diributkan oleh para mahasiswi, mungkin bintang itu jatuh di sekitar kampus.
Joon tak peduli pada obrolan itu. Dia hanya ingin tidur tanpa ada mimpi di dalamnya.
Tapi nyatanya dia malah memimpikan kejadian tadi malam. Saat toko sedang sangat sepi, sepi, dan semakin sepi, Joon menoleh ke luar dinding kaca. Entah kenapa, langit yang hampir tanpa bintang kali itu begitu menggodanya. Lalu tiba-tiba SYUNG ... dia melihat sesuatu yang bercahaya melintas di langit, bintang jatuh.
Cepat-cepat Joon menelungkupkan kedua telapak tangannya, berpejam, dan berdoa, "Wahai bintang jatuh, bintang jatuh, kabulkanlah—Aduh, sebaiknya aku memohon apa ya? Tidak ada yang terpikir olehku saat ini. Ah, pokoknya kabulkanlah permohonanku ini. Kabulkanlah ...." Joon mengakhiri permohonannya dengan mendekap gumpalan tangan itu dengan sebuah ciuman yang khidmat.
Joon terbangun begitu saja dari mimpinya itu dan bergumam, "Bodoh."
"Eh?" Mahasiswa gemuk yang duduk di samping kirinya menoleh seketika.
"Bukan kau. Bukan." Joon memasang senyum ngantuk, lalu bangkit duduk untuk bersiap mengikuti kuliah.
Manho, mahasiswa gemuk, malah mengeluarkan roti dari tasnya dan memasukan buku-buku ke dalam tasnya. Joon curiga dan bertanya, "Kau mau ke mana?"
Dengan mulut penuh roti, Manho menjawab, "Kelasnya sudah selesai. Karena Sunbae terus tidur, Profesor Gong menganggap Sunbae tidak hadir pada pertemuan kali ini."
"EH?! MANA BISA BEGITU? KENAPA KAU TIDAK MEMBANGUNKANKU?!!" Joon menarik kerah baju kotak-kotak Manho dengan kedua tangannya seolah akan memukulinya. Sontak, semua orang dalam ruangan memandang ke arah mereka. Joon langsung melepaskan cengkeramannya itu lalu menepuk-nepuk baju Manho dari kusut sambil menebar senyum palsu pada semua orang.
Manho berdiri dan pamit pergi begitu saja.
Joon masih nyengir.
Tiba-tiba seorang mahasiswi berambut panjang dan langsing duduk sambil menyangga dagu di tempat Manho duduk tadi. Seola bicara, "Sunbae, lain kali aku bawakan kopi boleh ya?"
"Terserah kau saja," Joon tak peduli. Tanpa harus merapikan buku ke dalam tas, Joon bangkit begitu saja dari tempat duduknya. Seola manyun kesal karenanya.
Dan Seola semakin manyun saat beberapa mahasiswa melambai-lambai genit padanya. Dia tidak menyukai pria genit. Dia lebih suka pria cuek semacam Joon.
Seola berjingkrak mengikuti Joon keluar kelas. Kemudian dia melihat Joon sedang mengobrol dengan Jiwon—mahasiswi yang kelihatannya berkarisma, di tengah lorong sana. Daripada pria genit, Seola lebih tidak menyukai perempuan berkarisma. Karena itu dia kesal sekali saat melihat Jiwon mengobrol dengan Joon. Mereka pasti membicarakan tentang tugas menjaga kandang sapi. Ah, sayang sekali Seola tidak satu tim dengan Joon. Dia berbelok begitu saja menuju kantin.
Joon bicara pada Jiwon, "Aku ada kerja paruh waktu siang ini. Aku tidak bisa membantu memandikan sapi-sapi. Sebagai gantinya, aku akan memberi mereka makan sore nanti. Bagaimana?"
"Baiklah, aku tidak keberatan," kata Jiwon.
"Kalau sempat, mampirlah ke toko. Aku traktir kau kimbab segitiga."
Jiwon nyengir malas mendengarnya. "Tidak usah, terima kasih. Tapi mungkin kalau Manho pasti mau saja. Bagaimana? Kusampaikan padanya, jangan?"
"Jangan deh. Dia makannya banyak." Joon menggeleng getir.
"Ya sudah kalau begitu, aku pergi. Aku ada kelas lagi."
"Yah, pergilah."
Dan hari ini pun bergulir membosankan seperti biasanya. Joon bergegas ke kantor distribusi untuk menyegerakan pengantaran barang. Selain di mini market pada Rabu hingga Sabtu malam, Joon juga bekerja sebagai pengantar barang lepas di kantor distribusi. Untuk ukuran seorang mahasiswa yang plin-plan, tampan, dan sembrono, Joon cukup rajin.
Selepas mengantar barang, Joon pulang ke indekos. Dia butuh peregangan, dan akhirnya dia tertidur di lantai dengan posisi duduk bebas dengan kepala dan kedua lengan terlentang di tepi ranjang. Joon melewatkan sore begitu saja, lalu ... "Hoah," dia terbangun dengan nikmatnya.
Tiba-tiba dia mengerjap. "SAPI!" Joon berseru.
Joon berdiri kelimpungan antara jaket di ranjang dan pintu. Dia cukup lama berbolak-balik ribut di sana. Dengan penampilan yang seadanya, dia pun berlari menuruni tangga besi, mengarungi turunan yang cukup tajam, tikungan sedang, lalu menembus lubang berbentuk persegi panjang di sebuah dinding tua, maka tibalah dia di bagian terkelam kampus, area penelitian yang sudah terabaikan.
Joon masih setengah tidur saat melihat gelapnya area ini. Pohon, semak, rumput, dan bangunan tak nampak jelas di mata. Semuanya hampir hitam begitu saja.
Lalu tiba-tiba ... 'Kau mendengarku? Tolong aku.'
Joon bergidik, kaget. Apa itu hantu?
Joon melebarkan pandangannya ke sekitar. Tak ada apa pun selain gelap, dan pada jam sembilan malam biasanya tak akan ada siapa pun yang berlalu-lalang di area ini karena area ini terkesan menyeramkan. Tapi Joon sama sekali tidak merasa ketakutan, dia merasa ... merasa penasaran!
'Tolong aku. Kumohon.'
'Kau di mana?' tanya Joon, dalam hati.
'Tutup matamu dan ikuti suaraku. Kau akan bisa melihatku. Aku bukan hantu.'
Tanpa sadar, Joon mengikuti suara itu. Joon melangkah tanpa arah. Joon berjalan mengikuti barisan batu sungai yang menempel ke tanah, kemudian dia keluar dari area batu sungai itu, melangkahi rumput, dan memasuki bagian yang lebih gelap di area kampus ini.
Karena ini bukan area untuk dipijak, kaki Joon beberapa kali terantuk oleh batu atau akar pohon yang menjalar. Pendengarannya dipenuhi oleh gemerisik ranting dan dedaunan kering yang dia injak, lintas, dan tebas. Joon benar-benar hanya mengikuti suara itu, lalu ...
'Aku di sini! Aku di sini!'
'Di mana?' Joon bertanya tanpa suara.
Suara itu menjawab, 'Aku di sini. Kau bisa melihatku? Keluarkan aku dari sini, tolong.'
Suara duk-duk-duk membuat Joon menoleh, dan Joon tercerahkan seketika, "Ya, aku bisa melihatmu. Kau ... nyata." Dia benar-benar sudah bangun sekarang.
Tanpa berkedip, Joon menghampiri benda itu. Ada batu besar di depan pintu dan benda ini melesak ke dalam tanah, menyebabkan pintu tak bisa dibuka. Sepertinya karena itulah dia meminta bantuan.
Tangan Joon bergerak mendekat ke mulut pintu. Matanya berkonsentrasi pada mata biru di balik kaca kecil berbentuk kotak yang lebarnya hampir sama dengan pintu.
Joon gemetaran. Kira-kira apakah yang akan terjadi jika tangannya menyentuh benda aneh ini? Tersengat listrik? Joon ragu, tapi dia terus melaju. Dan tidak ada yang terjadi. Benda ini bersuhu cukup panas. Itu saja yang membuat tangan Joon melompat.
Sekali lagi, gadis itu meminta tolong. Tanpa berpikir panjang, Joon menyingkirkan batu yang menghalangi pintu. Dia mengerahkan seluruh tenaga. Batu ini cukup besar, sebesar tas koper ukuran sedang. Tidak mudah bagi Joon untuk menyingkirkannya. Dia menghela napas dan hampir berputus asa. Dia mengulang kembali usahanya, lagi dan lagi, hingga akhirnya batu itu mulai bergeser menjauhi pintu. Setelah itu, segalanya jadi lebih mudah. Joon menendangnya hingga berguling ke tempat yang lebih rendah dan menyingkirkan tanah yang menghalangi pintu. Kini pintu itu bisa dibuka.
Meski keringat mengucur di kening, Joon tersenyum dan gadis itu hanya diam.
Kali ini dia berdiri di depan benda itu, bersiap untuk membuka pintu. Menggosok telapak tangan, mengepalkan keduanya, dan dengan segenap tekad, dia memegang bagian pintu yang menganga. Satu gerakan menyelesaikan semuanya.
Rasanya seperti membuka pintu mobil, hanya agak berat. Kemudian asap keluar dari dalamnya seperti saat membuka lemari es. Sepasukan udara yang berlainan masuk dan keluar dari celahnya secara tiba-tiba. Terlalu tiba-tiba hingga membuat mata birunya berputar. Joon tak melihat itu, dia terlalu sibuk dengan pintu dan ketakjubannya terhadap asap.
Dan saat pintu terbuka sepenuhnya, gadis itu jatuh ke dalam pelukan.
Joon membelalak, jantungnya hampir berhenti berdetak. Joon membeku diterpa udara dari dalam benda asing ini.
Gadis Bermata Biru Joon sandarkan pada akar pohon yang meninggi. Dengan berjongkok, Joon memperhatikan gadis yang sedang terpejam dengan sangat tenang itu. Bulu matanya bergoyang karena angin yang melintas, sedangkan hidungnya tetap berdiri tegap. Bibirnya merah muda dan tertutup sangat rapat. Tidak kering meski dihempas angin malam yang cukup dingin. Gadis ini siapa?
Rambut pirangnya menjuntai panjang hingga hampir menyentuh sikut. Kulitnya putih, dan dia memakai—jenis pakaian apa yang dia pakai ini? Training? Tapi lebih mirip pakaian astronot—berwarna abu dan ada garis biru memanjang di bagian lengan dan kaki, juga gambar bintang berwarna biru di bagian dada. Apakah gadis ini cewek bule di kandang sapi dalam mimpi Joon itu?
Dari mana dia berasal? Dia datang dengan benda aneh itu? Joon menunjuk ke arah benda yang mirip elevator itu. Itu apa? Sejenis pesawat pribadi? Drone? Wah, kalau benar, dia pasti kaya raya. Semakin lama, Joon menjadi semakin penasaran.
Joon bangkit, mendekati benda aneh itu. Dia menyingkirkan asap tipis dengan kipas-kipas tangan, lalu melongok ke bagian dalam benda itu. Joon melihat, sebuah kursi keras yang menempel permanen, dinding besi, dan semacam baling-baling di bagian atas dalam benda ini.
Eh? Kenapa baling-balingnya ada di bagian dalam? Kalau ini semacam pesawat, seharusnya baling-baling ada di bagian luar dong? Joon berpikir cukup keras karenanya.
Selain itu, dia juga tidak menemukan alat kemudi atau tombol apa pun. Sebenarnya benda ini apa dan bagaimana ceritanya bisa ada di sini? Joon sungguh penasaran.
Joon meniupi sebagian kecil dari benda itu, lalu tuk-tuk-tuk, Joon mengetuk-ngetuknya. Ini terasa seperti mobil, tapi ... "A.I. Robot?" Joon menoleh seketika pada gadis yang terkulai lemas di antara akar itu.
Joon beringsut, kembali berjongkok di depan gadis itu. Dia heboh memeriksa suhu tubuh, napas, denyut nadi, dan hampir ke denyut jantung. Tubuhnya sangat dingin, napasnya meragukan, denyut nadi pun tak teraba. Joon agak canggung untuk memeriksa denyut jantung. Dia bingung.
Kalau benar gadis ini adalah A.I. Robot, maka ... "Kenyal dan cukup lembut," komentar Joon, sambil mencubit lengan gadis yang tak sadarkan diri ini.
Kulitnya persis dengan manusia, dan meski meragukan, terasa ada semacam udara dari lubang hidungnya. Auh, ini benar-benar membingungkan. Dia ini manusia atau bukan?!
Hah?! Dan kalau ternyata dia adalah manusia, berarti dia ... "Hey, bangun. Bangun. Hey!" Joon mencoba membangunkannya dengan menampar-nampar pipinya dengan tidak kasar, tapi gadis ini tidak bangun juga.
Haruskah Joon membawanya ke rumah sakit? Ah, tapi rumah sakit cukup jauh dari sini dan dia tidak punya uang. Klinik kampus kemungkinan besar sudah kosong dan dirinya belum resmi menjadi dokter. Kalau pun sudah resmi, Joon adalah dokter hewan. Dan ... SAPI! Joon harus memberi makan sapi! Aduh, bagaimana ini? Sudah sangat terlambat. Joon harus segera ke kandang sapi, tapi rasanya tidak mungkin membiarkan gadis ini sendirian di sini. Joon harus segera memberi makan sapi, tapi bagaimana dengan gadis ini? Ah, Joon benar-benar bingung! Terserah. Joon akan mengangkut gadis ini ke kandang sapi.
Dengan mudah, Joon membawanya terkulai di kedua lengan. Joon berjalan, sambil membawa gadis itu dalam pangkuan, menuju kandang sapi yang tidak terlalu jauh dari tempatnya sekarang.
Tanpa merasa berat dan lelah, setelah tiba di kandang sapi dan disambut oleh lolongan lapar dari sapi-sapi, Joon malah melewati sapi-sapi itu dan terus melaju menuju gudang penyimpanan jerami untuk menggeletakan gadis ini terlebih dahulu. Joon membuatnya berbaring di atas ikatan jerami yang berbentuk kotak.
"Tunggu ya?" kata Joon, lalu dia keluar dari gudang.
Gadis Bermata Biru dibiarkannya terpejam dengan tenang. Kedua kakinya berjajar bengkok menghadap ke kiri dan kedua tangannya hampir bertemu di dekat hidung. Dia sama sekali tak terganggu oleh alas tidur jerami yang pastinya cukup menyakiti kulitnya. Gadis itu benar-benar terpejam dengan tenang.
Lama kemudian, Joon kembali sambil menggeliat. "Hoah," dan dia menjatuhkan dirinya ke atas tumpukan jerami yang lain. Joon lupa tentang Gadis Bermata Biru dan tertidur begitu saja hingga pagi tiba.
Cahaya matahari memasuki gudang ini lewat jendela kecil di belakang-atas tumpukan jerami, tepat menyorot rambut pirang yang jelas berbeda dengan warna jerami. Pelan-pelan gadis itu bergerak, menggeliat kecil, dan membuka matanya. Dia duduk dengan takjub, menoleh pada cahaya matahari yang menyorotinya, lalu karena silau dia menjatuhkan pandangannya pada Joon yang hampir jatuh bersama tumpukan jerami.
GUBRAK. Joon benar-benar jatuh bersama tumpukan jerami itu. Dia tetap tidur meski telah jatuh dan kini berada dalam posisi duduk. Joon, yang tidur amat lelap, diamati oleh sepasang mata biru.
Tiba-tiba Joon membuka mata, dan ... 'Hai, terima kasih,' dia mendengar kalimat itu.
Joon celingukan. Tak ada siapa pun di ruangan ini, kecuali dirinya dan Gadis Bermata Biru. Wah, matanya benar-benar berwarna biru dan jernih. Untuk sesaat, Joon terpesona.
Joon berguling turun dari tumpukan jerami, merangkak di lantai yang kotor, dan matanya kembali terpikat oleh keberadaan gadis bermata biru dan berambut pirang itu.
'Kenapa?' tanyanya, tanpa suara.
Joon menegang. Kini dia yakin bahwa suara yang tanpa suara itu berasal dari Gadis Bermata Biru, tapi bagaimana bisa telinganya mendengar sesuatu yang tak bersuara? Jika bisa, Joon ingin sekali pingsan.
Heran karena Joon tetap diam, gadis itu mulai mengambil gerakan. Joon terpental lebih jauh ke belakang. Joon berdiri memamerkan telapak tangan. Dia tak ingin gadis itu mendekat.
'Ada apa?' matanya berkilauan menatap Joon.
"K-kau ..." Joon menyeret kakinya menjauh secara perlahan, sedangkan telunjuknya dia arahkan pada gadis itu.
'Ya?' Gadis itu mengikuti gerakan Joon—sama persis, hanya dengan arah berlawanan. Telunjuk mereka akan bersentuhan seandainya Joon tidak menarik telunjuk itu ke dalam genggaman. Mereka seperti cermin dan bayangan.
"Ke-kenapa bibirmu tak bergerak?" tanya Joon.
Gadis itu tak menjawab.
"K-kau siapa? Tidak. Kau ini apa? Datang dari mana? Kenapa ... kenapa ..."
Secara aneh, bibir gadis itu menipis dan melebar. Apakah itu sebuah senyuman? Joon malah jadi takut karenanya. Dengan 'apa' dia tidur berdampingan semalam?
Joon benar-benar tidak tahu lagi. Dia berniat untuk lari. Dia sudah menargetkan pintu, tapi gadis itu bersuara lagi, 'Jangan pergi'. Dalam sekejap, Joon tak bergerak.
'Bukankah kau meminta bantuanku malam itu?'
Joon tak menanggapi pertanyaan itu. Joon memasang kuda-kuda dengan amat waspada. Joon sedang menyiapkan kekuatan untuk berlari secepat yang dia bisa.
Tiba-tiba gadis itu mengangkat lengan. Jari-jarinya terlihat langsing dan panjang. Dia menggenggam tangan Joon dan bersuara, '... kabulkanlah permohonanku ini. Kabulkanlah ...'
'Itu adalah ... itu adalah ...' Joon segera melepas genggaman itu. Betapa pun cantiknya gadis ini, Joon merasa entah takut atau takjub.
'Benar. Kau memohon padaku. Kau ingin aku mengabulkan permohonanmu yang tak kau ucapkan. Benar? Sekarang, katakanlah permohonanmu.'
Joon menyangkal, "Tidak mungkin. Aku memohon pada bintang jatuh, BUKAN padamu. Kau siapa? KAU ITU APA?"
'Aku bukan bintang, tapi aku berasal dari bintang. Aku bisa mengabulkan permohonanmu, apa pun itu. Jangan khawatir. Katakanlah.'
Gadis itu menggenggam tangan Joon lagi. Tangan itu lembut dan dingin. Matanya bicara, 'Bagimu, aku adalah sebuah keajaiban yang bisa membawamu pulang.' Sesuatu merasuk ke dalam diri mereka. Ruang dan waktu berputar dan bertabrakan entah bagaimana. Untuk sekejap, Joon berada di suatu tempat yang tak bisa digambarkan dan suatu waktu yang tak kenal siang-malam. Joon terbentur rasa sakit kepala yang luar biasa, jantungnya pun berdetak puluhan kali lebih cepat, dan napasnya tersedak. Rasanya seperti dijemput oleh kematian, lelah dan mengerikan.
'Buka matamu.'
Angin berhenti berhembus. Rasa sakit itu menghilang. Tanpa sadar, Joon berpegang sangat erat pada tangan seorang gadis yang tak dia kenal. Pelan-pelan, Joon membuka mata. Dan kejutan kembali menyerang. Ini adalah kamarnya!
Gadis ini tersenyum dan mengatakan, 'Aku membawamu pulang. Bukankah itu yang kau inginkan tadi? Ini mudah. Aku bisa mengabulkan permohonan yang lainnya. Katakanlah.'
Joon benar-benar terkena serangan, tapi dia tidak bisa pingsan. Dia terduduk di lantai, mata terbuka dan mulut menganga. Dia menengadah dan bertanya-tanya, 'Gadis ini ... apa?'