Di atas tumpukan buku yang tidak tinggi, video dalam smartphone bersuara, "Good afternoon, my name is Sophia and I am the latest and greatest robot from Hanson Robotics. Thank you for having me here .... I think I'm special. I can use my expressive face to communicate with people .... I want to live and work with human. So I need to express the emotions to understand humans and build trust with people ..." Video itu adalah tentang A.I. Robot yang sedang diperkenalkan di Saudi Arabia.
"Wah, dunia ini makin gila saja. Gila!" seru Joon, sambil mendorong dirinya—yang duduk di kursi putar—dengan kaki menjauhi meja belajarnya yang berantakan oleh notebook, berbagai kertas, remah makanan dan bungkusnya, dan beberapa pena.
DUK. Punggung kursi putarnya beradu dengan kursi putar lain yang kosong milik teman sekamarnya, Jungshin.
"Kenapa? Jangan bilang kau mau pindah jurusan lagi ya?" Jungshin membanting bangun dirinya yang sedang santai membaca komik Conan.
"Kebenaran hanya ada satu!" Jungshin memamerkan telunjuk panjangnya dengan gaya detektif yang konyol dan kekanakan, mengutip tokoh utama dalam komik tersebut.
Joon, yang sedang menggeliat di kursi putarnya, hampir terpelanting karena aksi konyol temannya itu. Dia bisa memastikan kelanjutan ucapan Jungshin, "Begitu pula dengan hati dan konsentrasi. Hati hanya ada satu, tidak dipetak-petak. Konsentrasi pun hanya satu. Multi tasking? Itu mitos!"
Jungshin terpana. Setelah mungkin ratusan kali dia mengulang kalimat itu di depannya, akhirnya temannya ini hafal juga. Dia bertepuk tangan lambat untuk itu.
Joon bangkit dari kursi putarnya. Dia menggeliat sambil berkata, "Tenang saja. Aku tidak akan pindah jurusan lagi. Lebih tepatnya, tidak mungkin. Lusa kuliahku dimulai. Semester tiga. Hihihi." Dia sedikit berjingkrak saat ber-hihihi.
Dikira akan ke kamar mandi untuk mandi, ternyata malah berbelok dan menjatuhkan diri di tempat tidur. Mata Jungshin menyipit melihat tingkah plin-plan temannya ini. Dia berkomentar, "Tapi aku tak yakin kau bisa lulus sebagai dokter hewan. Mungkin setelah ini kau akan pindah jurusan lagi. Kau tidak tertarik masuk Psikologi? Jadi juniorku. Hah? Hah?"
Sebuah bantal mendarat di muka Jungshin.
"Jangan menggoyahkanku! Aku sudah bulat, bertekad untuk menjadi seorang dokter hewan yang dikenal oleh SELURUH masyarakat di negeri ini. Mungkin aku akan jadi yang terbaik di bidang ini." Joon bicara sendiri, membayangkan betapa suksesnya dirinya di masa depan kelak.
Jungshin berkumur-kumur, "Padahal dia mendadak pindah jurusan karena kucing peliharaannya mati. Lihat saja. Kalau dia bertemu dengan orang gila, mungkin dia akan pindah ke Psikologi."
"Manajemen itu membosankan. Terlalu umum." Joon membicarakan alasannya pindah jurusan, menyambung kumur-kumur Jungshin. "Kalau dokter hewan itu kan ... kesannya penyayang, ramah, keren, dan berkarisma. Wah, bayangkan betapa populernya aku nanti!" Joon merentangkan kedua tangannya sambil memejamkan mata, mulai berkhayal lagi.
Jungshin tak peduli. Dia melanjutkan bacaan komiknya dengan duduk bersila di atas tempat tidur.
Tiba-tiba Joon menjulurkan kakinya ke luar ranjang, mengagetkan Jungshin. Dengan kedua matanya yang terbuka lebar, dia berkata, "Bukan tidak mungkin aku akan bisa menyilangkan kucing dengan ikan, kodok dengan capung, ular dengan tikus—"
"Kau mau menghancurkan piramida makanan, hah? Kenapa tidak sekalian saja kau silangkan manusia dengan vampir, manusia dengan gumiho, manusia dengan—zombi, dengan alien, hah? Supaya seluruh jagad raya ini damai."
BUK. Kali ini dahi Jungshin dikenai kaus kaki. Dia berkipas-kipas di depan hidungnya.
"Yang masuk akal dong! Vampir, gumiho, zombi, alien, itu hanya mitos."
"Bagaimana dengan robot yang kau tonton barusan?"
"Itu fakta."
"Itu palsu," sahut Jungshin, tegas. Lalu dia berceramah, "Pikir baik-baik. Teknologi dibuat untuk membantu kehidupan manusia, benar? Benar. TAPI kalau segala sesuatu dikerjakan oleh robot, apa jadinya? Tingkat pengangguran meningkat, otot jadi lemas karena kurang bergerak, otak pun lama-lama akan menyusut karena jarang digunakan. Akibatnya? ROBOT AKAN MENGUASAI BUMI INI."
Joon sungguh merasa itu konyol. Dia sudah cukup lelah melihat temannya mondar-mandir sambil menggulung-gulung udara dengan telapak tangan. Ditambah pelototan mata sipit yang pelik di akhir ceramah, Joon mengendorkan pundaknya. "Gerah," ucapnya, lalu beranjak menuju kamar mandi.
"Kau habis ketemu sama cewek seksi ya?" teriak Jungshin, bertepatan dengan Joon menutup pintu kamar mandi. "Jangan begitulah. Kenalkan padaku satu. Promosikan aku. Bilang, aku ini tinggi, pintar, dan pengertian. Mahasiswa semester lima jurusan Psikologi. Itu fakta. Fakta!" Jungshin berjinjit genting di depan pintu kamar mandi, mengatakan fakta dengan ubun-ubun yang hampir menyentuh bingkai pintu. Dia benar-benar tinggi tapi kurus.
Joon membuka pintu, menjulurkan kepalanya dan berkata, "Tapi aku ini tampan dan mempesona. Dari yang seksi sampai yang manis, semua terpedaya olehku. Itu fakta."
Mata sipit Jungshin semakin sipit karena kesinisannya terhadap kepala Joon yang berada hampir sejajar dengan pinggangnya. "Kau pendek, dan itu fakta," Jungshin meledek.
"Kau akan wamil. Itu kenyataannya. Sebaiknya kau segera mencukur rambut." Lalu Joon menghilang ke balik pintu.
Jungshin menghembus napas putus asa. Benar, sebentar lagi dia akan berangkat untuk memenuhi tugas negara, wajib militer. Kencan buta tak akan ada gunanya. Dia mengendurkan bahu dan terduduk lemas di tepi ranjangnya. Untuk waktu yang cukup lama, dia terus seperti itu.
Kemudian Joon selesai mandi dan keluar dari kamar mandi dengan kerennya. Handuk putih melilit di pinggang dan tak ada handuk kecil untuk mengeringkan rambutnya. Dia mengibas-ngibas rambut basahnya yang tebal dalam slow motion di mata Jungshin. Benar, Joon itu tampan dan mempesona.
"Jangan jatuh cinta padaku," kata Joon, sambil melintas lalu duduk di tepi ranjangnya.
"Kau yang JANGAN SAMPAI merindukanku," balas Jungshin, sombong.
"Cih. Aku akan temukan roommate yang baru. Mungkin ... cewek seksi?"
BUK! Jungshin melempari Joon, dengan bantal, sekeras-kerasnya.
Joon tak masalah tentang itu. Dia bercerita, "Belakangan ini aku sering mimpi bertemu cewek bule di kandang sapi."
"Phft!" Jungshin langsung muncrat. "Cewek bule-nya sih oke, tapi kenapa harus di kandang sapi? Jangan-jangan ... cewek itu siluman sapi."
Joon geleng-geleng kepala. "Mungkin inilah sebabnya kau tak pernah punya pacar," Joon mengkritik imajinasi Jungshin yang selalu mengarah pada hal-hal mitos. "Pokoknya aku YAKIN itu adalah SEBUAH pertanda yang bagus. Tunggu saja. Mungkin aku akan benar-benar bertemu dengan cewek bule."
"Yah, aku akan TUNGGU kabar bagus darimu, yang adalah FAKTA bukan MITOS atau mimpi dan omong BELAKA. Lihat saja, mungkin mimpi itu artinya kau akan diberi tanggung jawab untuk mengurusi kandang sapi kampus semester ini. Kau kan dari jurusan kedokteran hewan. Itu fakta."
Joon sungguh tidak suka kemungkinan itu. Dia kembalikan lemparan bantal Jungshin yang tadi. "Mandi sana!" seru Joon, dengan kesal.
Jungshin menjatuhkan dirinya ke tempat tidur dan mengangkat tinggi-tinggi komiknya untuk dibaca. Katanya, "Untuk menghemat air, aku tidak akan mandi malam ini. Hahahaha."
"Jumlah air di muka Bumi ini tetap. Tidak perlu dihemat. Itu fakta." Joon membuka pintu lemarinya, memilih sembarang pakaian.
"Tapi untuk menggunakannya kita harus bayar. Itu kenyataannya, dan KEBENARAN HANYA ADA SATU!" Lalu Jungshin berguling di tempat tidurnya.
Bibir Joon mencong-mencong, mencibir kalimat favorit Jungshin yang dirasanya amat konyol, sambil berpakaian. Setelah itu, dia menjatuhkan diri ke ranjang dan mulai bermimpi.
Mimpinya dimulai dengan layar gelap yang memenuhi mata. Dia tahu, dia sedang berjalan dalam gelap itu. Kakinya sempat terantuk oleh sesuatu. Lalu sebuah suara terdengar, 'Tolong ... tolong aku. Apa kau mendengarku?'
Ya, Joon mendengarnya.
'Ini bukan mimpi. Cepat kemarilah dan tolong aku. Aku benar-benar butuh bantuanmu.' Suara itu terdengar begitu lembut dan manis.
Kau di mana? Ini gelap sekali. Aku tidak bisa melihatmu. Pendengaran Joon dipenuhi oleh suara berisik ranting dan daun-daun kering yang diinjak dan dilewatinya secara paksa. Dia yakin, ini di hutan atau semacamnya.
'Tutup matamu dan ikuti suaraku. Ini bukan mimpi. Kau akan bisa melihatku.'
Dan BLAK, mata Joon terbuka lebar. Pagi tiba, dan barusan itu adalah mimpi yang amat melelahkan. Seolah dirinya benar-benar berada di hutan yang gelap dan berjalan sangat jauh mengikuti suara itu. Huh. Apakah itu suara cewek bule di kandang sapi dalam mimpinya yang sebelumnya? Ey, tapi itu kan hanya mimpi.
Dan kenyataannya beberapa hari kemudian ucapan Jungshin menjadi kenyataan. Joon dan dua orang lain dari jurusannya juga tujuh orang lain dari jurusan yang berbeda-beda benar-benar ditugaskan untuk bertanggung jawab terhadap kandang sapi kampus.
Dia bertugas pada hari Selasa dan Jumat untuk mengamati, mempelajari, memberi makan, dan memandikan para sapi yang jumlahnya belasan di sana. Itu fakta, dan Joon benar-benar tidak menyukainya kecuali kalau mimpi tentang cewek bule itu juga menjadi nyata.
Dan pada suatu Selasa malam, saat dia terlambat memberi makan sapi-sapi, dalam perjalanan menuju kandang sapi, dia benar-benar mendengar suara itu.
'Kau mendengarku? Tolong aku.'
Jelas-jelas Joon mendengarnya, tapi rasanya bukan dengan telinga. Apakah itu hantu? Kalau hantu, kenapa dia sama sekali tak merasa takut atau merinding? Joon bertanya-tanya di tengah suasana kampus yang kelam.
Di kiri-kanannya pepohonan, Joon tahu. Ada sebuah pohon yang amat besar dan pohon-pohon besar lainnya juga beberapa semak dan bunga-bunga. Area ini jarang ditongkrongi para mahasiswa karena berada di bagian paling belakang kampus. Joon sendiri berada di sini karena ini adalah jalan tercepat dari indekos-nya ke kandang sapi kampus. Dia benar-benar tak melihat apa pun selain gelap dan pepohonan yang samar-samar.
'Tolong aku. Kumohon.'
'Kau di mana?' tanya Joon, dalam hati.
'Tutup matamu dan ikuti suaraku. Kau akan bisa melihatku. Aku bukan hantu.'
Tanpa sadar, Joon mengikuti suara itu. Suara itu benar-benar terdengar lembut dan manis, persis dengan mimpinya waktu itu. Apakah Joon akan benar-benar bertemu dengan cewek bule? Joon sama sekali tak terpikir tentang itu. Dia hanya mengikuti suara itu seolah dituntun dan terhipnosis.
Joon melangkah tanpa arah, mendengarkan suara yang menuntunnya, seolah tak ada rasa takut dalam dirinya. Joon berjalan mengikuti barisan batu sungai yang menempel ke tanah, kemudian dia keluar dari area batu sungai itu, melangkahi rumput, dan memasuki bagian yang lebih gelap di area kampus ini.
Karena ini bukan area untuk dipijak, kaki Joon beberapa kali terantuk oleh batu atau akar pohon yang menjalar. Pendengarannya dipenuhi oleh gemerisik ranting dan dedaunan kering yang dia injak, lintas, dan tebas. Joon benar-benar hanya mengikuti suara itu, lalu ...
'Aku di sini! Aku di sini!'
'Di mana?' Joon bertanya tanpa suara, tapi suara itu bisa menjawabnya. Dia memberi tahu keberadaan mereka telah cukup dekat untuk bisa saling melihat. Joon berbalik dan terkejut bukan kepalang.
Tiba-tiba di depan matanya ada sebuah benda yang tak masuk akal. Terlalu tak masuk akal meski benda itu berada di halaman fakultas teknik sekalipun. Benda apa itu? Elevator? Tapi kenapa kurus sekali? Dan ... berjendela?
'Ya, aku di sini,' ucap suara itu.
Juga ada seseorang di dalamnya. Dia adalah seorang gadis bermata biru dan berambut pirang. Berambut pirang? Pirang? Cewek bule?! Kedua mata Joon langsung cerah seketika.
'Aku di sini. Kau bisa melihatku?'
Joon menguji kesadaran dengan berkedip dan menggeleng kepala berkali-kali, tapi benda itu memang ada di sana dan ada seorang gadis di dalamnya. Ini bukan mimpi.
Dia pun terpesona dan berkata, "Ya, aku bisa melihatmu. Kau ... nyata."