"Ini aneh," Kedua alis Aidan bertautan. Ia bergeming tepat di depan pintu utama kediaman Richard--memandang heran kepada langit yang sangat mendung. Awan-awan hitam berarak pelan di atas sana yang mana sekitar tiga puluh menit lalu saat Aidan dibangunkan secara dramatis dari tidurnya adalah cahaya matahari bersinar terang ke dalam kamar. Samuel berdiri di sampingnya--bersedekap bagai seorang ayah yang mengetahui putranya telah melakukan tindak kriminal.
"Demi para dewa," Samuel berbisik. "Kau berdoa agar turun hujan supaya kita tidak jadi pergi. Apa aku benar, Tyler?"
"Apa?" Sontak Aidan menoleh menatap Samuel dengan mata membulat lebar, sementara pemuda itu masih memperhatikan gumpalan gelap yang menggantung di langit. Samuel Richard seolah ingin mengutuk putranya yang melakukan tindak kriminal sebagai hukuman. Aidan mendengus. "Aku tidak memohon apa pun kepada Tuhanku." protesnya. "Mungkin Tuhanmu itu, para dewa, yang hendak menurunkannya." Aidan menunjuk langit.
Secara sengaja dan dilebih-lebihkan Samuel menghela napas. "Cepat masuk mobil atau kita tidak akan makan apa-apa hingga besok pagi."
Di perjalanan menuju swalayan, Samuel mengemudikan mobil cukup santai walau tidak ada obrolan yang terjadi dengan pemuda di sampingnya. Satu-satunya suara yang memecah keheningan di dalam mobil adalah suara presenter yang membuka acara ramalan cuaca melalui radio.
"Kami perbaharui informasi prakiraan cuaca hari ini. Langit Kota Quebec yang sebelumnya diprediksi akan cerah sepanjang hari tiba-tiba berubah mendung dalam beberapa waktu terakhir. Diperkirakan hujan dengan intensitas sedang akan mengguyur seluruh kota siang ini. Waspada potensi hujan disertai kilat atau petir dengan durasi singkat. Kami mengimbau--"
"Kau tahu," Radio dimatikan. Aidan menatap bosan ke jalan raya melalui kaca jendela di sisi kanannya. Mobil-mobil lalu lalang mendahului Samuel. Di trotoar banyak pejalan kaki yang asyik mengobrol dengan kelompoknya masing-masing. Mereka tampak tidak merisaukan langit mendung di atas, kecuali untuk seorang wanita paruh baya yang berjalan pelan melewati toko roti. Payung merah muda telah dibentangkan di atas kepalanya, terlihat begitu mencolok. Wajah Aidan berpaling ke kaca depan mobil. "Sebelum kau membangunkanku pagi tadi, mimpi-mimpi itu datang lagi."
Samuel melihat sekilas ke kaca spion sebelum mobilnya berhenti perlahan karena lampu merah lalu lintas. Ia menengok Aidan. "Mimpi yang mana tepatnya?"
"Tentang sebuah permukiman yang mengalami kebakaran, dua pemuda, seorang wanita," Ia mengangkat bahu lalu menatap Samuel. "Selalu seperti itu." Aidan Tyler pernah membaca sebuah fakta umum yang menarik bahwa jika kau terbangun sepuluh menit dari mimpi, maka sembilan puluh persen jalan cerita mimpi tersebut akan terlupakan oleh otakmu. Namun, fakta itu tidak berlaku untuk mimpi-mimpi yang satu ini bagi Aidan.
Lampu merah berganti menjadi hijau. Mobil Samuel kembali melaju dengan perlahan. Aidan selalu mengakui bahwa Samuel mempunyai cara mengemudi yang genius seperti otaknya. Caranya membawa mobil sungguh lembut dan menenteramkan hingga kau bisa berlama-lama di dalam mobil dan takkan komplain jika diajak pergi ke manapun. Bahkan bila hal itu hanya berupa pergi mengelilingi rumahmu sendiri. Cara Samuel memutar kemudi ketika berbelok adalah yang terbaik. Kau perlu memegang segelas minuman untuk membuktikannya.
"Terakhir kali kau membicarakan mimpi itu adalah satu bulan yang lalu, apa aku benar?" tanya Samuel. Aidan berdeham membenarkan. "Jadi, sekarang datang lagi? Adakah yang berubah?"
"Tidak ada." Aidan sangat kecewa mengatakannya. Ia sungguh berharap bisa mendapat sesuatu yang lebih jelas dari semua mimpi itu mengingat sudah lebih dari sepuluh kali dalam tiga bulan terakhir kegiatan tidurnya diganggu oleh mimpi aneh tersebut. "Kubilang selalu seperti itu, Sam. Dua pemuda yang wajahnya sama sekali tidak jelas, tempat mengerikan yang dilanda kebakaran, dan wanita itu--hanya dia yang memiliki wajah utuh. Aku bisa melihat dia duduk begitu anggun dengan senyum kecil pada wajahnya yang rupawan," Aidan mengeluarkan isi pikirannya. "Dan selebihnya, aku yakin kau masih ingat keseluruhan jalan cerita mimpi itu."
Mobil kembali berhenti pada lampu merah berikutnya. Samuel pun kembali memandang Aidan. "Itu cuma mimpi, Tyler. Tidak ada--"
"Sam, aku tahu kau akan bilang begitu." Ia menghela napas. Mendadak potongan mimpi terakhir muncul dalam benak Aidan. Sialnya, itu juga bukan mimpi yang bagus untuk mengiringi waktu tidur. "Hanya saja ada satu tambahan," Aidan menceritakan mimpi lahirnya seorang bayi perempuan dan meninggalnya ibu si bayi. Samuel perlu menyeimbangkan fokusnya antara jalan di depan dan jalan mimpi Aidan. Ketika pemuda itu selesai bicara, ia tidak yakin harus mengatakan apa.
Hujan yang diinformasikan si presenter acara ramalan cuaca akhirnya turun setelah titik-titik air jatuh di atas kaca depan mobil. Bilah penyeka kaca pun dinyalakan. "Yah, mungkin kali ini mimpi yang barusan adalah sebuah petunjuk," Samuel membuat Aidan menatapnya penuh fokus. "Mungkin bayi itu adalah calon anakmu di masa depan." Seketika bahu Aidan merosot. Badannya dihempaskan ke sandaran kursi lalu ia mendengus.
Beberapa menit setelahnya tidak ada obrolan mengenai mimpi lagi. Aidan merasa muak membicarakannya. Lagi pula Samuel harus fokus menyetir sementara Aidan memperhatikan bilah penyeka kaca yang berayun-ayun stabil di hadapannya. Ia berusaha melupakan semua mimpi tersebut dari pikirannya dan mencoba mencari topik yang lebih menarik, tetapi nahasnya suasana seperti ini malah membuat Aidan mengantuk. Udara dingin ditambah Samuel yang menyetir mobil adalah kombinasi yang sempurna untuk tidur. Aidan hanya perlu mengambil selimut yang barangkali ada satu di bagasi.
Namun, saat mata Aidan setengah menutup, sesuatu yang muncul di kaca mobil meluapkan sebagian rasa kantuknya. Aidan bergeming. Matanya mengerjap lalu menatap lebih dekat ke kaca. Jika dirinya tak salah lihat, ada setitik kecil cahaya putih yang bersinar di langit mendung itu. Aidan menggosok-gosok mata untuk memastikan. Cahaya tersebut masih ada. Penasaran, lantas ia memajukan tubuh dan menyentuh kaca mobil dengan jari--mengusapnya. Tidak, ini bukan dari kaca mobil, Aidan menggeleng. Jika hal itu adalah sebuah bercak yang menempel, seharusnya mata Aidan sudah menangkapnya sedari tadi. Rasa bingung Aidan semakin menjadi ketika cahaya putih itu bergerak sangat pelan ke bawah. Aidan mengira seperti sebuah bintang jatuh. Anehnya, bintang jatuh di kala cuaca sedang hujan. "Sam," panggilnya. "Apa kau lihat itu?"
Samuel menoleh sebentar. "Lihat apa?" Ia mendapati Aidan tengah menunjuk ke depan. Samuel mengikuti arah pandang kawannya dan secara otomatis menyipitkan mata. "Apa itu?" Sontak Aidan menatap Samuel.
"Kau bisa melihatnya, kan?"
"Tentu saja bisa."
"Dia terus bergerak, Sam," Aidan tidak mengalihkan pandangan barang satu detik pun terhadap cahaya yang meluncur turun di langit, akan tetapi Samuel harus membagi fokusnya kepada jalanan di depan. Kendati begitu ia sangat penasaran.
"Coba lihat dari luar."
Aidan langsung membuka kaca mobil di sampingnya dan melongokkan setengah kepala ke luar. Tetes-tetes hujan singgah mengenai rambut dan wajahnya yang keheranan. Dingin sekali. Dari luar, cahaya tersebut seolah turun mendekat bagai meteor yang hendak menghantam Bumi. Celakanya, Aidan menerka jika cahaya-seperti-meteor-jatuh itu mengarah padanya. Secara spontan ia menengok kepada Samuel saat cahaya tersebut sungguh meluncur turun menghampiri mobil mereka.
"AWAS!"
Insting Samuel yang tajam langsung mendorong kakinya menginjak rem. Badan Samuel dan Aidan kompak terbanting ke depan sebelum kembali terhempas ke sandaran di belakang. Mereka mengamati cahaya putih yang bersinar super cemerlang di langit lalu secara bersamaan memutar badan, menatap ke kaca mobil bagian belakang. Cahaya itu bergerak menelusuri jalan raya dan menghilang di balik sebuah gedung perkantoran. Tidak ada suara dentuman atau sebagainya, tapi kini cahaya itu berdiam di satu titik di balik gedung--menyorot ke atas langit.
Aidan dan Samuel saling pandang. Keterkesimaan mereka lenyap saat terdengar suara klakson bersahut-sahutan dari beberapa mobil di belakang. Bunyi nyaring itu ramai sekali seolah tengah diadakan paduan suara mobil jalan raya. Lantas, satu per satu mobil berjalan mendahului, menyalip di sebelah kanan.
"Apa otakmu cukup waras untuk mencoba mencelakai orang lain?!"
"Jika berniat mati, matilah sendiri! Dasar berengsek!"
"Oh, purée! Pemuda yang tampan, tapi tidak punya otak!"
Mata Samuel membulat kebingungan kepada setiap mobil yang lewat. "Tapi, ada cahaya!" teriaknya membela diri.
"Dia benar!" Aidan ikut berteriak. "Ada meteor--bintang jatuh, barusan saja." Ia menunjuk ke langit walau tampaknya tidak ada orang yang peduli.
Sayup-sayup bunyi klakson yang menderu di jalan belakang mulai berhenti. Masih cukup banyak mobil yang melaju melintasi mobil mereka, tetapi sudah tidak ada hardikan maupun sumpah serapah yang terdengar. Hujan belum juga reda. Aidan dan Samuel kompak bergeming. Keduanya menyapu pandang ke sekitar. Para pedestrian yang secara tidak sengaja menjadi saksi peristiwa tadi tampak heran dan canggung. Ada tiga gadis yang berbisik-bisik, beberapa pria kekar yang menggeleng kepala, atau seorang wanita yang kelihatan tengah bertanya apa yang baru saja terjadi kepada sepasang lansia. Hal yang sama dari mereka semua adalah sorot mata yang mencuri-curi pandang kepada Aidan dan Samuel.
Aidan tak yakin mengapa pikirannya mengira jika orang-orang selain dirinya dan Samuel tidak mampu melihat apa yang baru saja terjadi. Seolah-olah mereka semua hanya mendapati peristiwa di mana mobil Samuel berhenti mendadak hingga nyaris mencelakai belasan mobil lain di belakang. Nyaris.
Tiba-tiba muncul seorang pria mengetuk kaca pintu di samping Samuel. Sambil memayungi diri, pria itu terlihat berusia lima puluh tahunan. Helai-helai rambutnya sudah memutih, kulit di kedua ujung matanya berlipat-lipat, matanya sendiri berwarna hitam, dan terdapat kantong mata yang samar-samar juga menghitam. Tidak seperti kebanyakan pengemudi yang marah-marah seperti tadi, raut wajah pria itu tampak biasa saja.
"Jika kalian tidak ada rencana untuk berkendara lagi, sebaiknya menepilah dulu, Nak." saran pria tersebut ketika Samuel membuka kaca mobil. Nada suaranya terdengar netral. "Barangkali kalian masih terguncang. Meski aku tidak mengerti mengapa kalian--"
"Monsieur, aku bersumpah ada sebuah cahaya yang turun menyusuri jalan ini." Samuel menekan kata terakhir. Kendati bicaranya terdengar memaksa, tapi Samuel tidak mudah terbakar emosi. Aidan tahu itu. Sebagai seorang pengusaha yang berkecimpung di dunia perdagangan, Samuel Richard selalu mampu mengendalikan diri dalam kondisi apa pun--kecuali pagi tadi jika menyangkut si Pemalas. Kadang Aidan bertanya-tanya bagaimana kawannya itu melakukannya, senantiasa bersikap tenang tanpa terpengaruh berbagai keadaan di sekitar. Aidan memberi sebentuk dukungan dengan mengangguk saat pria itu melirik dirinya. Samuel menoleh. "Temanku juga melihatnya. Aku terpaksa mengerem karena cahaya aneh itu terkesan hendak menabrak ke seluruh area di tempat sini."
Pria tersebut tertawa kecil seraya menggeleng. "Baiklah, Nak." sahutnya. "Kalian benar-benar harus menepi sekarang juga. Turunlah dan jernihkan pikiran."
"Apa Anda kira kami mengada-ada?" Kali ini Aidan langsung menyembur. "Kami mengatakan hal yang jujur. Anda harus tahu itu."
Satu tangan Samuel mengadang ke depan tubuh Aidan, berusaha menenangkan. Sementara pria tersebut kembali menggeleng kebingungan tanpa berkata apa-apa lagi. Jika seperti ini terus mereka berdua bisa disangka tidak waras. Samuel pun menghela napas. Ia menatap pria itu lalu mengangguk. "Kami akan menepi. Terima kasih, Monsieur."
Dua menit kemudian mobil telah bersandar di bahu jalan. Mengambil dua payung, lantas Samuel dan Aidan turun. Para pejalan kaki sudah kembali kepada urusan mereka masing-masing. Tidak ada lagi kerumunan di sepanjang trotoar. Sedangkan hujan masih tetap mengguyur. Dari kejauhan di atas terdengar gemuruh petir untuk pertama kali. Aidan merasa sangat jengkel. Bersamaan dengan mimpi-mimpi aneh yang didapatnya, hari ini adalah hari paling tidak masuk akal dalam hidup Aidan. Fenomena yang baru saja terjadi tidak berhasil membuat Aidan berpikir logis. Ia sungguh tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Tiba-tiba Samuel menyikut Aidan. Ia menggeleng singkat kemudian menoleh ke arah langit. Mengedikkan dagu, Samuel meminta Aidan untuk mengikuti arah pandangnya. Di atas sana, di balik gedung perkantoran Quebec, cahaya putih yang tadi melesat dan menghebohkan mereka berdua masih menyorot terang bagai lampu panggung, bagai sebuah pilar putih besar tak kasat mata yang menyangga langit Bumi.
Aidan mengernyit lalu dengan cepat menggaet seorang gadis yang lewat di dekatnya. "Permisi sebentar, Mademoiselle." Ia berkata penuh sopan. "Apa kau melihat tiang bendera yang bersinar di sana?"
Gadis itu menyapu langit yang ditunjuk Aidan. Ia tampak mencari-cari tiang bendera yang dimaksud, tetapi tidak menemukan apa pun selain langit mendung dengan guyuran air hujan. Ia pun menggeleng. "Aku tidak melihat apa-apa." katanya membuat Aidan melirik Samuel. Gadis tersebut pergi setelah Aidan mengucapkan terima kasih.
"Hanya kita yang dapat melihatnya. Apa aku benar?" tanya Samuel. Aidan cuma mengangkat bahu. Ia sudah cukup lelah dengan kejadian ini sedangkan Samuel justru mengulum senyum sambil menatap cahaya itu. Seolah mengetahui adanya properti yang bernilai tinggi untuk dijual, Samuel kelihatan sangat tertarik untuk memburunya. "Ayo cari tahu apa yang sebenarnya terjadi."
* * *