Aidan Tyler mengutuk habis-habisan air soda yang baru saja menyentak kerongkongannya hingga tersedak. Cipratan airnya mengenai meja makan di depan dan beberapa bagian baju. Rasanya bagai melahap ratusan jarum yang menusuk seluruh bagian dalam leher. Dengan sigap Samuel menyerahkan segelas air putih dan membersihkan meja yang terkena tumpahan air soda. Aidan meneguk sedikit air untuk menetralkan kondisi kerongkongannya. Sejenak ia diam bernapas.
"Aku minta maaf." Raquela Walmond yang duduk tepat di seberang meja merasa terkejut atas apa yang baru saja terjadi kepada Aidan. "Aku tidak menduga bila ucapanku akan membuatmu seperti ini. Apa hal itu sangat mengganggu?" ungkapnya penuh rasa bersalah. Seketika Raquela sungguh menyesal dan khawatir karena telah mengatakan yang sebenarnya. "Kau baik-baik saja, Tuan Tyler?"
Aidan menatap nanar ke arah ruang tengah tempat mereka semua berkumpul sebelum tukang antar makanan yang dipesan Samuel datang dan pemuda itu menyuruh mereka pindah ke meja makan di dapur sambil menceritakan segala kisah aneh yang tidak pernah terpikirkan oleh Aidan akan menjadi nyata.
"Aku belum pernah tersedak minuman soda yang hampir membunuh diriku sendiri." Mata Aidan bertemu dengan mata hijau pirus tersebut. "Apa yang kau katakan barusan hanya lelucon, kan?" Tatapan Aidan berpindah kepada Edgar lalu melesat kembali kepada Raquela. Sayangnya tidak ditemukan tanda-tanda kebohongan dalam binar indah di kedua manik itu.
Kini Aidan menaruh perhatian kepada Samuel. Kawannya tersebut masih betah menunduk mengamati spaghetti dengan khidmat. "Sam," panggilnya. "Kau tidak percaya, kan? Mereka bohong, kan?" Samuel tetap bergeming. Kegiatan meneliti makanan cepat saji rupanya lebih menarik bagi Samuel ketimbang menjawab pertanyaan Aidan.
Si ikal itu mendecak lidah. "Kau tahu betul kalau aku menikmati berbagai kisah mitologi di dunia ini, tapi bukan berarti aku meyakininya." Aidan mencengkeram bahu Samuel erat-erat. "Jadi, katakan kalau kau sependapat denganku, Samuel."
Raquela mencermati raut wajah Samuel yang tidak bisa ditebak. Pemuda berambut cokelat madu itu tidak menampakkan ekspresi apa-apa. Dibanding Aidan yang sifatnya terbaca hampir mirip dengan diri Raquela, Samuel adalah sosok yang membuat Raquela bertanya-tanya seperti apa watak aslinya. Dia sangat ramah dan bijak sewaktu sesi perkenalan, tapi sekarang ketika dia hanya diam membisu, tak ada satu celah pemikiran yang terbersit mengenai apa yang tengah dirasakan pemuda itu.
Di satu sisi Raquela bersyukur betapa minimnya jarak antar bangku di meja makan ini karena dirinya bisa mengamati kedua pemuda Bumi dengan lebih detail. Tujuannya adalah membuat keputusan apa mereka pantas dipercaya atau tidak.
Ditinjau dari penampilan fisik, Edgar benar; Aidan dan Samuel adalah pemuda-pemuda yang tampan dan tidak jauh berbeda dengan wujud manusia normal dalam sepengetahuan Raquela. Perbedaan itu hanya terletak dari cara berpakaian. Namun, hal tersebut tidaklah penting. Edgar sempat berbisik kalau Aidan adalah pemuda yang menarik baginya sedangkan Samuel tampak seperti lelaki dewasa pada umumnya dengan rambut cepak dan kumis-kumis tipis serta bola mata hitam yang tak pernah kehilangan fokus.
Sementara Aidan, Raquela mengakui bahwa manik emas itu adalah sesuatu yang baru yang belum pernah ia temukan sebelumnya. Edgar berkata tidak ada manusia yang mempunyai mata seindah itu kecuali karena kelainan genetik atau bantuan lensa kontak.
Aidan berambut ikal hitam. Alisnya tebal, bulu mata lentik, juga kumis dan janggut di sekitar bibirnya yang tipis. Lesung pipi tercipta tiap kali kedua ujung bibirnya terangkat naik. Edgar menggambarkan sosok Aidan bagai perwujudan dari keindahan surga yang dituangkan dalam diri manusia. Raquela tidak yakin adakah sebutan yang lebih bagus untuk menggambarkan sosok Aidan, tetapi jika ada, Aidan Tyler laksana seorang dewa itu sendiri.
Bak penantian panjang, akhirnya Samuel berdeham lalu menepis tangan Aidan dari pundaknya. "Aku hanya akan mengulang info-info penting untuk mengurangi sedikit keraguanmu, Tyler."
"Apa yang kau bicarakan?"
"Pertama," Samuel mulai mendikte. "Raquela adalah seorang putri dari sebuah kerajaan bernama Axelle. Edgar adalah putra kepala koki istana yang menjadi teman sekaligus pendamping perjalanan Raquela."
Samuel menerima sambutan manis dari senyum kebanggaan Edgar.
"Kedua, mereka sedang dalam misi pencarian bunga Anemone di Bumi. Anemone sendiri merupakan tumbuhan yang dianggap sakral karena bisa menyembuhkan berbagai penyakit dan menjadi senjata perang. Ketiga, mereka harus mendapatkan bunga tersebut untuk membangun kembali taman Anemone milik kerajaan yang dikabarkan lenyap tak bersisa. Terakhir, mereka harus menyelamatkan dunia mereka yang bernama Monte dari segala potensi bencana serta kerusakan yang menghantui selama Anemone tidak ada." Samuel selesai menjelaskan.
Ulasan yang dipaparkan Samuel tidak banyak membantu. Hingga kini Aidan tidak percaya dengan segala macam cerita yang baru saja ia dengar. Rasanya benar-benar konyol dan menggelikan. Apa hal ini merupakan satu dari seribu harapan gila milik Aidan yang menginginkan agar terciptanya dunia khayalan yang nyata? Negeri dongeng? Khususnya kalimat yang dilontarkan Samuel beberapa saat lalu, 'menyelamatkan Monte'. Apa hal tersebut sungguh-sungguh dikutip dari sebuah cerita fiksi pahlawan super? Ditambah hal yang lebih gila adalah Samuel terlihat memercayai semua itu. Aidan mengira bahwa dirinya sudah terlalu sering memainkan video game. Pasti itulah penyebabnya.
"Kalau begitu mengapa orang lain tidak bisa melihat kedatangan kalian bersama cahaya aneh tersebut?" tukas Aidan.
Edgar menautkan alis. "Cahaya apa?"
"Kemunculan kalian di Bumi dibawa oleh semacam cahaya putih yang turun dari langit." timpal Samuel. "Anehnya, hanya kami berdua yang bisa melihat cahaya itu, sedangkan orang-orang lain bersikap layaknya tidak terjadi apa-apa." Samuel bertanya kemungkinan Raquela dan Edgar mengetahui suatu penyebab dari keganjilan sang cahaya. Mereka pun saling pandang beberapa lama dan setelahnya Raquela menggeleng. Gadis itu tampak kebingungan.
"Maaf, tapi aku payah sekali mengenai urusan seperti ini," ujarnya. "Barangkali Edgar si Pengetahuanku bisa menjawabnya."
Pemuda pirang tersebut mendapat tatapan dari setiap pasang mata yang penasaran. Ia berdeham dengan hidung mengerut lalu menggaruk salah satu belakang telinga yang tidak gatal. "Aku tidak ingat buku sejarah Monte pernah menyebut hal itu, tapi jika diasumsikan cahaya tersebut berasal dari efek Portal Cahaya yang kami gunakan sebagai pintu masuk menuju Bumi." Kali ini Aidan dan Samuel yang saling pandang. "Selebihnya aku tidak tahu mengapa."
Aidan bagai ditimpa kepingan demi kepingan puzzle berukuran raksasa yang menarik untuk dipecahkan. Meski pernyataan adanya dunia lain di semesta ini yang sulit sekali diyakini, Aidan mengira masih banyak hal yang akan jauh lebih sulit dijelaskan oleh logika mengenai isi dunia tersebut. Atau memang ada beberapa aspek yang tidak mungkin bisa dikaitkan dengan nalar manusia biasa. Selagi memikirkan hal-hal itu, mendadak sebuah nama muncul dalam benak Aidan. Nama yang sekiranya membuat Samuel kurang nyaman beberapa waktu terakhir.
Mata Aidan menyipit kepada Edgar. "Siapa Jonathan Felix?"
Dalam detik waktu yang bergulir dengan cepat, Aidan memergoki Edgar melirik Samuel secara refleks. Kepingan puzzle baru. Kali ini Aidan tidak tahu bagaimana menganalisisnya karena setiap nama Jonathan Felix disebut, si pirang itu akan langsung mencuri-curi pandang ke arah Samuel.
Ini sangat rumit. Tidak mungkin Samuel dan Edgar saling mengenal walaupun secara kebetulan. Yah, kebetulan macam apa yang bisa menjadi kebetulan sejenis ini? Aidan memutar otak. Namun, pada akhirnya Samuel dan Edgar hanya menggeleng kepala.
"Setidaknya harus aku ucapkan selamat datang di Bumi." Samuel merentangkan kedua lengan layaknya memberi sambutan. Untuk beberapa lama Raquela menduga sifat diam Samuel yang sulit dibaca telah hilang. Dia kembali ramah seperti biasa. "Sekarang kalian berada di rumahku, tepatnya di Kota Quebec. Mengenai Anemone, aku tahu sebuah tempat yang baik untuk mendapatkannya dan kami akan ikut serta mendampingi kalian." tutur Samuel membuat Aidan terperanjat.
"Tu-tunggu dulu," Aidan mencengkeram pundak Samuel. Dia pun menoleh dengan malas. Aidan seolah memberi kode dengan mengedipkan mata beberapa kali, tetapi hal itu justru membuat Samuel bingung. Aidan berdecak sebelum memutar bola mata. "Apa yang kau bicarakan, Sam?" Ia mendesis. "Kau berniat membantu mereka?"
Samuel mengangkat satu alis. "Sudah jelas, bukan? Kita harus membantu. Apa kau tidak dengar tujuan kedatangan mereka yang sangat mulia?"
"Tapi, Sam, ayolah…"
"Aku sudah membuat keputusan, Tyler."
"Tidak, tidak." Aidan menggeleng keras. Mata emasnya penuh dengan kecurigaan dan keresahan. "Apa yang membuatmu begitu memercayai mereka? Ini semua tidak masuk akal, Sam. Bisa saja mereka adalah sepasang kekasih yang tidak waras yang masuk ke rumah-rumah orang dengan tujuan yang tidak jelas. Oh, atau mereka berniat menginvasi Bumi, Sam, pikirkan itu."
"Dengar," Samuel memutar posisi duduknya menghadap Aidan. Ia perlu manarik napas sejenak untuk mengendalikan si Pemalas yang satu ini. "Aku tidak peduli dengan pemikiranmu. Lagi pula mereka tidak terikat hubungan semacam itu, tapi aku percaya mereka adalah orang-orang baik. Coba kau lihat mereka,"
"Apa?"
"Lakukan saja."
Dengan enggan Aidan menoleh, menatap satu-satunya gadis bermata hijau pirus yang duduk persis di hadapannya. Di sana Raquela dan Edgar hanya melongo melihat kelakuan dua makhluk Bumi yang sibuk berdebat di meja makan.
"Apa menurutmu wajah-wajah itu menyimpan kepalsuan?" Samuel berbisik di telinga Aidan. Apa yang diminta Samuel adalah 'melihat mereka', tetapi tanpa disadari Aidan hanya terpaku menatap Raquela.
Barangkali gadis itu merasa tidak nyaman diperhatikan seperti ini. Namun, Aidan justru merasakan sebaliknya. Secara perlahan kecurigaan itu mengendur, keresahan itu memudar, dan ketidakyakinan itu menghilang. Aidan mampu mengendalikan emosinya cukup stabil. Lalu pada satu momen tersebut, semua pemikiran dan perasaan negatif Aidan lenyap ketika Raquela Walmond mengembang senyum, begitu hangat dan membuat wajahnya terlihat makin memesona. Sekejap Aidan Tyler membeku. Sebuah perasaan aneh menyeruak dalam diri Aidan yang menyentakkan suatu tayangan abstrak di balik kelopak mata. Kemudian, mimpi-mimpi anehnya ikut bermunculan.
"Kalian bersungguh-sungguh akan membantu kami?" Raquela seperti tersengat semangat dan harapan yang menjanjikan. Binar pada kedua matanya dihadiahi senyum serta anggukan kompak dari Aidan dan Samuel. Bahkan si ikal itu menyetujui tanpa pernah berpikir panjang lagi. Di dalam hatinya, biarpun Aidan tidak memercayai sang putri dan kawan kokinya tersebut, setidaknya ia bisa menaruh kepercayaan pada Samuel karena Aidan sangat mengenal Samuel dan selama tujuh tahun ini setiap keputusan yang diambil Samuel belum pernah mengecewakan Aidan.
"Tentu roh jahat tidak akan sebaik kalian." Edgar membuat setitik rasa kesal Aidan kembali timbul. Kata-kata yang cenderung bermakna bahwa Aidan-bagaikan-iblis selalu sukses menggoyahkan keyakinan. Sementara Samuel malah tertawa santai, Edgar memandang semua orang dengan riang. Begitu pula Raquela yang nyaris melupakan momen saat Aidan tersedak habis-habisan akibat pengakuan mengenai dari mana ia berasal.
Terlihat Aidan menjadi satu-satunya orang yang sulit sekali menangkap setiap topik pembicaraan mereka.
"Siapa pun yang berbaik hati tolong jelaskan maksud dari roh jahat di sini." celetuknya terlebih kepada Samuel. Aidan heran mengapa dia selalu bisa menerima segala bahan pembicaraan tanpa pernah bertanya. Samuel menyikapinya dengan serius, tapi santai bagai bercerita di waktu sore ditemani secangkir teh hangat dan biskuit cokelat.
"Bayangkan saja beberapa video game yang kau mainkan." Aidan menelengkan kepala dan Samuel melanjutkan, "Semua karakter antagonis yang diperankan oleh tokoh-tokoh di dalam permainan tersebut adalah representasi roh jahat dari dunia mereka. Begitu kira-kira."
"Tapi tidak ada karakter antagonis di Bumi." kelakar Aidan.
"Siapa bilang?" Samuel menuang air putih ke dalam gelas lalu meminumnya sampai habis tak bersisa. Memberi penjelasan kepada Aidan bagai membuatnya haus lagi dan lagi. Sedangkan Aidan cukup sabar melihat pemuda itu menyelesaikan urusan dahaganya.
Samuel menghela napas sebentar lantas kembali menatap Aidan yang masih menunggu. "Itu hanya karena kau memainkan peran protagonis, Tyler. Akan berbeda ceritanya jika kau memainkan peran yang sebaliknya. Apa aku benar?"
*