Swalayan adalah satu dari sekian banyak tempat umum yang menyimpan kejutan. Begitu tiba di rumah, Aidan langsung melesat ke kamar, menarik asal gorden untuk menutup jendela, dan menjatuhkan diri di atas kasur berniat kembali tidur. Tidak sampai satu menit, Aidan malah bangkit dalam posisi duduk lalu mengeluarkan dua benda dari saku-saku jaketnya. Satu merupakan kantong plastik berisi kalung dan satunya lagi adalah kotak kayu.
Tidak terbersit bayangan mengapa gadis kasir bernama Lucy tersebut memberi hadiah berupa kotak kayu sederhana berukuran dua puluh kali lima belas sentimeter. Beratnya cukup ringan, ketika diguncang ke atas dan ke bawah layaknya anak kecil yang diberi hadiah ulang tahun untuk menebak isi di dalamnya, Aidan tidak mendengar suara ataupun sesuatu yang bergerak. Tanpa berlama-lama lagi, Aidan segera membuka kotak sekuat tenaga.
Sangat besar kekuatan yang dikerahkan Aidan Tyler hanya untuk membuka sebuah kotak kecil yang barangkali isinya tidak seberharga emas dari peti harta karun. Kalau bukan karena penasaran, kotak itu pasti sudah dibuangnya sedari tadi. Sejenak Aidan menghela napas. Kemudian suara Samuel melesak dalam pikiran.
"Ada rasa penasaran yang tidak selamanya harus selalu diatasi…"
"Sial," desisnya.
Namun, semangat Aidan tidak lepas sampai di situ. Ia kembali mencoba perlahan-lahan, menimbang kemungkinan ada sebuah cara khusus untuk membukanya karena mustahil seseorang memberikan benda itu dengan embel-embel hadiah tanpa pernah bisa dilihat isi di dalamnya.
"Susah payah membuka benda ini, maka isinya harus sesuatu yang bernilai tinggi." Aidan menggerutu.
Secara detail ia mencermati tiap inci rupa kotak tersebut. Tampaknya ada yang luput dari penglihatan Aidan sebelumnya. Terdapat sebuah kepingan logam berbentuk lingkaran kecil pada salah satu bagian sisi kotak. Mata Aidan menyipit kala menemukan huruf-huruf tak kalah kecil terukir di atasnya. Dengan sekali tekan Aidan menyalakan lampu nakas untuk menerangi tulisan itu.
A H R E N S
"Ahrens."
Tiba-tiba, secara mengejutkan terdengar bunyi klik disertai terbukanya tutup kotak kayu. Aidan hanya diam dan bertanya-tanya apa yang baru saja diperbuat. Namun, tidak ada kegiatan apa pun kecuali pengucapan satu kata itu. Sebelum dirinya berpikir macam-macam, Aidan segera membuka kotak. Isi di dalamnya berupa busa sintetis berwarna hitam. Di tengah-tengah busa itu ada bagian yang melekuk ke dalam yang ditempati oleh sebuah benda berbentuk persegi panjang. Serta-merta Aidan mengambil benda tersebut.
"Pisau?" gumamnya saat menyadari mata pisau yang tersembunyi di dalam pegangannya. Ketika bilah itu muncul, jadilah bentuk pisau lipat yang sesungguhnya. Kini Aidan seratus kali lebih bingung mengapa seorang gadis asing memberinya hadiah berupa pisau lipat? Selain itu, Aidan ragu apakah benda tersebut sungguh-sungguh pisau atau hanya barang mainan. Walau demikian, bilah tajam yang mengilap itu kelihatan tidak main-main.
Sekonyong-konyong Aidan mendengus sambil menggeleng kecewa. "Aku tidak butuh senjata tajam apa pun." Ia melipat bilah pisau lalu menaruhnya ke tempat semula, menutup kotak dan menyimpannya di laci nakas.
Waktu menunjukkan pukul empat sore kala Aidan memutuskan mandi lebih awal. Biasanya Aidan selalu 'mandi sore' yang sebetulnya mengarah ke malam sekitar pukul sepuluh, empat jam setelah makan malam. Aidan menyempatkan untuk mencukur kumis dan janggut terlebih dahulu. Celakanya, kegiatan mencukur tidak berlangsung mulus. Tepat ketika pintu kamar mandi menjeblak terbuka, Aidan terlonjak dan tidak sengaja mengiris kulit di atas sudut bibir sebelah kanan. Ia mendengus menahan amarah. "Kuharap kau punya alasan yang bagus untuk melupakan tata krama dalam mengetuk pintu."
"Sedang sibuk, ya?" Samuel bertanya tanpa memedulikan kesinisan kawannya. "Aku hanya ingin menanyakan menu makan malam yang kau mau."
Aidan menggeram sambil menutupi luka. "Terserah padamu asal jangan datang lagi kemari dan jangan ganggu aku. Sekarang pergi."
Samuel hanya tersenyum datar dengan mulut terkunci rapat sebelum berkata, "Maaf." dengan acuh tak acuh lantas berderap keluar kamar mandi. Serta-merta Aidan menghela napas dan segera membasuh luka dengan air mengalir.
Sejenak Aidan mengamati luka dengan cairan berwarna emas yang mengucur pelan. Bertahun-tahun ia menghindari segala tindakan yang berpotensi melukai diri sendiri, bukan karena takut, tetapi karena Aidan Tyler tidak ingin melihat darah yang mengalir keluar dari tubuhnya. Ia heran mendapati darah tersebut berwarna emas alih-alih merah. Pertama dan terakhir kali tubuhnya terluka, yaitu delapan tahun lalu saat membantu sang bibi memotong sayuran—Aidan sungguh ketakutan melihat cairan emas menyembul dari telunjuknya ketika tidak sengaja teriris pisau. Sejak saat itu Aidan sangat berhati-hati dengan benda tajam. Namun, tanpa diduga hari ini ia malah mendapatkan salah satunya sebagai hadiah.
"Tuan Tyler?"
Aidan bergeming mendengar suara dari luar kamar mandi. Siapa lagi yang memanggil namanya dengan sebutan itu selain Raquela, satu-satunya gadis di rumah ini. Aidan melangkah ke luar dan menemukan Raquela celingak-celinguk di dalam kamarnya. Dia terperanjat begitu melihat Aidan sudah berdiri di belakangnya.
"Maafkan aku," ujar Raquela. "Pintu kamarmu terbuka, jadi aku langsung masuk."
Pemuda itu menggeleng sekilas. "Ada apa?"
"Begini," Raquela hendak melanjutkan kalimat sesaat matanya menyadari perubahan pada wajah Aidan. Tak ada lagi kumis dan janggut—yang Raquela sadari membuat wajah Aidan makin tampan dan terlihat segar—tetapi sebuah goresan pada kulit di dekat bibir Aidan yang paling menyita perhatian. Raquela tidak ingat ada goresan semacam itu sebelumnya. Ia mengerutkan dahi seraya mengangkat telunjuk. "Apa itu? Kau terluka?"
"Ah," Aidan bagai menyadari. "Bukan apa-apa."
Namun, Raquela tidak bisa melupakannya begitu saja. Kakinya melangkah mendekat. "Apa kau terluka, Tuan Tyler?" Dengan santainya Raquela mempersempit jarak, tetapi Aidan berdiri di tempat. Tanpa permisi, imajinasi Aidan berputar dalam pikirannya saat memaku pandang pada kedua manik indah di hadapannya.
"Aku akan mengambil obat, tunggulah sebentar."
Tak berapa lama Raquela kembali sambil membawa sebuah benda berbentuk lingkaran pipih yang Aidan ingat pernah diperlihatkan Samuel sewaktu menggeledah isi ransel di taman. Ketika dibuka, rupanya benda itu merupakan semacam obat oles. Secara sukarela Raquela mengambil sekelumit menggunakan telunjuk lalu mengarahkan kepada wajah Aidan sebelum pemuda itu beringsut menjauh. "Aku tidak akan menerima obat apa pun sebelum kau menjelaskan apa itu?"
Raquela berakhir menatap telunjuknya sendiri. "Oh, kau tidak perlu khawatir. Ini adalah salep Anemone yang berasal dari ekstrak bunga Anemone sungguhan. Aku selalu membawanya ke mana pun sebagai obat untuk meringankan rasa sakit dan menyembuhkan luka. Aku juga senang memakainya sebagai parfum."
"Parfum?" Aidan mengulang. Detik berikutnya obat berwarna putih tersebut melumuri luka Aidan. Dengan hati-hati Raquela mengolesinya karena takut mengenai bibir dan termakan ke dalam mulut mengingat ini adalah obat luar yang tidak boleh dikonsumsi. Sementara Aidan sendiri merasakan sensasi dingin yang menyegarkan seperti sampo berbahan daun mint yang mengenai kulit kepala jika sedang mencuci rambut. Awalnya perih, tapi lama-kelamaan hilang. Di samping semua itu, kini Aidan tahu dari mana asal aroma tubuh Raquela.
"Terima kasih." ucapnya begitu selesai.
Raquela tersenyum seraya mengangguk. Ia menutup obat Anemone lalu dengan canggung berjalan mundur. Aidan tidak menyadari betapa penasarannya hati Raquela perihal cairan emas yang menyelubungi luka. Apakah hal tersebut sejenis darah atau sesuatu yang lain yang hanya dimiliki oleh manusia-manusia Bumi. Raquela perlu bertanya kepada Edgar.
"Aku permisi dulu."
"Raquela," Aidan menahan lengan gadis itu tepat sebelum dia melangkah. "Bukankah ada sesuatu yang ingin kau katakan sebelumnya?"
Manik hijau pirus tersebut bergerak ke segala arah sebelum berakhir menatap tangan Aidan yang besar dan hangat. "Mungkin lain kali." Raquela memandangi wajah Aidan. "Sebaiknya sekarang kau beristirahat, Tuan Tyler."
"Baiklah." Aidan menurut. "Aku akan istirahat sebentar jika kau berjanji untuk mengatakan hal yang ingin kau katakan. Aku akan menunggumu di balkon setelah makan malam." Lalu Aidan melepas lengan Raquela dengan lembut.
Gadis itu terpaku sejenak melihat mata emas yang memantulkan cahaya senja dari celah jendela yang tidak tertutupi gorden. Semburat oranye yang terang justru menciptakan gradasi warna mengagumkan dalam kedua mata itu. Raquela memang belum pernah bertemu dewa mana pun—dan barangkali tidak ada niatan untuk bertemu dalam waktu dekat karena belum siap mati—tetapi merasa benar dalam menyebut sosok Aidan laksana seorang dewa, karena baginya mata-mata indah yang dimiliki Aidan Tyler adalah salah satu kedewataan yang hakiki.
* * *