Chereads / ANEMONE: Closeness / Chapter 13 - Awal dari Semuanya (2)

Chapter 13 - Awal dari Semuanya (2)

Raquela Walmond terkesima akan kondisi dan suasana di hutan ini. Sangat hening, sunyi, dan cukup dingin. Ia betah menyapu pandang ke seluruh area di sekitar. Mata hijau pirus itu jelalatan kepada setiap objek yang terekam dalam indra penglihatannya. Semakin dalam memasuki hutan, semakin banyak jenis tumbuhan liar yang hidup di tempat tersebut. Saking seringnya Raquela melakukan petualangan ke alam liar di Monte, ia mampu mengabsen satu demi satu tumbuhan Bumi di hutan ini yang rupanya sama saja dengan tumbuhan liar di alam terbuka di Monte.

Sekitar lima meter dari perbatasan hutan yang mereka lalui, ada tumbuhan kudzu yang menutupi hampir setiap jengkal langkah kaki. Tumbuhan itu merambat di setiap daerah yang bisa dia rambati termasuk batang-batang pohon. Di beberapa titik di area sebelah kiri, Raquela menemukan tumbuhan heather yang sedang cantik-cantiknya berbunga. Ia menikmati indahnya warna khas bunga tersebut berbaur dengan helai-helai daun yang berserakan di bawahnya. Kemudian di sisi lain hutan ada tumbuhan stevia dan tumbuhan paku seperti paku sejati dan rane. Sementara pohon-pohon yang menghuni hutan tersebut di antaranya seperti pinus, ek, birch, beech, ash, dan maple.

Terhitung hampir dua jam mereka berada di hutan tersebut dan kini arlojinya tepat menunjukkan waktu makan malam. Aidan Tyler berharap mereka tidak akan bertemu dengan hewan buas apa pun seperti yang dikatakan Samuel dan sejauh ini keadaan masih aman. Lampu-lampu senter telah dinyalakan menjadi sumber penerangan di dalam hutan yang kian gelap. Sebagian besar pohon sudah kehilangan banyak daun yang berjatuhan ke tanah. Aidan hampir lupa saat ini masih musim gugur di mana dedaunan tidak akan selebat di musim semi. Maka, bulan yang bertengger di langit pun mampu menyinari tempat itu dengan baik hingga ke daun-daun kering yang menutup permukaan tanah.

"Semuanya," Samuel berbalik badan. Ia mengecek arloji satu kali sebelum mengarahkan benda itu kepada semua orang. "Pukul enam petang. Perjalanan hari ini kita cukupkan. Bersiaplah untuk berkemah."

Kelompok tersebut menurunkan ransel masing-masing. Karena sudah sangat lapar, Samuel mengeluarkan makan malam pertama mereka di alam liar. Tidak perlu yang merepotkan, empat buah mangkuk plastik berisi pasta berlumur saus aglio olio ditambah lauk berupa udang yang telah disiapkan Samuel pagi tadi. Aidan sempat bertanya apa makanan itu masih layak disantap dan Samuel yang memang mahir memasak tidak akan pernah mengecewakan orang yang akan menikmati hidangan buatannya. Selesai makan, ketiga pemuda akan membangun tenda masing-masing ditambah milik Raquela sementara gadis itu mengajukan diri demi mencari kayu bakar untuk membuat api unggun. Awalnya salah seorang di antara Aidan dan Edgar berniat menemani, tetapi Raquela bersikeras ingin mencarinya sendiri.

"Fais gaffe, Raqi." Aidan berkata. "Hati-hati."

Maka di sinilah ia sekarang. Berbekal senter yang diberikan oleh Samuel untuk menerangi jalan. Benda yang dapat mengeluarkan cahaya ini sungguh hebat, pikir Raquela. Kakinya terus menyusuri tanah bertabur daun-daun kering berwarna merah dan kuning dan cokelat. Senter diarahkah ke bawah kalau-kalau menemukan batang pohon yang dapat membuatnya tersandung alih-alih menjadi kayu bakar. Tanpa sadar, Raquela memasukkan dirinya ke kedalaman hutan yang lebih jauh.

Akhirnya beberapa menit dirasa cukup dengan banyaknya kayu yang didapat, Raquela memutuskan untuk kembali. Namun, ketika memutar badan, matanya menangkap sebuah pergerakan di kegelapan malam. Raquela kontan membeku, ia mengerutkan dahi lantas menyipitkan mata.

Sesuatu tersebut kira-kira berjarak sepuluh meter dari Raquela. Bentuknya tidak jelas—hanya berupa siluet hitam dengan titik-titik putih menyala yang diyakini sebagai mata. Di atas sana bulan sedang tertutup awan sehingga cahayanya tidak mampu memberi Raquela gambaran. Saat Raquela mematung, dia juga bergeming. Sekilas Raquela sempat menyangka mungkin itu hanya batu berukuran besar yang tidak bahaya sama sekali. Namun, dugaannya meleset ketika bayangan hitam yang dianggap batu justru terlihat berjalan menghampiri dan sepertinya bukanlah manusia. Pelan-pelan kaki Raquela melangkah mundur. Seluruh badannya mulai waspada dan berinisiatif memadamkan senter agar tidak menarik perhatian.

Sambil menebak-nebak makhluk apa yang merangkat mendekat—sebelum terdengar suara menggeram. Raquela terkejut; jantungnya sontak berirama lebih cepat, tetapi tidak serta-merta merasa takut. Hal ini membuat Raquela seratus persen waspada. Matanya menatap tajam. Ia bisa melakukan sesuatu untuk menghindar dari makhluk tersebut mengingat petualangan yang pernah dilakukannya sewaktu di Monte tidak selalu berjalan mulus. Perlahan tangan Raquela menyusup ke balik jubah dan menyentuh belati yang telah terpasang kembali di pinggang.

Lagi, terdengar suara menggeram. Walau tangannya telah menggengam Fokkar dengan erat, tetapi Raquela tidak bisa menariknya dan melawan mahkluk tersebut dalam keadaan gelap seperti ini. Setidaknya ia harus menghindar. Sejenak Raquela mempelajari situasi. Barangkali otaknya bisa mencari ide agar kayu bakar ini lebih bernilai guna dibanding hanya menjadi bahan bakar—menjadi tongkat lempar tangkap misalnya.

Tidak, Raquela merutuki diri. Makhluk buas takkan mau bermain lempar tangkap.

Suara menggeram kian dekat.

Raquela kehabisan waktu berpikir. Tanpa meninggalkan kayu bakar yang susah payah ia cari, Raquela mencabut Fokkar dari sarung ketika makhluk tersebut berlari kencang ke arahnya. Ia mengatupkan gigi dan berdiri kuat-kuat di atas pijakannya dan siap bertarung. Lima meter, empat meter, tiga meter, wujud makhluk itu semakin besar. Raquela melayangkan Fokkar tepat ketika awan melintasi bulan dan cahayanya mengenai makhluk yang kini melompat tinggi ke arah Raquela dengan wajah beruang yang menyeramkan lalu—

Sesuatu menghalangi pandangan Raquela. Ia terkesiap kala tubuhnya ditarik paksa ke sisi pohon yang lain. Tidak mampu berteriak, badannya terasa melayang begitu cepat di udara. Rambut, jubah, dan ujung gaunnya berkibar dengan liar. Gerakan yang mendadak tersebut seolah membungkam suara serta oksigen dalam tubuh Raquela. Ia ketakutan dan menerka-nerka apa yang sedang terjadi. Satu hal yang masih berfungsi pada dirinya adalah perasaan yang berpendapat bahwa ia bagai terbang di atas tanah karena embusan angin yang bertiup amat cepat dan kencang. Raquela hanya mampu memeluk kayu-kayu bakarnya dengan erat.

Saat suasana di sekitar menjadi hening total dalam sepersekian detik dan tubuhnya tidak dipaksa bergerak lagi, sesuatu yang menutupi pandangan Raquela pun hilang. Apa yang terekam dalam penglihatannya kala itu adalah seorang laki-laki asing yang menatapnya tanpa arti. Untuk sekejap, Raquela menahan napas dan menjatuhkan Fokkar dan seluruh kayu bakar beserta senter dalam pelukannya. Ia bertanya-tanya apa laki-laki itu adalah manusia Bumi atau salah satu dari roh jahat yang dulu mendiami Monte? Juga beruang—di mana beruang yang nyaris menerjang Raquela tadi?

Waspada bercampur panik, Raquela segera memungut dan menyalakan senter. Pemuda tersebut berambut panjang lurus—sedikit melebihi pundak dan berwarna tembaga. Raquela tidak tahu persis apa warna matanya. Namun, kedua mata tersebut menyorot datar seolah Raquela adalah orang paling membosankan yang pernah ia temui. Dia memiliki rahang yang tegas dan pipi yang tirus serta dagu yang terbelah. Tubuhnya sangat tinggi bak model dan Raquela yakin keseluruhan wajahnya tampan. Apa roh jahat memiliki rupa yang sedap dipandang? Raquela kembali bertanya pada diri sendiri.

Kemudian ia teringat kali pertama mencurigai Aidan dan Samuel sebagai roh jahat. Menurut Edgar mereka adalah pemuda-pemuda yang tampan. Kalau begitu pemuda yang satu ini pun bukanlah roh jahat. Meski demikian, tidak meyakinkan pula jika dia tidak jahat.

"Kau tidak apa-apa?" tanyanya dengan suara berat yang menyentak Raquela. Gadis itu sendiri tidak bersuara, hanya menggeleng singkat. "Syukurlah." ungkapnya bernapas lega.

"Siapa kau?" Raquela perlu bertanya. Kewaspadaan itu belum selesai ia alami. Selamat dari desakan makhluk menggeram yang mengintai beberapa saat lalu tidak menjadi jaminan ia selamat dari laki-laki ini. Apakah dia baik atau sebaliknya, tidak ada yang tahu.

Jawaban yang diharapkan dari orang asing tersebut tidak kunjung terdengar. Apa yang dilakukannya hanya membuat jarak dan seolah-olah melakukan pengamatan terhadap Raquela Walmond yang masih berdiri bersandar ke batang pohon. "Kau," Laki-laki itu meneliti. "berapa usiamu?" tanyanya tanpa peduli dengan apa yang lebih dulu ditanyakan oleh lawan bicaranya.

Putri Raquela hanya menampakkan raut wajah yang mengisyaratkan kalau ia tidak mengerti. Entah orang itu menyadarinya atau tidak, tetapi mengapa tiba-tiba menanyakan soal usia? Apa itu sangat penting? batinnya.

"Usiaku dua ratus tahun." ungkap Raquela walau masih bingung mengapa ia perlu menjawab. Lalu yang ditampilkan dari wajah pemuda tersebut cukup mengejutkan—dia tersenyum, tersenyum begitu ramah seperti berjumpa dengan kawan lama. Raquela pernah melihat Adrienne menakut-nakutinya dengan menempatkan lentera minyak di bawah wajahnya yang menyeringai dan itu cukup menyeramkan, tetapi pemuda ini bukan menyeringai di bawah sorot lampu senter. Dia sungguh-sungguh tersenyum.

"Kau tidak berasal dari dunia ini, bukan?"

"Kau mengetahuinya?"

Dia mengedikkan bahu. "Hanya menebak."

"Ya," Raquela mengangguk agak bingung. "Aku bukan manusia Bumi."

Orang itu lantas berjalan mendekat lalu menyodorkan tangan. "Namaku Lucas. Aku berasal dari Bumi." ucapnya menunggu jabatan tangan dari lawan bicaranya. Namun, sayangnya gadis itu tampak tidak mengerti. Tanpa bicara apa-apa, Lucas langsung meraih tangan kanan Raquela dan menggenggamnya dengan lembut, tapi terasa tegas. Raquela pun tersentak. "Jika kau bingung, seperti inilah cara manusia Bumi saling memperkenalkan diri. Oh, ya, senang bisa mengenalmu, Raquela." Lucas melepas jabatan tangan dan kembali berjalan mundur beberapa langkah, menciptakan jarak di antara mereka.

Sementara Raquela Walmond hanya mampu mengedipkan mata dengan wajah melongo kebingungan. Apa sebelumnya ia pernah menyebutkan nama kepada orang ini? Sepertinya tidak. "Bagaimana kau tahu namaku?"

"Hanya menebak." Lagi-lagi Lucas mengedikkan bahu. "Ada apa?"

Kening Raquela mengerut sedemikian rupa. "Tapi kau menebaknya dengan benar,"

"Oh?" Ia bagai terkejut. "Kalau begitu aku beruntung." Lucas mengakhiri dengan tawa renyah. Namun tetap saja, Raquela merasa jawaban itu tidak cukup untuk seseorang yang asal menebak dan ternyata tebakannya adalah tepat. Yang benar saja! "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Lucas.

"Aku?" Raquela kembali tersentak dari rasa bingungnya yang makin membingungkan. Lantas ia tersadar akan benda-benda yang tergeletak di sekitar kaki. "Aku mencari kayu bakar." Ia segera menyambar Fokkar yang tergeletak di ujung kaki dan mengambil batang-batang kayu ke dalam pelukannya.

Lucas hanya menaikkan alis lalu berjongkok memunguti kayu ke dalam pelukannya sendiri. "Apa kau sedang berkemah di hutan ini?"

"Iya," Raquela menimbang sejenak. "Aku berkemah bersama teman-temanku."

"Begitu? Sebaiknya kalian berhati-hati. Khususnya untukmu, Sayang." Lucas mengingatkan. "Kau tidak ingin mati diterkam beruang seperti tadi, bukan?" Raquela cukup terkejut. Pemuda itu tahu tentang si beruang yang melompat dengan mulut menganga lebar ke arah Raquela. "Ayo," Lucas mengambil kayu terakhir dan berdiri menatap Raquela. "akan kuantar kembali ke tempat kemahmu."

Bukannya mengikuti, Raquela malah bingung menatap sekelilingnya. Mendadak ia lupa jalan pulang ke perkemahan. Raquela ingat ada kekuatan aneh yang menggerakkan tubuhnya hingga terasa melayang dan tiba di tempat ini. Masih di hutan yang sama, tetapi Raquela merasa ada yang berbeda. Bahkan titik-titik di mana sebelumnya pepohonan tersebut tumbuh kini seakan telah berubah. Ia lantas menatap laki-laki itu. "Apa yang kau lakukan padaku?" Raquela bertanya. Ia sungguh penasaran hal apa yang telah membawanya kemari. Tiupan angin macam apa yang mampu menerbangkan dirinya hingga sejauh ini dan tidak mungkin ada angin topan dalam waktu singkat. "Mengapa aku bisa berada di sini?"

Pemuda itu tidak menjawab. Untuk sesaat suasana kembali hening. Kemudian Lucas membalik badan. Kali ini bola matanya menjadi lebih gelap dan senyum ramahnya lenyap. Raquela melihat tangan kirinya yang menyangga para kayu mengepal kuat seakan hendak meremukkan kayu-kayu tersebut dalam sekali hentakan. Ia pun berjalan mendekat.

"Kurasa sebuah ucapan terima kasih sederhana sudah cukup bagiku."

Raquela terperanjat mendengar suara Lucas sedingin badai salju. Ia membuka mulut, tetapi tidak ada sepatah kata yang keluar melainkan hanya asap putih dari embusan napasnya. Sementara Lucas kembali menatap datar sambil menjejalkan tangan yang bebas ke dalam saku. Sikapnya seolah tak ingin dibantah, disanggah, diceramahi, dan segala macamnya. Beberapa detik seperti itu, kemudian Lucas tersenyum kembali. "Nah," katanya. "Apa kita jadi pergi, Sayang? Sebelum aku berubah pikiran."

Pada awalnya Raquela ingin bertanya apakah laki-laki itu mengetahui jalan ke perkemahan, tetapi ia urungkan karena sebaiknya hal tersebut tidak perlu dibahas. Mencoba mengusir rasa curiga terkait roh jahat, Raquela pun mengikuti Lucas. Mereka melangkah beriringan. Entah seharusnya Lucas berjalan memimpin atau bagaimana, dia malah terus-menerus berada di samping Raquela.

"Jadi," Raquela mencoba mencari topik. "apa yang kau lakukan di tengah hutan pada waktu gelap seperti ini?" Sebelum menjawab, Lucas menelusupkan tangan ke rambut panjangnya lalu menerawang ke arah langit yang mempertontonkan bulan serta bintang-bintang. Raquela terpesona melihat cara Lucas menyisir rambutnya ke belakang dengan jari.

"Sama denganmu." ucapnya. "Aku juga berniat untuk berkemah."

Raquela mengerutkan dahi. Ia menatap punggung Lucas yang kosong. "Kau tidak membawa barang-barang apa pun? Di mana teman berkemahmu?"

"Ah," katanya bagai teringat sesuatu. "Itu perkara mudah, Sayang, kau tidak perlu khawatir. Aku juga tidak membutuhkan teman berkemah. Setidaknya aku memiliki senter di sini." Ia mengeluarkan sebuah senter dari saku bagian dalam jaketnya.

"Tapi bagaimana jika terjadi sesuatu?"

"Seperti apa? Beruang yang ingin menendang bokongku?" Lucas menggerak-gerakkan jari telunjuknya ke kiri dan ke kanan. "Itu tidak mungkin, Sayang." ujarnya menarik satu ujung bibir. Ia tersenyum miring.

Raquela melongo mendengar pernyataan yang penuh akan keyakinan. Namun, apa rasa yakinnya tidak berlebihan? Laki-laki itu berkata layaknya beruang memiliki ukuran sebesar semut. Selanjutnya, entah mendapat dorongan dari mana, Raquela mengatakan sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.

Aidan merutuki ucapan Samuel Richard yang sedari tadi terus mengatakan agar ia bersabar dan menunggu saja kedatangan gadis itu, tapi kini kesabaran tersebut mencapai batasnya. Rasa khawatir Aidan lebih kuat dibandingkan dengan sekadar bersabar dan duduk manis seperti orang bodoh.

"Tenanglah," Edgar angkat bicara. "Raquela dan aku telah melakukan banyak perjalanan sebelum ini dan kuyakin dia bisa mengatasi keadaan sesulit apa pun." ungkap Edgar dengan cukup percaya diri.

Aidan beranjak tanpa peduli. "Aku akan mencarinya."

Langkah Aidan terhenti ketika muncul sebuah cahaya di kejauhan. Berikutnya terdengar suara yang berteriak memanggil nama Aidan, Samuel, serta Edgar secara bergantian dan suara itu milik Raquela Walmond. Anehnya gadis itu berjalan bersama seseorang. Aidan dan Edgar saling pandang penuh tanya. Setelah jarak menipis, akhirnya diketahui bahwa Raquela kembali bersama seorang pemuda.

"Maaf aku terlalu lama." ucapnya dengan mata berbinar. Aidan, Edgar, dan Samuel mengamati Raquela sejenak lalu beralih kepada laki-laki berambut panjang yang berdiri di sampingnya. Mereka menagih penjelasan. "Ini," Raquela merentangkan lengan kepada Lucas. "Perkenalkan, dia adalah Lucas." Lucas pun menggangguk dan tersenyum ramah. Ekspresi sama masih ditampilkan oleh ketiga laki-laki itu—yang mereka lakukan hanya saling menoleh tanpa mengatakan apa pun. "Ada satu hal," tambah Raquela. "aku mengajak Lucas untuk bergabung bersama kita. Jadi, malam ini ia ikut berkemah di sini."

* * *