Chereads / ANEMONE: Closeness / Chapter 7 - Dunia Lain (2)

Chapter 7 - Dunia Lain (2)

Raquela menyambangi balkon kediaman Richard yang cukup luas dan menghadirkan pemandangan sangat indah. Balkon itu berukuran panjang empat meter dan lebar dua meter. Tidak seperti bahan marmer yang mendominasi seluruh lantai di dalam rumah, lantai balkon terbuat dari kayu yang dilapisi rumput hijau sintetis. Pagarnya terdiri dari tiang-tiang bergelombang yang berjajar layaknya sel tahanan dalam versi mewah. Setiap tiang dililit oleh suluh daun yang juga sintetis. Tinggi pagar sekitar satu meter dan terbuat dari kayu yang dipelitur. Di keempat sudut balkon dihiasi tanaman berpot. Kali ini tanaman asli, tapi Raquela tidak tahu sebutan tanaman tersebut.

Pemandangan di depan balkon berupa barisan rumah-rumah lain yang sama cantiknya dengan milik Samuel. Ada beberapa pohon rindang nan kokoh yang tegak berdiri, lampu-lampu di sepanjang jalan, dan yang paling menarik adalah sebuah bukit di kegelapan malam. Siapa pun akan menyukai saat ketika matahari terbenam di balik bukit itu.

Sayang sekali Raquela belum mendapat kesempatan untuk melihat objek lainnya yang dimiliki Bumi. Dunia ini secara garis besar tidak jauh berbeda dengan Monte. Masih ada tanah, rumput, pohon, air, api, dan udara yang segar. Bedanya tentu saja dari isi dunia itu sendiri. Bangunan-bangunan, jalan-jalan raya, peralatan rumah tangga, benda-benda lainnya, hingga makhluk yang mendiaminya. Walau sama-sama berwujud manusia dengan mata, hidung, mulut, dua kaki, dan dua tangan; perbedaan manusia Monte dengan Bumi terletak pada tradisi yang mereka jalani.

Awalnya Raquela bingung jenis celana apa yang dipakai oleh Aidan maupun ajakan Samuel untuk bercakap-cakap selagi makan. Namun, semua itu tidak penting. Raquela tidak berniat datang jauh-jauh ke sini hanya untuk mengomentari cara berpakaian dan adat istiadat para manusia Bumi. Selebihnya ia mulai membiasakan diri.

Gadis itu menghirup dalam-dalam udara malam di sekitar. Ia merasa bahwa dirinya tidak perlu khawatir lagi dengan Bumi ataupun roh jahat—khususnya setelah bertemu dua makhluk Bumi yang ia percaya dapat membantu perjalanannya kali ini. Ya, Raquela telah membuat keputusan untuk memercayai Aidan dan Samuel sebagaimana mereka memercayai Raquela dan Edgar.

"Bumi tidak seburuk itu." ujarnya diakhiri senyuman. Raquela bertopang dagu dengan tangan pada pagar pembatas balkon dan memandang ceria ke jalanan.

"Memangnya apa yang kau pikirkan tentang Bumi?"

Suara itu mendadak mengganggu kenyamanan Raquela dan menimbulkan rasa kaget. Sontak Raquela membalik badan. Sosok ramping Aidan tengah berdiri di sana, bersandar pada bingkai pintu balkon. Lampu balkon yang dibiarkan mati membuat Raquela kesulitan menangkap wajah Aidan. Namun, cahaya yang bersinar dari ruangan di belakang pemuda itu, samar-samar memperlihatkan raut wajah Aidan yang rupawan dengan senyum menggoda. Dia menyilangkan lengan di depan dada. Sekejap kedatangan Aidan mengingatkan Raquela kepada salah satu kakaknya yang selalu berhasil membuatnya bergidik sebal.

"Wah, wah," Aidan berjalan mendekat lantas meletakkan tangan di atas pagar kayu. Pandangannya tertuju ke arah bukit lalu menoleh, menatap Raquela. Refleks gadis itu membuang muka. Raquela mulai menggigiti bibir dan mendadak tertarik memandangi pagar kayu. "Apa di duniamu diajarkan hal yang tidak-tidak mengenai Bumi?"

Raquela tersedak. Tangannya mengibas-ngibas di udara seperti tengah mengelap dinding kaca yang tak kasat mata. "Maaf, tapi kami tidak bermaksud seperti itu."

"Seperti apa?" Aidan mengangguk kecil saat Raquela membuka mulut tanpa keluar sepatah kata pun. Lantas Raquela menggigit bibir. Aidan menatapi manik pirus itu berusaha mencari jawaban. Kemudian semilir angin bertiup pelan, membawa semerbak aroma sabun bercampur aroma magis khas Raquela. Melihat tingkahnya yang lucu membuat Aidan tersenyum miring—merasa geli sendiri. "Jadi, bagaimana?"

"Ini hanya masalah kepercayaan, Tuan Tyler." Raquela mengingatkan. Kedua tangannya meremas gaun pada bagian paha. "Tapi kau tenang saja. Setelah aku kembali ke Monte, akan kuumumkan kepada seluruh rakyat bahwa Bumi adalah negeri yang aman." Ia melihat alis Aidan terangkat perlahan bagai menuntut penjelasan lebih. "Juga sangat indah."

Beberapa detik berikutnya Aidan malah terkekeh. Suaranya terdengar lucu ditambah wajahnya yang memang menggemaskan seperti bayi. "Bagaimana dengan duniamu?" Aidan tersenyum hangat ketika sisa tawanya hilang. "Kau tahu, sampai sekarang aku berusaha membayangkannya hanya untuk menguatkan hatiku agar meyakini bahwa dunia selain kehidupan Bumi benar-benar ada." ungkapnya seraya mengangkat bahu.

Senyuman turut menghiasi wajah Raquela. "Dalam beberapa aspek, Monte jauh berbeda dengan Bumi. Kerajaan Axelle berdiri kokoh di bagian utara negeri sebagai pusat dari pemerintahan. Kekuasaan tertinggi berada di tangan raja dan ratu yang tinggal di istana. Untuk permukiman penduduk berada cukup jauh dari lokasi kerajaan itu sendiri."

Taruhan, Monte pasti sangat indah dibanding dengan dunia virtual mana pun yang pernah dimainkan Aidan.

"Di Monte sebagian besar wilayahnya adalah alam." Raquela masih bercerita. "Kami memiliki enam wilayah bagian dengan berbagai sumber daya dan kenampakan alam masing-masing. Kau akan dengan mudah menemukan sungai di Axelle, peternakan di Rochesfeer, perkebunan di Phrellis, Hutan Terlarang di Stratoss, lembah-lembah di Oxburgh, dan perbukitan di Ayrith. Bahkan walau hanya sekadar hamparan rumput yang luas. Kau juga akan merasa terbuai oleh angin sepoi-sepoi yang bertiup di pagi dan sore hari."

Mata Aidan terpejam, membayangkan berada di hamparan rumput hijau yang luas dengan sebuah pohon rindang berdiri kokoh di tengahnya, serta embusan angin sepoi-sepoi yang membuat Aidan terbuai dalam sekejap.

"Negeri kami adalah tempat yang suci. Anemone yang kami cari merupakan tanaman yang sangat dijunjung tinggi karena Anemone adalah tanaman simbolis bagi Para Dewa Terdahulu." Raquela membuat Aidan membuka mata, lantas menatapnya.

"Para Dewa Terdahulu?" Aidan bertanya.

"Benar." Senyum Raquela bertahan di bibirnya. Sedetik kemudian matanya membelalak bagai teringat sesuatu. "Apa kau ingin mendengar sebuah fakta?" Mata pirus itu berseri-seri; tampak penuh dengan keceriaan, kejujuran, dan kehangatan. Aidan bagai tergoda untuk menatapnya lebih lama dan membiarkan dirinya tenggelam di dalamnya—juga seolah mengajak Aidan untuk menelusuri cerita yang lebih menakjubkan lagi.

"Fakta apa?"

"Satu tahun di Bumi sama dengan sepuluh tahun di Monte." Kali ini mata hijau pirus itu terasa ikut tersenyum menatap ekspresi lucu pada wajah Aidan. "Aku mengetahuinya dari Edgar karena jujur aku tidak suka membaca," ujarnya disertai tawa kecil. "Maka dari itu aku bersyukur ada Edgar yang selalu menemaniku. Dia seperti buku berjalan dan aku memanggilnya sebagai Pengetahuanku."

Aidan tidak tahu harus menanggapinya seperti apa. Kejadian di meja makan terulang lagi. Bukan hanya karena angin malam yang berembus di atas balkon, tetapi ia sungguh merinding.

"Jika demikian," Aidan berusaha mengendalikan diri. "berapa usiamu?"

"Usiaku dua ratus tahun," Secara terang-terangan Raquela membuat Aidan menahan napas. "Artinya dua puluh tahun waktu Bumi." Gadis itu melirik Aidan yang tidak bersuara. Rupanya dia tersenyum dan tampak lega.

"Kalau begitu kau seusia denganku." ungkapnya. Hampir saja Aidan berniat memanggil Raquela dengan sebutan nenek yang jelas-jelas tidak akan lucu.

Angin kembali bertiup. Di jalanan tampak orang-orang sedang mengobrol dengan langkah ringan. Beberapa pemuda melesat santai menggunakan sepeda. Jaket-jaket tebal menyelubungi badan supaya terlindung dari udara dingin di pengujung musim gugur. Spontan Aidan melirik gaun yang dikenakan Raquela. Ia penasaran apa gadis itu merasa kedinginan. Namun, bukan perihal suhu yang ia tanya, melainkan sebuah benda yang tersampir di pinggang kirinya. Benda yang membuat Aidan keheranan sejak pertama kali melihat gadis tersebut tergeletak di taman.

"Apa belati itu menandakan bahwa kau pandai bertarung?"

Raquela mengikuti arah mata Aidan. Ia menarik senjata tersebut dari sarungnya. Melihat gerakan itu, Aidan seketika melangkah mundur.

"Belati ini bernama Fokkar." Raquela berkata tanpa menghiraukan respon Aidan yang tiba-tiba, dia terpaku kepada bilah pisau di hadapannya dengan ekspresi yang membuat hati Aidan bergetar ngeri. Raut wajah Raquela seolah perpaduan antara rasa senang, dingin, misterius, dan sebuah hasrat. Entah hasrat dalam apa, tetapi untuk saat ini Aidan tidak mau tahu.

"Aku tak bisa menjawabnya bila kau tidak menyaksikannya sendiri secara langsung."

Aidan menyesal telah bertanya. Ia melihat pantulan bilah tajam menari-nari di kedua mata Raquela. Tanpa sadar Aidan merapatkan bibir dan tak kuasa menelan saliva dengan payah. Akan tetapi, gadis itu malah tersenyum ramah lalu menyingkirkan belati tersebut kembali ke tempatnya.

Perhatian Raquela bertumpu pada Aidan yang membeku. "Apa kau sakit, Tuan Tyler? Kau kelihatan pucat." Perlahan Raquela mengangkat tangan menyentuh bagian rahang wajah Aidan. Tiga detik berikutnya pemuda itu mengedipkan mata dan mulai bersikap normal. Tangan Raquela pun turun ke samping tubuhnya. Aidan hanya mampu menatap cukup lama, memandang masing-masing manik hijau pirus yang telah kembali kepada kehangatannya. Sungguh lega mengetahui hal tersebut.

"Apa belati itu menandakan bahwa kau bisa menyakitiku, Raquela Walmond?" Aidan berbisik sangat lembut—lebih kepada tidak percaya karena telah menanyakannya. Aidan merasa tidak enak hati mendapati Raquela hanya tertegun begitu saja. Barangkali mata indah itu yang mengunci Aidan untuk tetap di posisinya tanpa berpaling sedikit pun.

Perlahan Raquela menggeleng. "Aku tidak punya alasan untuk menyakitimu, Tuan Tyler." ujarnya tidak kalah lembut.

"Bagaimana jika suatu hari nanti alasan itu datang?"

"Maka, akan kupastikan bahwa tidak ada kesempatan bagi alasan itu untuk benar-benar datang."

Ucapan Raquela membuat darah dalam tubuh Aidan berdesir cepat. Jantungnya berdetak tidak karuan dan sekejap paru-parunya berhenti memompa udara, lalu sekejap itu pula senyum Aidan terbit. Rona merah padam menghiasi wajahnya. Aidan kembali bernapas kemudian terkekeh kecil.

Satu hal yang selalu Raquela temukan dari setiap terciptanya senyuman itu adalah dua lubang kecil yang ikut muncul di kedua pipi Aidan. Tanpa sadar Raquela kembali mencermati apa pun yang terdapat dalam sosok Aidan Tyler. Diam-diam ia menangkap rambut ikal Aidan yang bergerak tertiup angin. Raquela berusaha menahan keinginan untuk menyentuh rambut itu. Meski pencahayaan minim di luar sini, tapi kedua mata emas tersebut tak pernah kehilangan kilauannya. Belum lagi keberadaan kumis dan janggut tipis.

Tak luput, Raquela meneliti pakaian makhluk Bumi tersebut—kaus yang terlihat santai dengan celana pendek selutut, menampakkan kedua betis yang telanjang. Terkesan aneh karena di Monte hanya memproduksi pakaian yang sedapat mungkin menutup sebagian besar kulit tubuh. Di tangan kiri, dia memakai dua gelang yang bentuknya tidak kalah aneh. Terakhir, sebuah cincin perak tersemat di jari telunjuk Aidan.

Entah mengapa cincin tersebut cukup membuat Raquela penasaran karena di Monte sangat jarang menemukan pemuda yang memakai aksesoris apa pun. "Cincin yang bagus," komentarnya.

"Begitu?" Aidan mengusap benda berbentuk lingkaran tersebut dengan ibu jari. "Terima kasih." katanya merasa tersanjung walau sebenarnya biasa saja. Aidan melihat Raquela yang belum beralih fokus. Berpikir sejenak, lantas Aidan mengeluarkan cincin itu dari telunjuknya. "Kau ingin coba memakainya?"

Raquela tersentak. "Apa boleh?" Aidan langsung menyodorkan cincin tersebut dan dengan senang hati Raquela meraihnya. "Mengapa kau memakai ini?" Ia mencermati cincin milik Aidan dengan takjub. Sebentuk gambar laksana sulur daun ivy terukir di bagian luar, sementara sebuah tulisan terukir di sisi bagian dalam.

Aidan A Tyler.

"Ada ukiran namamu di sini!" seru Raquela bagai terkesima. "Apa arti huruf A yang berada di tengahnya?"

Deham panjang tanpa minat lolos dari bibir Aidan. Ia menggeleng. "Aku tidak tahu."

"Kau bersungguh-sungguh?"

"Sebenarnya aku juga tidak tahu mengapa aku bisa memiliki benda itu."

Kontan Raquela menoleh. "Apa?"

"Bahkan aku tidak mengetahui asal muasalnya," Aidan bertopang dagu. Raut wajahnya sulit diartikan. "Satu hal yang kutahu adalah aku telah memakai cincin itu ketika usiaku dua belas tahun. Tapi, aku yakin ada sebuah cerita yang tak pernah kudengar terkait cincin tersebut."

Raquela merinding. Bulu-bulu di tengkuknya sontak berdiri. Ia bagai mengenakan cincin aneh yang terkesan memiliki kutukan.

"Kau tahu," lanjut Aidan. "pernah beberapa kali aku sengaja tidak memakainya karena alasan tertentu, tapi di sanalah Samuel akan selalu mengetahuinya dan meneriakiku untuk terus memakai cincin itu dalam kondisi apa pun. Terakhir kali dia melakukannya adalah pagi ini. Terdengar aneh, kan?"

Setelah Aidan mengatakan hal tersebut, secara otomatis Raquela melepas cincin dan mengembalikannya kepada Aidan. Namun bukannya mengambil, dia malah bertanya mengapa. Raquela bergidik, menggeleng cepat. "Kalau begitu aku tidak boleh memakainya lagi. Samuel melarangmu untuk melepasnya, benar?"

Aidan Tyler mengembus napas panjang bersamaan munculnya kepulan asap ke udara. Lantas ia menerima kembali cincin itu dan memakainya. Lagi, Aidan memandangi benda tersebut penuh tanya. "Kira-kira apa istimewanya cincin ini hingga sepertinya jauh lebih berharga di mata Samuel?" gumam Aidan tanpa berpaling.

"Apa kau tidak pernah bertanya alasannya?"

Aidan menatap Raquela dengan senyum kecut seolah baru saja menerima ejekan. "Sudah sepanjang hidup aku menanyakan hal itu." jawabnya kemudian beralih menatap ke langit malam yang bertabur bintang. Aidan tidak tahu jika gadis di sampingnya itu masih diliputi penasaran.

"Jadi, apa yang dikatakan Samuel?"

Fokus Aidan teralihkan. Ia hanya diam, tidak berniat untuk menjawab. Walau sebenarnya apa yang harus disuarakan telah berputar dalam pikirannya, tetapi Aidan menolak untuk berbicara. Karena yang dikatakan Samuel Richard pasti selalu sama dan membosankan.

* * *