Waktu menunjukkan pukul satu lebih dua puluh menit saat Aidan dan Samuel tiba di rumah. Ketika mobil telah terparkir, Samuel segera menyampirkan ransel hitam di bahu kanan sementara bahu kirinya merangkul si pemuda berambut pirang, sedangkan Aidan diminta untuk menggendong sang gadis. Mulanya ia protes, karena sebelumnya Aidan yang memapah si pemuda pirang dari taman ke mobil. Namun, Samuel sama sekali tidak memberi Aidan kesempatan untuk melakukannya. Maka dengan perasaan campur aduk, Aidan menggendong ransel di punggung lalu menggendong gadis tersebut dalam cengkeraman tangannya.
Kala Aidan mengangkat tubuh gadis itu, tercium aroma yang begitu harum. Aidan berhenti melangkah dan mengamati wajah si gadis yang terlihat damai, bertanya-tanya apakah ini semacam parfum. Aromanya sungguh menenangkan dan menyenangkan dan sesuatu yang entah harus disebut apa, tetapi Aidan justru memilih kata magis untuk mendeskripsikan wewangian yang ia nikmati saat ini. Alih-alih dikatakan parfum, barangkali ramuan adalah penyebutan yang lebih tepat seakan terdiri dari racikan berbagai ekstrak sabun dan mantra (hanya jika sebuah mantra memang memiliki aroma tersendiri). Namun, benar-benar aroma yang luar biasa indah hingga Aidan membayangkan betapa nyamannya tidur sambil merengkuh gadis tersebut.
Ya, Tuhan.
Selain itu, wajahnya tetap terlihat familier. Aidan tidak mengerti mengapa dirinya merasakan sesuatu seperti ini terhadap seorang gadis asing yang tidak jelas identitas dan asal-usulnya dan belum pernah ia temukan sebelumnya. Padahal, Aidan Tyler adalah tipe orang yang mempunyai memori kuat dalam mengingat wajah orang lain walau orang tersebut hanya dilihatnya dari sebuah foto. Namun, gadis ini berbeda. Dia seolah menciptakan sebuah ikatan terselubung antara dirinya dan diri Aidan secara tidak sengaja.
Semuanya berkumpul di ruang tengah. Aidan menjatuhkan tubuh di atas sofa kosong sementara dua sofa lain ditempati tamu-tamu baru. Kini ruang tengah kediaman Richard jadi terasa ramai, walau tidak banyak orang atau obrolan yang bersahutan atau diadakan pesta. Biasanya ruangan itu lebih sering digunakan oleh Aidan seorang. Ia akan berleha-leha di salah satu sofa sambil menonton televisi yang ditempelkan di tembok bercat oranye yang selalu mendorong keinginan Aidan untuk menggantinya menjadi warna yang lebih gelap. Ia tidak mengerti alasan Samuel Richard memilih warna cat yang mencolok seperti itu. Sementara Samuel sendiri lebih senang menghabiskan waktu di ruang kerja atau di kamarnya yang terletak di lantai dua atau bahkan bersantai di bar mini yang memisahkan ruang tengah dan ruang dapur.
"Aku tidak mau tahu jika terjadi sesuatu yang buruk karena telah mengangkut kedua orang itu ke rumah, Sam."
"Santai, Tyler." Samuel mengingatkan. Ia kembali mengecek kondisi pasien-pasiennya bagai seorang dokter yang ahli, sedangkan Aidan sudah bosan memperhatikan. Samuel meraih satu tangan si pemuda kemudian meraba bagian nadi. "Tidak akan ada orang yang tertimpa musibah jika niatnya tulus dalam menolong sesama."
Aidan menutup mata dan menaruh kepala di puncak sandaran sofa. Helai-helai rambut lengket di dahinya akibat keringat. Sejenak Aidan menghela napas. "Apa dewa-mu yang mengajarkan tentang hal itu?"
"Tidak, itu hanya aku."
"Oh, terpujilah engkau, wahai Samuel."
Selama dua tahun tinggal bersama si Pemalas yang menjengkelkan, Samuel telah banyak belajar mengendalikan emosi dalam hal kesabaran. Contohnya jika persoalan semacam ini terjadi. Maka dalam menghadapinya, yang harus dilakukan Samuel hanyalah menutup telinga dan tidak perlu repot-repot untuk meladeni bahkan melirik pun jangan. Seketika momen pertemuan dengan Aidan Tyler tujuh tahun lalu berkelebat dalam benak Samuel. Bocah berusia tiga belas tahun yang hidup sebatang kara. Ia tidak akan pernah melupakan hari itu atas Aidan.
Tiba-tiba sesuatu yang melesat cepat membuyarkan lamunan Samuel. Ia menatap kosong pada tangannya yang melayang tak bergerak. Kontan Samuel mendongak. Pandangannya langsung disambut oleh sepasang manik biru sewarna lautan yang luas. Manik itu membulat sempurna. Si pemuda berambut kuning jagung telah sadar dari tidurnya. Kepalan tangan yang sebelumnya dipegang Samuel bergetar di depan dada. Dia membeku dengan mulut menganga lebar seakan tengah bertemu hantu. Samuel pun ikut diam beberapa saat. Ruangan seketika sunyi senyap.
"Maaf, tadi aku hanya—" Kata-kata yang diucapkan Samuel menguap di udara kala pemuda pirang itu mengarahkan satu telunjuk kepada Samuel.
"Kau," bisiknya. "Jonathan Felix?"
"Edgar…?"
Sekejap Aidan menegakkan kepala akibat mendengar suara-suara ganjil yang membangkitkan rasa penasaran. Matanya bertumpu kepada pemandangan mengejutkan perihal dua orang asing yang sebelumnya pingsan tak sadarkan diri, kini mereka terjaga sepenuhnya. Atau setidaknya si pemuda yang telah sadar. Apa yang Aidan lihat adalah pemuda itu sedang berusaha membangunkan gadis di sampingnya.
"Edgar?" lirih sang gadis.
Aidan mengetahui bahwa hijau pirus adalah warna mata si gadis tepat ketika dia membuka mata. Barangkali tubuhnya masih lemah, tetapi dia mencoba menggapai si pemuda. Kedua tangannya bergerak pelan sebelum diraih oleh pemuda itu. Mereka pun bertatapan. Di dalam lingkup waktu yang terasa membingungkan, Aidan menyangka jika kedua orang tersebut memiliki suatu hubungan—entah hubungan macam apa.
"Edgar," Gadis tersebut mengedarkan pandangan. "Di mana kita?"
"Aku tidak tahu, tapi…" Edgar menengok kepada Samuel. Aidan mendapati kawannya menyimpul senyum. Namun, senyum Samuel tidak mampu menghangatkan suasana. Gadis itu malah beringsut menjauh bagai ketakutan. Baru kali ini Aidan menemukan seorang gadis yang menjauhi sosok pria tampan selevel Samuel Richard, terutama ketika sedang beramah-tamah seperti ini.
Gadis tersebut mencengkeram tangan Edgar penuh tenaga. "Siapa dia, Ed?" Ia bertanya. Alih-alih takut, nada suaranya justru terdengar waspada. "Apa dia roh jahat?"
"Aku pikir dia adalah Jonathan Felix."
"Bukan." Samuel menyanggah. Aidan terkejut mendengar sekilas nada tegas dalam ketenangan itu. Samuel seolah hampir kehabisan rasa sabar jika dirinya terus-menerus dipanggil dengan nama tersebut. "Aku bukan keduanya. Namaku Samuel Richard." ungkapnya. "Dan ini…" Aidan berubah kikuk saat Samuel mengarahkan tangan kepadanya—membuat dua orang itu langsung menoleh. "…adalah temanku, Aidan Tyler." Lalu Samuel beranjak dan menempatkan diri di samping Aidan. "Kami menemukan kalian pingsan di taman, maka dari itu kami membawa kalian ke sini. Di rumahku."
Dua orang tersebut hanya saling menatap. Aidan kira mereka kehabisan kata-kata atau tidak tahu apa yang mau dibicarakan. Lantas Samuel mengambil alih, "Kami harus memanggil kalian apa?"
"Jika kuberi tahu," sahut si gadis. Sorot matanya fokus dan tajam memandang Aidan dan Samuel bergantian. "Apa kalian bersumpah kalau kalian bukanlah roh jahat?"
Aidan tidak mengerti apa yang mereka bicarakan terlebih hal seperti roh jahat terdengar konyol. Ia tak habis pikir ada orang yang menyebutnya iblis begitu padahal ini adalah kali pertama mereka bertemu. "Kau tahu, kami bisa menanyakan hal yang sama kepada kalian tentang itu, tapi aku cukup yakin bahwa kami adalah manusia."
Samuel mendelik kepada Aidan sebelum kembali memasang wajah ramah. "Jangan pedulikan dia. Kami hanya—"
"Raquela Walmond," celetuk gadis itu sampai-sampai Aidan mengerutkan dahi. "Itu namaku, dan dia Edgar Arlie." ujarnya seraya melirik si pemuda yang mengangguk hormat sambil tersenyum lebar.
Aidan dan Samuel saling pandang beberapa saat seakan bertelepati apakah nama-nama tersebut memiliki kesan familier. Kening Aidan masih mengerut sedangkan Samuel menelengkan kepala. Berikutnya mereka kompak mengangkat bahu.
"Kalian adalah pemuda-pemuda yang tampan." Kali ini Edgar berbicara, membuat Aidan terkesiap. Nada suaranya terdengar ramah dan tulus dan jujur dan semua itulah keanehannya karena Aidan belum pernah menerima pujian semacam ini dari seorang laki-laki yang ia akui juga tampan (tapi Aidan takkan mengutarakannya). Terlebih tidak ada orang lain yang menyebut Aidan tampan secara terang-terangan kecuali sang bibi dan itu pun sudah lama sekali. Mungkin berbeda kasusnya dengan Samuel. Aidan melihat binar semangat dalam mata sebiru lautan tersebut. "Aku takjub bertemu manusia yang tidak jauh berbeda dengan kita, Ella. Manusia Bumi."
Raquela ketahuan sedang menyelidiki seisi ruangan. Aidan penasaran dengan maksud perkataan Edgar, tetapi ia malah mengawasi gerak-gerik gadis itu. Mata hijau pirusnya berlarian kepada setiap objek di tempat ini. Ada aura waspada yang terus membayangi seolah bertanya-tanya di mana keberadaan bom waktu yang disembunyikan Samuel di rumahnya sendiri. Raquela berakhir menatap dua ransel yang tergeletak di kaki sofa. "Jadi," ucapnya melirik Aidan. "inikah yang disebut Bumi? Sebuah ruangan berbentuk kubus yang tampaknya tidak lebih besar dibandingkan ruang singgasana istana?"
"Apa yang kau bicarakan?"
"Begini saja," Samuel meletakkan tangan di pundak Aidan. "Kita semua sama-sama bingung apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Kalian tidak tahu siapa kami dan kami ingin tahu siapa kalian—"
"Aku tidak mau."
"Maka," Mata Samuel nyalang memandang Aidan seolah meneriakkan: aku sedang berusaha menghangatkan suasana, Tyler, jangan coba-coba mengacaukannya. "alangkah lebih baik kalau kita berbagi informasi masing-masing. Apa aku benar?"
Edgar manggut-manggut setuju. "Kurasa tidak ada ide yang lebih baik daripada itu, Samuel." timpalnya. "Bagaimana, Ella?"
Raquela menatap bergantian mulai dari Aidan ke Samuel ke Edgar. Aidan melihat tatapan waspada itu perlahan luluh ketika bertemu dengan mata biru Edgar yang setenang air di perairan lepas. Raquela pun menghela napas lalu mengangguk. "Baiklah."
Samuel tersenyum senang lantas mengambil ponsel dari saku celana. Kedua ibu jari Samuel bergerak lincah di atas layar ponsel. Beberapa detik kemudian, ia menatap Raquela dan Edgar sambil memasukkan kembali ponsel itu ke dalam saku. "Kuharap kalian tidak keberatan untuk menceritakan kisah kalian selagi makan siang,"
* * *