Chereads / ANEMONE: Closeness / Chapter 4 - Raquela Walmond (1)

Chapter 4 - Raquela Walmond (1)

Taman itu terlihat sepi karena semua orang tidak akan mau bersantai-santai di sini ketika cuaca sedang buruk. Beberapa pohon di sudut taman tidak mampu menaungi bangku di bawahnya agar tidak kebasahan. Hujan sudah berlangsung cukup lama dengan derasnya. Lantai-lantai batu yang berlubang di sekeliling taman malah menjadi wadah penampung air hujan. Hamparan rumput yang ditata dalam sepetak tanah berbentuk lingkaran besar kelihatan becek menyerupai kolam. Lima menit terakhir ada dua pria terburu-buru melintasi taman tanpa ragu atau rasa curiga atas sesuatu yang seharusnya menyita perhatian.

Setelah menemukan titik parkir, Samuel dan Aidan berdiri berdampingan di dekat mobil. Keduanya meneliti ke arah satu-satunya objek ganjil yang berada tepat di tengah taman, di lingkaran rumput. Cahaya itu membentuk seperti tabung super besar yang menjulang tinggi menembus awan. Aidan penasaran apakah di balik awan itu ada semacam pesawat luar angkasa berisi alien yang hendak menginvasi Bumi. Ia menelan saliva saat membayangkannya.

"Kita harus mendekat," Samuel berbisik.

Ketika pemuda itu hendak berjalan memasuki taman, refleks Aidan menahan pundaknya. Ia meremas pundak itu--berusaha menarik ke belakang. "Kau tahu, kupikir itu bukan ide yang bagus." Kemudian kening Samuel mengerut. Ia bingung menatap Aidan.

"Kita sudah sampai di sini, Tyler, apa yang kau harapkan?"

"Entahlah," Si ikal itu beringsut lebih dekat ke badan mobil. Sekali lagi ia mengamati awan hitam yang menyembunyikan cahaya putih tersebut. Aidan Tyler merasa tidak nyaman dengan situasi seperti ini. "Sebaiknya kita pergi saja, Sam. Ayo."

"Tunggu," Kali ini Samuel yang menahan bahu Aidan, mengancam agar tidak kembali ke dalam mobil. Ia memandang wajah Aidan yang jelas terlihat ketakutan. Untuk sesaat Samuel menghela napas. "Ada rasa penasaran yang tidak selamanya harus selalu diatasi, tapi rasa takut adalah hal yang berbeda." Samuel menepuk bahu Aidan dengan santai, berusaha menyalurkan ketenangan kepada dua manik emas tersebut. "Cobalah untuk mengatasi yang satu ini."

Aidan Tyler tersenyum masam. Ia menengok ke arah cahaya itu lagi. Dengan perasaan campur aduk, Aidan terpaksa menyetujui lantas berjalan menghampiri bersama Samuel di sampingnya. Mereka perlu menuruni undakan untuk tiba di lantai taman sebelum mengarah kepada rerumputan di tengah taman. Pandangan mereka tak pernah luput terhadap objek yang semakin dekat. Dalam detik-detik yang menegangkan, Aidan merapalkan doa-doa untuk keselamatan dirinya dan Samuel.

Ketika itu, Aidan berpaling ke area taman yang lain dan mendapati hujan mulai reda. Aidan mengangkat payung dan mendongak, awan-awan hitam melintasi langit kelabu yang perlahan memudar. Warna biru berangsur-angsur terlukis di angkasa berbarengan dengan merekahnya mentari di puncak langit. Tengah hari. Pandangan Aidan kian turun ke arah cahaya putih yang membuatnya terkesiap. Ia dan Samuel kompak berhenti melangkah. Cahaya tersebut lenyap ke atas langit seperti abu yang ditarik mesin pengisap debu bertepatan dengan berubahnya cuaca buruk hari itu. Aidan pun menutup payung.

Hujan seakan tidak pernah terjadi, begitu pula dengan awan dan langit mendung yang seolah tidak pernah muncul. Siang itu tampak sama cerahnya dengan suasana pagi tadi.

Rasa terkejut Aidan makin menjadi hingga ia hampir lupa cara bernapas. Dirinya mengedipkan mata beberapa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya kini adalah nyata. "Sam," Aidan menepuk-nepuk punggung Samuel tidak sabaran. "Siapa mereka?"

Di tengah lingkaran rumput yang mana sebelumnya disoroti oleh pilar cahaya putih aneh, Aidan dan Samuel mendapati dua manusia tergeletak begitu saja seperti sedang merebahkan diri menikmati hangatnya sinar matahari. Dua orang itu bagai tertidur pulas. Sontak Samuel berlari mendekat diikuti Aidan. Satu gadis dan satu pemuda. Keduanya berbaring tak bergerak sedikit pun. Samuel menyapu pandang ke sekeliling taman lalu kembali menatap dua manusia tersebut. Aidan sendiri tidak bisa mengalihkan perhatiannya.

Pemuda yang berbaring telungkup itu berkulit putih pucat. Rambutnya berwarna kuning jagung dengan bagian puncaknya yang agak berantakan. Wajahnya tampan dengan rahang tegas, alis tipis, dan ujung hidung yang sedikit mencuat ke atas. Tubuhnya tinggi serta bahu yang lebar lumayan berotot. Ia memakai kaus putih polos yang dibalut jubah tipis berwarna cokelat lumpur, celana bahan panjang berwarna abu, serta sepatu bot besar. Satu hal yang paling mencolok dari penampilannya adalah keberadaan kantong panah berbahan kayu berisi anak-anak panah berwarna putih gading yang disampirkan di atas punggungnya.

Sementara di sampingnya adalah seorang gadis. Kali pertama melihat, Aidan seolah merasakan sesuatu yang aneh namun familier terhadap gadis tersebut. Wajahnya tak diragukan sangat memesona. Bentuk wajah menyerupai hati dengan garis rahang tipis dan dagu yang kecil. Bulu matanya lentik sedangkan alisnya tipis. Seluruh kulit gadis itu sewarna salju--kontras dengan rambut panjangnya yang hitam bergelombang. Ia mengenakan sebuah gaun sederhana berwarna merah marun. Sama seperti si pemuda, gadis itu pun memakai jubah bertudung yang senada dengan warna gaunnya. Ada semacam jalinan benang yang tampak membentuk bunga-bunga kecil di sepanjang tepi jubah. Di suatu tempat dalam otaknya, Aidan merasa pernah melihat jubah tersebut. Terakhir, hal yang tidak disangka Aidan akan dibawa oleh seorang gadis secantik itu adalah keberadaan sebuah belati yang ditempatkan pada sabuk senjata. Aidan mengenali ikat pinggang semacam itu dari beberapa video game bergenre aksi yang pernah ia mainkan.

Mengapa orang-orang ini membawa senjata tajam? Aidan membatin.

"Apa mereka mati?" tanya Aidan. Cukup lama dirinya mendapat jawaban saat telunjuk Samuel mengarah ke badan mereka. Dada kedua manusia itu bergerak naik turun secara teratur, tetapi Samuel berlutut untuk lebih memastikan. Aidan mengawasi saat Samuel memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan si pemuda dan si gadis. Selanjutnya Samuel cukup membuat Aidan terkejut untuk sekian kali, dia mengusapkan tangan pada pakaian mereka juga pada rambut. "Apa yang kau lakukan, Sam?" desis Aidan.

Samuel mendongak menatap kawannya yang memelotot tajam. "Hanya pingsan, tapi…" Jari-jari Samuel kembali mengusap kulit tangan kedua manusia tersebut. "…tubuh mereka sama sekali tidak kebasahan." Samuel mengusap rumput di bagian bawah pundak si pemuda kemudian mengarahkan tangannya kepada Aidan. "Kau lihat? Bahkan rumputnya kering sepenuhnya."

Aidan diam seribu bahasa. Napasnya diembus seraya memutar bola mata. Baru setengah hari, tetapi entah hal ini menjadi keanehan yang keberapa dalam beberapa jam terakhir. Dibanding dengan Samuel yang tampak normal, penasaran, tapi tetap tenang--apa yang Aidan rasakan saat ini berbeda seratus delapan puluh derajat. Ia sungguh lelah secara mental seakan pikirannya dicekoki ratusan rumus fisika yang tidak ia pahami dan tak ada seorang pun yang berniat menjelaskan. Keanehan itu tidak berhenti sampai di situ kala ekor mata Aidan menangkap sesuatu di samping kirinya, tepat di belakang Samuel yang masih berlutut. Dua buah ransel tiba-tiba muncul entah dari mana. "Sam," Secara otomatis Samuel mengikuti arah mata Aidan melirik. Dia pun berputar.

"Apa sebelumnya ada di sini?" Samuel bertanya dan Aidan hanya mampu menggeleng lemah. "Yah, pekerjaan tambahan." ujarnya. "Mari cek isi di dalamnya sebelum memutuskan apakah mereka pantas dibawa ke rumah."

"Apa?"

Tanpa menggubris Aidan yang terdengar hendak protes, Samuel meraba-raba keseluruhan ransel. Tidak ada ritsleting untuk membukanya, melainkan beberapa kancing sederhana yang digunakan sebagai pengait kunci. Kedua ransel itu tampak besar dan terisi penuh. Samuel segera membuka kancing dan melihat bagian dalamnya. Ransel pertama berwarna biru gelap, terdapat berbagai macam kain yang sepertinya merupakan pakaian. Samuel berpikir pasti tas ini milik si gadis karena dilihat dari pakaian gaun yang dibawa. Sisanya ada dua botol minum berisi air putih, beberapa potong roti, satu belati lagi, dan sebuah benda berbentuk lingkaran pipih seperti bedak padat yang terbuat dari bahan kayu.

Ransel kedua berwarna hitam pastilah milik si pemuda. Isinya tidak jauh berbeda: pakaian dan makanan dan minuman. Ditemukan satu buku catatan yang cukup tebal dan terakhir sebuah benda kayu berbentuk balok yang diperkirakan panjangnya mencapai dua puluh sentimeter. Wujudnya seperti pewarna bibir yang biasa dipakai para gadis, tetapi ukurannya lebih panjang. Aidan dan Samuel saling mencermati benda aneh tersebut. Walau sebenarnya tidak ada yang aneh dari sebuah balok kecil seukuran jengkal tangan orang dewasa, tapi tetap saja, benda itu mengundang pertanyaan--yang terpenting adalah apa itu?

Samuel mematung beberapa saat. Aidan mengambil benda misterius tersebut, sementara dirinya menatap buku catatan di tangan kiri. Entah mengapa jantung Samuel berpacu lebih cepat. Sejenak ia melirik Aidan yang sibuk mengamati balok aneh. Ketika pemuda itu tak memperhatikan, Samuel segera membuka buku catatan dan membaca sekilas tulisan tangan di dalamnya, halaman demi halaman. Mendadak darahnya mendesir begitu hebat. Dengan perasaan menyesal, ia baru saja membaca sesuatu yang seharusnya tidak ia baca. Seketika Samuel Richard membeku.

"Kau tahu," Aidan berkata sambil memutar-mutar balok di antara jari-jarinya. "Mungkinkah ini semacam jimat? Atau tongkat estafet? Atau--"

"Lebih dari itu."

Satu alis Aidan terangkat naik. "Kalau begitu apa?"

Samuel tidak menjawab lagi. Dirinya hanya menatap Aidan dengan ketenangan seperti biasa, melupakan keterkejutan yang dirasakan beberapa menit lalu. Kemudian, seutas senyum mengembang pada wajahnya. "Aku sudah membuat keputusan,"

"Apa?" Aidan mengikuti saat Samuel kembali memandang kedua orang asing yang masih berbaring tak sadarkan diri. Ia mengamati cukup lama seolah dengan begitu mereka bisa terbangun dan berbaik hati menjelaskan semua keanehan ini.

Tanpa sadar Samuel meremas buku catatan di atas lututnya lalu berkata, "Kedua orang ini harus dibawa pulang."

*