"Aku membutuhkan kekuatanmu untuk menyempurnakan bunga ini." ungkap pemuda itu penuh keyakinan dan ketegasan dan sangat diplomatis--membuat wanita yang luar biasa cantiknya di ruangan tersebut tersenyum kecil. Tanpa memperlihatkan rupa wajahnya, pemuda itu memiliki rambut hitam sewarna bulu gagak. Tubuhnya tinggi dengan bahu lebar dan pinggang yang ramping. Ia berlutut seraya mempersembahkan setangkai bunga berwarna ungu dengan bagian tengahnya berwarna ungu lebih gelap. Namun, tiba-tiba adegan si pemuda dan sang wanita bersama seluruh ruangan warna-warni yang megah itu memudar perlahan-lahan. Selanjutnya digantikan dengan suasana sebuah tempat yang tengah mengalami musibah.
Api-api biru menghanguskan sebagian besar rumah penduduk di tempat tersebut. Semua orang berhamburan sambil meraung, menjerit, dan menangis. Teriakan-teriakan minta tolong, memanggil nama, maupun anak-anak yang memanggil kedua orang tuanya memenuhi udara yang sesak. Kepulan asap hitam membubung di angkasa. Sebuah patung kaca berbentuk tubuh pria bertelanjang dada yang tengah menggendong seorang bayi tak luput dari jilatan api biru yang terus merambati setiap benda di tempat itu. Kemudian, adegan mengerikan tersebut lenyap.
"Kau memberikan takhtamu kepadaku?" Suara berat laki-laki mendadak terdengar. Ia sedang berbincang dengan seorang pemuda di ruangan yang tampak seperti perpustakaan super besar. Laki-laki itu berpostur tinggi dengan rambut sehitam baja yang kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Sayangnya, wajah laki-laki tersebut tidak jelas bagai tayangan televisi yang bergerak-gerak kesulitan menangkap gambar.
Sementara pemuda yang satunya adalah orang yang sama dengan pemuda di adegan paling pertama. Wajahnya tetap saja tidak terlihat. Ia berdiri menghadap sebuah rak jangkung nan besar sambil menyusuri satu barisan buku dengan jari. Secara fisik, disadari bahwa kedua laki-laki itu terlihat mirip. "Benar." jawabnya seraya mengelus sebuah sampul buku di rak tersebut. "Aku akan mundur dari pemerintahan dan meninggalkan kerajaan ini."
Sekian kali adegan berubah. Kali yang sekarang memperlihatkan seorang pria tinggi berambut pirang dan mengenakan jubah merah marun berbahan beludru dengan hiasan bulu-bulu tebal di sepanjang tepi jubah serta jalinan benang emas yang membentuk bunga-bunga kecil mengikuti panjang tepian bulu. Ia menggendong seorang bayi perempuan yang tampak baru saja dilahirkan. Di kanan-kirinya terdapat dua gadis kecil yang merengek memaksa pria itu untuk memperlihatkan sang bayi kepada mereka. Lantas, ia berlutut.
"Lihat," kata si gadis berambut pendek. "Bibir mungilku menghiasi wajahnya."
Si pria terkekeh. Ia mencermati kedua gadis itu tak henti membelai pipi sang bayi. "Adik kalian sangat mirip dengan ibu, bukan begitu?"
"Apa aku boleh menggendongnya, Ayah?" Giliran gadis bermata kelabu yang bicara. Sayang sekali, pertanyaannya ditolak lembut. Tak berapa lama, pintu besar di belakang mereka mengayun terbuka. Seorang wanita berjalan keluar dengan langkah yang terlihat berat. Kepalanya tertunduk, raut wajahnya masam seolah baru saja mendapat kabar buruk. Pria itu bangkit kebingungan. Dua gadis di sampingnya juga kompak mengerutkan dahi.
"Tuanku, maafkan hamba." Wanita itu akhirnya mendongak. "Hamba sudah berusaha, tapi--" Spontan ia meremas kedua tangan.
"Apa maksudmu?" Terdengar nada yang menuntut penjelasan disertai getaran dalam caranya bicara. Pria itu menahan napas. "Katakan, Tabib."
"Hamba sungguh memohon maaf," Kepala sang tabib kembali menunduk. Ia seakan dipaksa oleh keadaan untuk mengatakan sesuatu yang sangat tidak ingin ia katakan. Ketika waktu terasa berjalan lambat, ia pun memberanikan diri menatap pria tersebut. Kini wajahnya diliputi kesedihan. Matanya berkaca-kaca dan ketika ia berkedip, bulir bening meluncur turun di kedua pipi. "Yang Mulia Ratu meninggal dunia."
*
Pagi itu pukul sepuluh lebih lima belas menit, seorang pemuda masih tertidur lelap walau matahari sudah lama menyingsing cerah di langit timur. Tubuhnya telungkup ditutupi selimut tebal. Suara dengkuran terdengar keras menandakan dirinya masih berada di alam mimpi. Tak berapa lama kemudian terdengar langkah kaki yang menerobos masuk ke dalam kamar. Di sana, muncullah seorang pemuda lainnya sambil berkacak pinggang.
Pemuda itu melangkah masuk. Mata hitamnya bagaikan elang yang menatap tajam kepada seekor ular yang bersembunyi di balik semak-semak. Kini kedua lengannya berpindah ke depan dada sebelum salah satu tangan itu menyisir rambut cokelatnya dengan jari.
"Demi para dewa," desisnya sangat gusar. "Si Pemalas ini harus diberi pelajaran."
Hal yang terjadi berikutnya cukup menegangkan. Pemuda tersebut menyibakkan selimut dengan kasar hingga memperlihatkan seorang laki-laki yang tidur telungkup bagai orang yang tidak pernah terlelap seminggu penuh. Dibarengi ancang-ancang yang mantap, pemuda itu melayangkan tangannya dan--
Prak! Prak!
Kontan sang target terbangun. Laki-laki itu meringis hebat sambil memegangi sebelah pipinya yang terasa perih. Rambutnya ikal dan sewarna gagak hitam serta lebih berantakan saat bangun tidur. Matanya berwarna emas terang--membelalak jauh dari kata terlelap. Dalam situasi yang berbeda, ekspresi laki-laki tersebut pasti sangat lucu karena tipe wajahnya menggemaskan seperti bayi.
"Samuel!" Ia mengerang. "Kau tahu, ada banyak cara untuk membangunkan orang yang sedang tidur, kan? Dan aku yakin betul otakmu yang genius itu mampu menentukan cara yang lebih lembut untuk melakukannya."
"Tyler," Samuel menaikkan satu alis. "Apa kau lupa kalau ini adalah rumahku?" Di atas kasur, si pemuda berambut ikal malah menelengkan kepala. Samuel menghela napas kesabaran. "Seharusnya aku yang bertanya sampai kapan kau akan hidup sebagai Pemalas di rumah orang lain?!" tanyanya dengan nada keras.
Mereka adalah Aidan Tyler dan Samuel Richard--dua pemuda yang sudah berkawan baik sejak tujuh tahun lalu. Samuel adalah seorang pengusaha properti yang berpenghasilan ratusan juta tiap bulannya. Ia sangat mahir dalam kegiatan negosiasi dengan kata-kata persuasif yang begitu menarik. Akibat profesinya tersebut, dua tahun lalu Samuel dicap sebagai pengusaha muda yang sukses di usia dua puluh tahun, dan kesuksesan itu mampu dipertahankan oleh otak geniusnya hingga kini. Karena uang yang dimilikinya itu, Samuel membeli sebuah rumah minimalis yang ia huni sendiri sampai suatu ketika seorang Pemalas ikut menempatinya.
"Jangan paksa aku mendiktemu, Sam." Aidan mengibas-ngibas tangan di udara. "Bukankah saat pertama kali aku tinggal di sini kau berkata, 'anggaplah rumah ini adalah rumahmu juga, Kawan.' Begitu?" Si Pemalas itu adalah Aidan Tyler. Sifatnya sangat bertolak belakang dengan Samuel. Aidan tidak memiliki bakat apa pun dalam bekerja atau berbisnis. Ia bukan tipe orang yang ambisius menjalin relasi dengan banyak pengusaha lain. Namun, bukan berarti ia tidak berpenghasilan besar seperti Samuel.
Aidan lebih tertarik kepada dunia virtual. Ia menghabiskan banyak waktu untuk bermain video game hingga akhirnya menjadikan gamer sebagai profesi yang membuat Aidan menjadi jutawan di usia sembilan belas tahun. Dari situ, belakangan ini justru ia tertarik kepada dunia penulisan. Menciptakan sebuah video game yang dapat dimainkan oleh siapa saja adalah hal yang mengesankan--terutama jika melihat keuntungan dari semua itu. Namun, sayangnya Aidan terjangkit sifat malas luar biasa yang selalu membuat kepala Samuel terasa meledak. Ditambah kadar otak Aidan yang pas-pasan. Maka, ia hanya mengambil inspirasi dari dunia-dunia virtual yang dimainkannya untuk dituangkan ke dalam sebuah tulisan.
"Jangan mengada-ada, Tyler, kau sendiri yang memaksaku untuk menampung hidupmu di sini." Samuel mendecak lidah. "N'importe quoi. Aku hanya ingin kau bersiap, kita perlu membeli bahan masakan hari ini."
"Wah, wah," Aidan menautkan kesepuluh jarinya lantas bertopang dagu. "Apa secara tidak langsung kau membutuhkan bantuanku?"
"Dengar, ya," kata Samuel. "Jangan asal bicara. Ini sudah menjadi tanggung jawab--" Tiba-tiba perkataannya terhenti. Kini giliran Samuel yang mendelik kepada Aidan. Sontak si ikal itu menaikkan alis. "Demi para dewa--DI MANA CINCINMU, AIDAN TYLER?!"
Aidan terkejut--ia akui--tapi bukan terkejut karena pertanyaan itu. Aidan terkejut karena Samuel mendadak berteriak. Jika Aidan memiliki riwayat penyakit jantung, ia tidak yakin mampu bertahan tiap kali suara melengking tersebut menggelegar. Kemudian Aidan menatap kesepuluh jarinya yang menarik perhatian Samuel. Lagi-lagi masalah cincin bodoh itu, batinnya seraya memutar bola mata.
"Iya, iya, baiklah." gerutu Aidan sambil mengangguk beberapa kali. Samuel masih memelotot tajam. "Aku meninggalkannya di kamar mandi. Sekarang aku akan mandi, memakai cincin itu, dan melaksanakan tanggung jawabku untuk membeli bahan makanan. Kau puas?" Hanya sekali anggukan, lalu Samuel berderap pergi.
*