Hari ini genap seminggu sejak kepergian Rindang dari hidupku, juga dari dunia ini. Entah kenapa rasanya masih tetap sama. Kapan rasa sakitnya kira-kira akan berkurang. Satu tahun? Dua tahun?
Hari itu harusnya aku menerima jawaban darinya. Bahkan jika itu penolakan, aku sudah siap. Aku bahkan meyakinkan diriku sendiri untuk melangkah maju meski tanpanya. Tapi kenapa ...
Ah, aku tahu!
Mungkin, meski aku bukan orang yang dipilih untuk bersamanya, kami masih ada di bawah langit yang sama. Masih menghirup udara yang sama. Kapan pun aku merindukannya, aku masih bisa melihatnya. Kapan pun aku ingin bicara, aku bisa menemuinya.
Hanya memikirkan bahwa kami masih tinggal di bawah langit yang sama saja ternyata merupakan sebuah anugerah untukku.
Sekarang? Apa pun yang kuinginkan tidak akan ada lagi sosoknya yang melengkapi. Bagaimana kerinduanku akan bermuara, bagaimana rasa sakitku akan berakhir, hanya waktu yang tahu. Namun, waktu yang sangat kubutuhkan, justru berjalan teramat lambat.
Pertama kali aku bertemu dengan Rindang dua tahun lalu di sebuah pasar tradisional. Ketika itu Rindang sedang berdebat dengan penjual ikan yang mencoba menipunya.
Mungkin si penjual berpikir bahwa seorang wanita cantik yang berpakaian rapi, mengenakan heels, dan dengan aroma parfum yang bertebaran ke mana-mana tidak pandai dengan urusan pasar, bumbu dapur, dan dunia masak-memasak. Nyatanya Rindang sangat lihai. Ia bisa membedakan ikan yang masih segar hanya dengan sekali lihat. Juga tahu bila seseorang memberi pengawet tambahan.
Tidak hanya berdebat, Rindang juga balik memarahi si penjual dengan kalimat khas emak-emak yang di pundaknya ada bertumpuk beban ekonomi. Pemandangan yang lucu sebenarnya, wanita cantik dan modern berjiwa emak-emak yang terimpit beban ekonomi. Anehnya, bagiku Rindang terlihat manis dan menawan. Mungkin itu yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama. Entahlah, aku tidak tahu.
Pertemuan kedua terjadi lebih dari setahun setelahnya. Ketika aku nyaris melupakan wanita itu.
Takdir teramat pandai mengacak-acak perasaan seseorang. Aku tidak mengharapkan apa pun. Pertemuanku di pasar ketika itu hanya bagian dari kenangan manis dalam hidupku. Kenangan yang dapat segera berlalu. Ternyata, setelah lebih dari satu purnama berlalu, takdir kembali menghadirkannya tepat di depan mataku.
Kami kembali bertemu di acara pernikahan rekan kerjaku yang istrinya adalah teman sekelas Rindang. Rindang tentu saja tidak mengenalku. Baginya, aku sama seperti orang-orang yang berpapasan di trotoar ketika berjalan kaki, atau seseorang yang ada dalam angkutan umum yang sama. Tidak ada yang spesial. Tidak perlu dikenang.
Dengan penampilannya yang cantik dan anggun hari itu, aku yakin tidak akan ada yang menduga bahwa Rindang yang marah-marah dengan penjual ikan di pasar dengan Rindang yang anggun adalah orang yang sama.
Pertemuan selanjutnya, dan selanjutnya lagi terjadi karena teman-teman menjodoh-jodohkan kami.
Sampai sekarang, hanya aku sendiri yang menyimpan kenangan manis di pasar tradisional dua tahun lalu. Aku tidak pernah berbagai dengan siapa pun. Termasuk mengatakannya pada Rindang. Baginya, pertemuan pertama kami adalah di acara pernikahan.
Aku menyimpan rapat-rapat kenangan itu untuk diriku sendiri. Mendadak, hari ini aku ingin membagi kenangan manis itu dengan seseorang. Terutama denganmu. Aku ingin mengatakan bahwa aku tidak memandangmu sama seperti yang orang lain lakukan. Aku memiliki satu rahasia kecilmu, dan bagiku, kamu adalah wanita yang luar biasa.
"Sekali saja, tidak bisakah kamu menemuiku dalam mimpi?" kataku penuh harap.
Aku menggenggam erat ponselku. Potret Rindang yang tengah tersenyum memenuhi layar. Senyum yang bisa membuat orang yang melihatnya tersengat perasaan bahagia yang sama.
"Silakan pesanannya!" Seorang waitres membawakan latte dan roti bakar pesananku.
Aku sedang menghabiskan jam istirahatku di sebuah kafe yang berjarak tidak terlalu jauh dari tempatku bekerja. Tidak hanya sedang menghabiskan waktu istirahat dan bersantai, karena alasan paling tepat memilih berada di tempat ini adalah untuk menunggu seseorang. Lebih tepatnya menunggu informasi yang dibawanya.
Seseorang yang mengenakan hoodie hitam, jins ripped, dan topi yang menutupi hampir setengah wajahnya memasuki kafe. Itu dia! Aku sudah bertemu dengannya sekali, dan sekali lagi hari ini.
Aku mengenalnya dengan sebutan More dari salah satu situs. More adalah nama akun yang dipakainya untuk berhubungan denganku.
More berjalan ke arahku dengan kepala tertunduk. Hoodie kebesaran yang dikenakannya jelas untuk menutupi bentuk tubuhnya yang kelewat ramping. Tangan kirinya membawa koran yang digulung dan dipukul-pukulkan ke kakinya yang jenjang. Tingginya nyaris menyentuh angka 170 senti.
More memotong rambutnya teramat pendek. Nyaris menyerupai laki-laki. Telinga kanannya ditindik dua lubang. Tidak ada tanda khusus pada wajahnya, tapi secara keseluruhan bentuk wajahnya yang kecil bisa disebut imut. Jika bertemu lagi dengan penampilan yang berbeda, aku tidak yakin masih bisa mengenalinya.
Secara penampilan More sangat tertutup. Kedua kalinya bertemu, ia berpenampilan sama. Mungkin pakaiannya memang hanya model itu-itu saja. Dalam bertemu orang yang sama, More memiliki prinsip tidak melakukannya di tempat yang sama. Dia juga tidak pernah memperkenalkan dirinya secara formal, dan benci basa-basi.
Untuk usia, wajahnya terlihat belia, tapi pengalamannya jelas bukan lagi anak kemarin sore. Jadi, aku sama sekali tidak yakin tentang usianya. Melihat semua hal dilakukan seorang diri, mungkin orang yang mengenal More secara pribadi bisa dihitung jari, atau bahkan tidak ada sama sekali.
More duduk dengan malas di depanku. Wajahnya yang tersembunyi terlihat ogah-ogahan. Ia meletakkan koran yang dibawanya di tengah meja. Ada amplop coklat di bagian terdalam koran. Aku menarik amplop coklat yang ada di dalamnya dan menukarnya dengan amplop putih.
"Terima kasih," katanya dengan suara serak. Mungkin karena More jarang berbicara. Ia berdehem sesaat untuk kembali menjernihkan suaranya, menggigit sepotong roti di atas meja, dan pergi.
More tidak pernah bertemu dengan orang lain lebih dari tiga menit. Batas waktu yang ia tetapkan mungkin berkaitan dengan jati diri yang tidak ingin orang lain tahu. Kehidupan normal seperti apa yang mungkin More jalani, sungguh membuatku penasaran.
Cara More merahasiakan identitasnya membuatku berpikir mungkin ia pernah melakukan kejahatan. Atau sebaliknya. More adalah seorang mahasiswi dengan pergaulan luas. Tipikal seseorang yang berjiwa bebas. Karena jika More benar-benar seorang introvert dan anti-sosial, ia tidak perlu berperilaku khusus hanya demi identitasnya agar tidak terbongkar.
More berjalan menjauh, menuju pintu keluar. Mungkin karena tubuhnya yang kurus dan badannya yang tinggi, cara More berjalan terlihat bungkuk. Ia tidak membawa kembali koran miliknya. Ia hanya menarik amplop putih yang kuberikan dan langsung ia selipkan dibalik jaketnya.
Dua hari setelah Rindang meninggal, dua orang polisi menemuiku. Harun dan juniornya, Setiawan. Mereka menanyakan berbagai macam pertanyaan. Mulai dari kepribadian, hingga hubungan kami.
Aku menjelaskan dengan sejujurnya. Bahwa aku adalah orang yang secara sebelah pihak mengejarnya. Bahwa kami bertemu di pesta pernikahan seorang teman, dan menjadi akrab karena dijodoh-jodohkan.
Aku juga mengatakan bahwa aku telah melamar Rindang dan berencana mendengar jawabannya malam itu. Berdasarkan reaksi yang kutangkap, sepertinya mereka telah mendengar kabar tentang lamaranku. Tebakanku, pria bernama Dewa yang mengatakannya. Hanya Dewa dan Alexi yang tahu perihal lamaranku. Alexi bukan orangnya, karena ia masih tidak ingin ditemui oleh siapa pun. Termasuk para polisi. Jika bukan Alexi, tentu saja Dewa.
Aku tidak tahu apa yang Dewa katakan kepada polisi, tapi aku tidak bisa mempercayai pria itu. Aku juga tidak suka dengan tatapan matanya. Terutama sejak obrolan terakhir kami di mobilnya.
"Seandainya saya menurunkan Rindang di tempat yang lebih aman..."
Kalimat Dewa hari itu terdengar aneh di telingaku. Bukankah dia bilang Rindang yang memintanya diturunkan di tempat itu. Kalau benar seperti itu, Dewa tidak akan bisa memilih di mana harus menurunkan Rindang.
Kalimat yang Dewa ucapkan membuatku merasa ada hal yang dia sembunyikan. Aku tidak tahu apa. Apakah Dewa pembunuhnya, atau dia tahu siapa pelakunya, aku tidak yakin. Karena menginginkan kebenaran, aku menyewa jasa profesional dan More adalah pilihanku.
Amplop coklat yang More berikan kukeluarkan untuk memeriksa isinya. Informasi terbaru apa yang More berhasil kumpulkan, aku sungguh penasaran. Ketika aku menarik lembar HVS-nya keluar, seseorang merampasnya.
_abcde_