"Kapten, boleh saya tanya?" Setiawan ragu-ragu.
Harun dan Setiawan sedang istirahat makan siang setelah selesai memeriksa kembali jejak-jejak Dewa sampai ke rumahnya. Keduanya memilih mampir ke warung pinggir jalan yang menyediakan hidangan prasmanan.
Harun memenuhi piringnya dengan berbagai lauk dan mi, sementara setiawan lebih memilih menu nasi pecel dan mengambil banyak peyek dalam stoples plastik.
"Saya tahu. Ini pasti tentang kenapa saya tidak membeberkan fakta bahwa kita sudah tahu alasan Dewa menurunkan Rindang," tebak Harun. "Bahwa kita menemukan saksi yang mengatakan Rindang berteriak-teriak dari luar mobil. Bahwa besar kemungkinannya mereka terlibat pertengkaran."
Setiawan menganggukkan kepalanya meski Harun tidak melihat ke arahnya. Harun telah sibuk dengan piringnya yang terlalu penuh. Setiawan sendiri fokus mengadukan nasinya agar rata bercampur dengan sambal pecel yang menggoda selera.
Harun makan menggunakan tangan. Satu kepal penuh nasi dijejalkan ke dalam mulutnya sekaligus dengan lauk-pauknya. Sebelum menjelaskan, ia mengunyah dengan cepat.
"Untuk tahu kita sedang berhadapan dengan orang seperti apa, tidak cukup hanya mengandalkan pengamatan. Ingat, mata mudah ditipu!" Harun mengambil jeda untuk mencomot ayam gorengnya. "Sesekali kita perlu bermain trik."
"Oh, begitu!" Setiawan menyeruput es tehnya.
"Kita tahu dia menyembunyikan sesuatu karena kita juga menyembunyikannya. Artinya, Raditya Dewangga tidak seperti apa yang kita lihat."
"Benar. Dia bisa begitu tenang padahal sedang menyembunyikan sesuatu." Setiawan setuju. "Eh, apa itu artinya Dewa pelakunya?" Setiawan bertanya tentang kesimpulan terakhirnya.
"Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?" Harun balik bertanya. Ingin tahu bagaimana junior di depannya memandang kasus yang sedang mereka tangani.
"Saya ingat tentang fakta yang Dewa ucapkan mengenai Rindang yang sudah dilamar. Jadi, saya pikir pembunuhan didasarkan atas motif cemburu." Setiawan membuat hipotesis. "Memiliki istri yang lumpuh otomatis kebutuhan batinnya tidak terpenuhi. Rindang cantik dan menawan. Bisa jadi ada kemungkinan mereka berselingkuh. Tahu Rindang telah dilamar orang lain membuat Dewa kalap dan membunuh Rindang."
Harun menggelengkan kepalanya. Jelas ia sama sekali tidak sependapat dengan hipotesis Setiawan. Ia kembali melanjutkan makannya, tidak berencana menjelaskan alasan ke tidaksetujuannya.
Mengerti sedang disuruh berpikir sendiri, Setiawan berusaha keras untuk memutar otaknya. Nasi pecel yang awalnya sangat menggiurkan tidak lagi terasa menggugah. Ia mengambil kertas laporan dan membaca ulang berkas secara acak.
Setiawan memeriksa lembar catatan forensik.
Penyebab kematian Rindang adalah kehilangan terlalu banyak darah. Kedua pergelangan tangan dipotong masing-masing dua garis. Juga lipatan kedua siku. Senjata yang digunakan adalah pisau kecil berukuran tipis. Panjang 26 mm, dengan ketebalan 0.38 mm.
Selain luka terbuka pada pergelangan tangan, terdapat tanda-tanda penganiayaan ringan di bagian wajah, dan tubuh lainnya, yang diduga terjadi akibat melakukan pembelaan diri.
Mayat ditemukan pukul 22.30 oleh beberapa anak jalanan yang mabuk saat berencana buang air kecil. Perkiraan waktu kematian Rindang antara pukul 19.00 - 20.00 dilihat dari kekakuan dan lebam pada mayat.
"Benar juga, cara membunuhnya tidak terlihat seperti orang kalap karena cemburu." Setiawan bergumam sembari memijat pelipisnya. Kebiasaan barunya ketika sedang berpikir.
Nasi di piring Harun sudah habis setengahnya, sementara milik Setiawan baru berkurang dua sendok.
Setiawan memasukkan kembali laporan kasus ke dalam ranselnya dan mulai menyuap nasinya. Sesuap demi sesuap. Meski seperti itu pikirannya tetap jauh mengembara. Memikirkan kemungkinan lain, membangun hipotesis baru. Entah bagaimana, perasaannya mengatakan kematian Rindang ada kaitannya dengan Dewa.
"Itu benar," Harun menimpali "Dan kita baru saja menyusuri sepanjang jalan menuju rumahnya. Arahnya berlawanan dengan TKP. Memang ada jeda waktu kosong. Anggaplah itu waktu yang dihabiskannya untuk mencoba memeriksa mobilnya, karena kita tidak mungkin menolak kemungkinan itu."
"Tapi menurut saksi yang kita temukan saat melihat mobil Dewa terparkir, tidak ada yang mengatakan hal seperti Dewa terlihat sibuk memperbaiki mobil atau hal semacamnya. Saksi bahkan tidak melihat Dewa sama sekali." Setiawan menginterupsi secara tidak sabaran.
"Sekarang posisi kita adalah menganggap semua keterangan Dewa benar," Harun menjelaskan posisi mereka. "Kita berpikir dan menyelidiki sesuai perkataannya, bukan hanya berdasarkan dugaan belaka. Jika kita bisa menemukan titik diskoneksinya, berarti kita bisa menemukan fakta lain yang sebenarnya terjadi."
"Ah, seperti itu. Maaf."
"Jika dia mencoba memperbaiki mobilnya dan karena gagal memutuskan pulang dengan berjalan kaki, jeda waktu kosong untuk menjalankan aksinya nyaris tidak ada. Ditambah lagi TKP adalah arah yang berlawanan."
"Bagaimana kalau ada kaki tangan?" Setiawan ingin membangun hipotesis lain. "Bagaimanapun penyebab pembunuhan terjadi adalah Dewa menurunkan Rindang pada tempat yang salah."
"Kalau begitu ini akan menjadi fokus penyelidikan kita selanjutnya. Kamu bilang tadi penyebabnya cemburu, lamaran. Berarti yang akan kita datangi adalah teman pria korban. "
"Dimas Cahyadi!" Setiawan berkata cepat. "Saya akan bertanya apa dia ada waktu kosong hari ini."
Setiawan segera meneguk es tehnya dalam jumlah banyak, menyambar ponselnya di atas meja, dan membuka catatannya. Mencari nomor Dimas untuk menghubungi pria itu. Kebetulan sewaktu di kamar jenazah, mereka sudah meminta kontak yang bisa dihubungi kalau sewaktu-waktu membutuhkan keterangannya untuk proses penyelidikan.
"Tapi kok ya, Dewa pulang dengan berjalan kaki adalah hal yang terasa paling aneh." Harun berbicara pada dirinya sendiri. "Semakin aneh karena perkataannya justru terbukti benar."
Alibi?
Ponsel Harun berdering ketika ia berusaha membersihkan daging ayam yang melekat pada tulang dengan giginya yang menguning akibat kelebihan kafein. Harun adalah tipe yang sangat disiplin dalam segala hal, termasuk mengangkat panggilan. Orang akan jarang menemukannya baru mengangkat panggilan setelah dering kelima.
"Halo!" Harun yang masih mengunyah berbicara tidak jelas. "Ya, tidak apa-apa. Bicara saja! Oh, bagus. Propofol? Oke, terima kasih informasinya."
Panggilan diakhiri.
"Propofol?" Setiawan yang sempat mencuri dengar setelah selesai mengatur jadwal temu dengan Dimas, berseru. "Propofol bukannya jenis obat yang masuk golongan anestesi?"
"Benar. Coba tebak itu ditemukan di mana?"
Setiawan mengangkat secara bersamaan bahunya yang simetris, "Di mana?" tambahnya balik bertanya. "Sebentar! Sebelumnya, dalam barang bawaan Rindang kita melihat ada botol kaca kecil transparan dan jarum suntik."
Harun mengangguk. "Coba tebak, apa kabar mengejutkan lainnya?"
"Apa?" Kali ini Setiawan tidak ingin repot-repot berpikir lebih dulu.
"Kandungan yang sama juga ditemukan dalam darah korban."
"Wow!" komentar Setiawan antara kagum dan tidak tahu lagi harus menanggapi bagaimana. "Kapten, bukannya membawa-bawa Propofol itu seperti korban yang mempunyai niat jahat, tapi karena kandungannya ditemukan di tubuh korban, lain ceritanya kalau pelaku yang memasukkan obat itu untuk mengacaukan penyelidikan."
"Agus sedang mencari tahu apa benar Propofol yang kita temukan adalah milik korban, atau mungkin milik orang lain."
"Kalau benar milik Rindang, kira-kira siapa yang akan menjadi korbannya?"
"Hanya satu orang," jawab Harun "Yang sejak seharian itu sudah bersamanya."
"Dewa?"
"Dan besar kemungkinannya Dewa memang telah menjadi korban dari Propofol yang ada di antara barang bawaan korban." Harun mengangguk penuh keyakinan.
Setiawan masih tidak mengerti.
_abcde_