Chereads / Hidden. / Chapter 2 - » Raditya Dewangga.

Chapter 2 - » Raditya Dewangga.

Pria yang ada di dalam sana memasuki akhir usia 31 tahun. Sepasang matanya berbentuk Almond. Lipatannya dalam, memiliki kantung mata dipadukan dengan alis hitam yang tebal. Mata yang terlihat ramah itu sedang digelayuti kesedihan, menunjukkan perjalanan hidupnya yang panjang, yang tidak hanya berisi kebahagiaan dan suka cita.

Hidung elangnya merupakan kelebihan paling menonjol dari bentuk wajahnya. Ada tahi lalat timbul yang tidak besar di lipatan cuping hidung sebelah kiri. Rahangnya lurus, panjang, dan terlihat kokoh. Bibirnya tidak tebal juga tidak tipis. Pria itu berperawakan tinggi, atletis dengan dada bidang. Rambutnya hitam disisir rapi ke belakang. Wajahnya bersih karena rajin berkucur. Terlihat gagah dari luar namun tidak ada yang tahu betapa rapuh hati yang sebenarnya dia miliki.

Pria itu adalah aku sendiri yang gambarannya kulihat melalui cermin wastafel yang ada di depanku. Dari sudut mataku, pria itu tampak menyedihkan. Entah apa yang salah dengannya.

Aku membuka keran, membasuh wajahku, dan membiarkan saja titik-titik airnya berjatuhan secara alami. Aku menatap wajahku lagi, menghela napas, dan membasuh sekali lagi.

Begitu aku keluar dari satu-satunya pintu yang berada di pojok sisi terkiri ruangan, aku melewati rak-rak tisu dan pampers. Aku memotong jalan ke sisi kanan dengan melewati etalase kaca yang berisi roti dan berbagai jenis kue kukus siap makan. Ada sebuah pintu bercat putih yang sesuai dengan cat dinding, dengan lubang kaca di bagian atasnya. Ada papan yang digantung bertanda dilarang masuk disertai dengan tulisan 'staff only.' Mungkin itu pintu yang terhubung dengan bangunan utama di lantai dua.

Seorang pegawai yang sedang menambahkan minuman kaleng bersoda di rak yang kosong tersenyum ketika melihatku. Aku mengangguk dan membalas senyumnya yang ramah. Sebelum menuju pintu keluar kaca di bagian depan, aku melemparkan tatapan ke beberapa tempat sekilas. Mencari-cari. Di antara orang-orang yang memenuhi seisi market, tidak satu pun dari mereka merupakan orang yang kukenal. Ada dua orang berbaris di meja kasir dan orang yang kucari pun tidak ada di sana.

Setelah mengatakan terima kasih pada seorang pria yang berdiri dekat pintu keluar, aku menuju tempat parkir. Orang yang kucari ternyata telah berada dalam mobil. Ketika aku masuk dan duduk di kursi kemudi, dia terlihat terkejut. Mungkin dia sempat tertidur sebelumnya karena terlalu lama menungguku.

"Minum, Pak?" katanya menawariku sekaleng Pocari.

Aku mengangguk. Dia membukakan Pocari yang ada di tangannya dan menyodorkannya padaku.

"Terima kasih," kataku singkat, mulai meminum dengan dua tegukan kemudian menyalakan mesin mobil, dan bersiap pulang.

Langit sudah mulai gelap ketika aku meninggalkan pelataran parkir. Ini hari yang melelahkan dan aku ingin cepat sampai di rumah. Karena pekerjaan sudah tidak terlalu banyak, aku bisa menyerahkan sisanya pada dua pegawaiku di lapangan dengan tenang.

Sebelumnya seseorang dari mereka melakukan kesalahan yang sama, beberapa kali. Akhirnya aku harus sering-sering turun ke lapangan untuk memeriksa hasil pekerjaan mereka.

Aku menaikkan laju kendaraan agar tidak melewatkan lampu yang menyala hijau di depan sana. Kulirik wanita yang duduk di sebelahku. Tidak seperti biasanya dia menjadi lebih pendiam. Tidak akan berbicara kalau tidak aku yang memulai, atau memang ada pekerjaan-pekerjaan yang tidak dia mengerti.

Rindang, 27 tahun. Dia adalah wanita yang baik dengan banyak kelebihan yang melekat pada dirinya. Seseorang yang menyenangkan dan pandai bergaul. Rindang juga merupakan tipe yang humoris. Rindang memiliki segala hal yang membuatnya masuk dalam daftar wanita idaman. Wajahnya bersih dan cantik tanpa mekap berlebih. Kulitnya putih, rambutnya hitam, panjang, bergelombang. Semampai dengan tubuh yang ramping. Matanya kecil, hidungnya mungil, dan bibir atas yang menutupi bibir bawahnya.

Rindang sungguh wanita yang menawan, hanya saja dia tidak bisa menahan nafsu belanjanya yang tinggi saat sedang kesal. Pun nafsu makannya yang menjadi dua kali lipat ketika datang bulan. Setelah makan banyak, keesokan paginya di tempat kerja Rindang akan terus mengomeli dirinya sendiri dan menyesal. Jika sudah seperti itu biasanya suasana hatinya juga ikut buruk.

Rindang selalu mengatur pola makannya dan hanya ketika dia datang bulan pola yang selalu teratur itu berubah berantakan. Selewat datang bulan, beratnya akan naik 2-3 kg. Hal yang semakin membuatnya uring-uringan.

Aku mengenalnya, tentu saja. Rindang sudah bekerja denganku selama 3,5 tahun. Sebenarnya dia memiliki banyak peluang untuk bekerja di tempat lain di luar sana, hanya saja dia tidak memanfaatkan potensinya dengan baik.

Selain menganggap Rindang sebagai pegawai, kami juga sering mengobrol akrab layaknya teman. Rindang menawan, tipe ideal tapi aku tahu batasku hanya cukup untuk berpikir sampai di situ.

Mendadak, aku merasa mengantuk. Aku menurunkan laju kendaraan, menguap sekali, dan mengusap mataku.

"Dewa..."

Rindang membuatku terkejut dengan caranya memanggilku. Lembut. Tanpa embel-embel Pak atau Bapak seperti biasanya. Meski kami akrab, Rindang tidak pernah selancang ini. Dia tahu batasan yang tidak akan bisa ditembusnya. Sekali lagi, karena aku tahu batasanku dan dia pun seharusnya sama.

"Aku sudah menunggu saat ini sangat lama, Dewa."

Tanpa memikirkan apa yang boleh dan tidak, Rindang tetap melanjutkan kata-katanya.

Tidak boleh! Dia harus berhenti!

Ini membuatku marah. Aku menepi dan menginjak pedal rem dalam-dalam, membuat tubuhnya terlempar ke depan dan tertarik lagi ke belakang membentur kursi yang didudukinya berkat sabuk pengaman.

"Kamu tahu apa yang kamu bicarakan?!" Aku menyalak pada Rindang. Sialnya kantukku semakin tidak tertahankan dan ini membuatku semakin kesal.

"Kamu tahu selama ini aku menyukaimu, 'kan? Dewa, apa kamu..."

"Cukup!" Bentakku lebih dari sebelumnya.

Tatapan Rindang melembut, begitu penuh kasih sayang dan terlihat putus asa. Rindang menatapku dalam, mengacak-acak pertahananku. Aku ingin memberontak dan menolak sihirnya, tapi yang terjadi aku justru melunak. Dia membasahi bibirnya yang kemerahan karena pemulas membuatku semakin tak berdaya.

"Aku tidak akan memintamu meninggalkan dia atau menceraikannya. Aku tahu selama ini kamu tersiksa. Menderita seorang diri. Aku tahu, hanya aku orang yang bisa menyembuhkanmu. Membuatmu kembali seperti Dewa yang dulu." Cara Rindang berbicara tidak kalah lembut dari caranya menatapku.

Aku tidak bereaksi, hanya balas menatapnya dengan menahan segala gejolak yang ada dalam diriku. Aku menelan ludah saat Rindang mencondongkan wajahnya ke arahku.

"Aku akan membuatmu kembali seperti Dewa yang dulu," katanya lagi, kali ini nyaris berbisik.

Rindang melepas sabuk pengamannya. Ia mendekat, semakin dekat. Aku bisa mencium aroma melati ringan dari parfum bermerek yang mungkin telah disemprotkan ke seluruh tubuhnya. Juga aroma samponya yang segar meski telah seharian berada di luar ruangan.

Ini jarak yang terlalu dekat. Darahku mendesir dan jantungku berdetak terlalu cepat. Entah kapan terakhir kali jantungku berpacu sekencang ini, aku sendiri tidak yakin. Aku bahkan tidak pernah tahu kalau jantungku bisa berdetak secepat ini.

Untuk beberapa saat aku tidak mampu berpikir. Rasa kantuk dan sikap Rindang yang tiba-tiba melumpuhkan cara kerja otakku. Hasrat kelelakianku tergoda, rasa kesepian yang seolah telah mendarah daging dalam jiwaku terenyuh, aku hanyut...

Tidak! Batasku hanya pada pemikiran aku memiliki seorang wanita yang menawan sebagai pegawaiku, tidak lebih!

Aku memiliki seseorang yang menunggu di rumah. Seseorang yang mencintaiku dan kucintai sepenuh hati. Seseorang yang telah aku bersumpah untuk setia padanya sampai akhir hayat. Istriku. Dia sedang berada di titik nadir dalam takdir kehidupannya. Dia sedang menderita. Kesakitan. Hanya aku satu-satunya yang dia punya.

Aku mendorong Rindang kembali ke tempat duduknya. Aku sedang tidak bisa mengontrol diriku sendiri. Rasa kantuk, gejolak yang meletup-letup, kini aku yang mencondongkan diri padanya, tapi tidak untuk menyentuhnya melainkan membuka pintu yang berada di belakang punggungnya.

"Keluar!" tandasku dingin.

"Pak..."

Dengan kembali berubahnya cara Rindang memanggilku, tampaknya akal sehatnya pun telah kembali tapi aku tidak peduli lagi.

"Keluar!" kataku lagi sembari setengah mendorongnya.

Begitu kututup pintu mobil, Rindang menggedor-gedor dan memanggilku. Meminta maaf, berjanji tidak akan seperti itu lagi. Aku tak acuh. Aku menaikkan laju kendaraanku, menyalip di antara bus dan truk sebelum akhirnya menepi karena kesadaran dan daya tahanku sudah mencapai batasnya. Teriakan terakhirnya, masih tertinggal samar-samar di telingaku.

Ketika pandanganku semakin kabur, bayangan seorang wanita yang menungguku di rumah menjadi gambaran satu-satunya yang kulihat. Hanya dia. Memenuhi seluruh penglihatanku, hari-hariku, juga masa depanku. Aku merindukannya. Aku sangat merindukannya hingga dadaku terasa sesak. Gambaran wajah dan segala tentang dirinya ada di hadapanku tapi aku tetap merindukannya. Bukan raganya, tapi dia yang dulu hingga detik ini masih sangat kucintai. Dia, yang deminya aku rela melakukan apa pun.

Tatapanku kabur dan semakin kabur sampai akhirnya aku jatuh tertidur.

_abcde_