Chereads / Hidden. / Chapter 5 - » Alexi Pratama.

Chapter 5 - » Alexi Pratama.

"Aku duluan, ya," kataku setelah melirik jam tangan sekilas. "Titip absen," tambahku. Aku sedang bersama dua orang teman, Ali si rambut jabrik dan Adit si kacamata.

"Mau ke mana, Bro?" si jabrik bertanya, "Bukannya jadwal kerja off."

Memiliki teman-teman dengan nama berawalan huruf yang sama membuat kami dikenal sebagai tripel-A; Alexi, Ali, dan Adit. Konyol. Kamu bisa memilih-milih teman, tapi kamu tidak bisa memilih dengan siapa kamu akan akrab.

Ali adalah seorang pria dengan tinggi badan 178 cm –sama denganku, badannya tidak gemuk juga tidak kurus, kulitnya agak gelap karena seluruh keluarganya memang berkulit agak gelap. Aroma tubuhnya sudah hampir sama dengan aroma minyak rambut yang digunakannya sehari-hari.

Istilah rambut adalah mahkota ternyata tidak hanya berlaku bagi kaum Hawa. Terbukti hanya untuk sekadar pergi ke warung seberang jalan saja ia harus berepot-repot ria menjabrikkan rambutnya lebih dulu. Dengan waktu yang digunakan untuk menjabrikkan rambutnya lebih lama dibanding jarak perjalanan yang ditempuh ke warung seberang jalan.

"Lembur. Lumayan, 'kan buat tambah-tambahan uang jajan," jawabku.

"Jangan sok susah deh. Lu 'kan enggak perlu-perlu amat itu uang," Adit menimpali dengan gaya bicara yang biasanya lebih sering pedas.

Orang-orang berkacamata biasanya identik dengan karakter seorang yang kuper atau kutu buku yang genius. Tapi itu dulu, jauh sebelum demam-demam Korea dan Mandarin dengan segala macam pernak-pernik fesyennya mewabah di negara ini.

Di era ini, untuk beberapa orang, kacamata lebih sering digunakan hanya sebagai gaya-gayaan dan tren, termasuk Adit. Tingginya tidak sampai 170 cm. Wajahnya bersih, mulus tanpa satu pun bekas jerawat atau tahi lalat menempel di sana.

Aku tidak berniat menanggapi sindiran Adit. Kata-katanya memang terdengar menyebalkan, tapi aku sudah terlalu terbiasa dan kebal dengan cara bicaranya. Aku menyambar ranselku dan meninggalkan kantin. Berjalan melewati beberapa orang yang baru datang, teras kantin, koridor, dan menjauh meninggalkan tempat yang semakin ramai itu.

Sebenarnya aku tidak benar-benar mengabaikan perkataan Adit. Ini bukan pertama kalinya ia menyinggung masalah seperti ini dan sebagai seorang pria aku merasa harga diriku terluka.

Ya, meski tempatku menggantungkan hidup dan biaya Kuliah adalah kakakku sendiri, tapi tetap saja.

Sebagai salah seorang mahasiswa aktif di salah satu Universitas Negri yang ada di kota ini, jumlah absen ke tidak hadiranku seperempat dari total keseluruhan absen hadir secara resmi. Sebenarnya bisa lebih banyak lagi seandainya tidak ada seorang mata-mata di tempat ini.

Membolos bukanlah kebiasaanku. Hal ini juga bukan seutuhnya salahku. Sejak awal aku memang tidak berniat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Masalah ini murni keputusan kakakku. Keputusan pribadinya. Keputusan sebelah pihak. Padahal ini hidupku tapi dia yang memutuskan hal-hal penting seenaknya dan selalu saja memiliki cara untuk membuatku menurut. Seperti seekor kerbau yang ditusuk hidungnya.

Padahal jika aku bekerja biaya hidup bisa dibagi dua. Dia juga tidak perlu lagi terbebani dengan segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan kuliahku.

Mencari pekerjaan yang bagus memang tidak mudah. Paling tidak, jika aku memiliki banyak waktu kosong aku bisa bekerja penuh waktu. Dan jika masih ada waktu kosong, aku bisa bekerja tidak hanya di satu tempat.

Ketika yang lain baru datang dan sedang memburu waktu untuk masuk ke kelas, aku melawan arah menuju gerbang. Aku juga sedang memburu waktu, tidak ingin terlambat sampai di tempat kerja.

Kira-kira tersisa 10 langkah lagi sebelum kakiku bisa menginjak gerbang, tapi sebuah tangan kemudian mendadak menarik telingaku dari tempat yang tidak kusadari. Yang entah sudah berapa lama mengawasiku sebelum berhasil meringkusku.

Si mata-mata akhirnya bertindak juga.

"Sakit, sakit..." keluhku sembari memegangi telinga yang terasa panas.

"Bukannya sudah kubilang jangan bolos lagi. Kalaupun mau bolos jangan sampai tertangkap basah olehku."

"Iya, iya... Kakak ipar sakit tolong lepaskan," kataku sungguh-sungguh. Mengumpati kesialanku yang lagi-lagi karena tidak berhati-hati akhirnya tertangkap basah seperti ini. Seperti sebelum-sebelumnya.

"Sudah kubilang jangan panggil aku seperti itu," katanya sembari menghela napas dan melepas jewerannya. "Sekarang kembali ke kelas!" tambahnya memberi perintah.

Kini giliranku yang menghela napas.

Sebelum kembali ke kelas, aku harus menelepon lebih dulu. Membatalkan jam lembur yang seharusnya bisa kuambil alih, dan mencairkannya menjadi uang jajan di akhir bulan nanti.

Sifat waspada dan kehati-hatianku memang belum matang terasah. Aku menyia-nyiakan rezeki yang sudah ada di depan mata. Yang seharusnya bisa kudapatkan karena ketololanku sendiri.

Seperti yang Adit bilang, aku memang tidak perlu-perlu amat uang untuk saat ini. Tapi toh tidak ada manusia yang tidak membutuhkan uang. Aku harus memiliki simpanan sendiri untuk bisa terlepas dari bayang-bayang kakakku. Berhenti membebaninya.

Orang itu mengerikan. Jika aku tidak bisa mandiri dia pasti akan menguasai hidupku sepenuhnya. Merasa telah menanam saham atas semua hal yang telah dilakukannya padaku, yang katanya untuk kebaikanku, kemudian dia akan merasa berhak menentukan banyak hal untuk masa depanku. Yang seharusnya menjadi hak prerogatifku. Sepenuhnya.

Orang itu mengerikan seperti penyihir. Aku bisa tahu rencana penguasaannya atas diriku hanya dengan merasakannya.

Dan, jadilah aku terpaksa duduk manis dalam kelas. Mendengarkan cuap-cuap penjelasan dosen, dan mencatat tugas untuk pertemuan selanjutnya.

Aku berada dalam kelas sementara kakak iparku –ah, dia tidak suka panggilan itu, maksudku calon kakak ipar – dia menungguiku di luar kelas seolah aku bisa kabur kapan saja. Seolah dia seorang ibu yang menunggui anaknya yang baru masuk TK.

"Kenapa?" si jabrik bertanya. Tampaknya helaan napasku telah mengganggu konsentrasinya.

"Paling juga ke tangkap basah calon kakak ipar waktu mau bolos. Apa lagi," nyinyir Adit. Dia berbicara tanpa melihat ke arahku dan itu membuatku semakin kesal karena tidak bisa balas menatapnya dengan sinis.

Ck.

Orang di luar sana bernama Dimas. Seorang pria yang mungkin saja sudah dipelet oleh kakakku sehingga dia begitu tergila-gilanya dengan penyihir itu.

Dimas adalah seorang pria berusia 28 tahun, tinggi 183 cm, tubuhnya berisi tapi tidak gemuk, dengan potongan rambut pendek rapi. Selalu mengenakan setelan kemeja, celana formal atau sesekali celana khaki, dan sepatu pantofel mengkilap. Penampilannya yang selalu sama, mirip pria dewasa yang membosankan. Juga membuatnya terlihat lebih tua dari usianya. Memang pekerjaan sebagai seorang pendidik dan pergaulan dengan orang-orang yang lebih tua adalah pengaruh dominan bagaimana penampilan dan karakternya terbentuk.

Wah, caraku menilai sudah seperti orang tua bijak saja. Padahal aku tidak lebih dari seorang mahasiswa semester empat yang sangat suka membolos. Yang tidak sudi kebebasannya diambil alih oleh penyihir mengerikan seperti kakakku.

Aku pernah memberi saran pada Dimas untuk berpenampilan kasual ketika menemui kakakku. Mungkin dengan begitu kakakku bisa lebih peduli padanya. Beberapa kali ia praktikkan saran dariku. Dia terlihat berbeda, lebih cerah, segar, dan tetap berkarisma.

Terlihat sebagaimana usianya karena sejak awal Dimas memang bukan pria tua buruk rupa tanpa rasa percaya diri. Dari sudut pandangku hal itu mengubah citranya yang membosankan meski tidak menimbulkan kemajuan apa pun terkait hubungannya dengan kakakku.

Dari sudut ini, jelas kesalahan ada pada kakakku. Mungkin karena dia sudah terlalu lama menjomblo jadi tidak bisa membedakan kualitas dan kuantitas seorang pria. Atau yang paling parah kakakku sudah tidak lagi memiliki ketertarikan terhadap pria dan itu adalah bagian yang paling mengerikan. Itu berarti dia tidak akan segera menikah dan akan semakin lama menguasai hidupku.

Ini musibah besar untuk hidupku, kebebasanku.

Kakakku sebenarnya tidak sepenuhnya menarik seperti yang orang-orang lihat. Kalimat 'jangan menilai sesuatu dari sampulnya,' aku rasa sangat tepat. Dia memang cantik dari segi fisik. Kuakui itu. Tapi jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan jika belum mengenalnya.

Kakakku yang sebenarnya sama sekali tidak memiliki sisi feminin. Tidak juga terlihat manis.

Suatu pagi aku melihat Kakakku memanjat pohon mangga hingga ke ujungnya untuk memetik buahnya yang tidak banyak. Dia juga melakukan hal perkasa lainnya seperti mengangkat karung beras 10 kg, mengangkat dan menaikkan galon seorang diri, memperbaiki atap yang bocor, dan banyak lagi pekerjaan lain yang sangat tidak perempuan.

Eh, bukannya sebagai satu-satunya laki-laki di rumah tidak ada gunaku. Dia-nya saja yang tidak bisa sabar.

Terkadang aku berpikir mungkin saja kakakku adalah seorang laki-laki yang terkurung dalam tubuh perempuan. Mungkin saat baru lahir, jiwanya tertukar dengan jiwa seorang pria yang entah berasal dari dunia mana. Dengan berjalannya waktu dan kedua jiwa yang tertukar itu tidak juga kunjung menemukan jalan keluar untuk kembali ke tubuh masing-masing, akhirnya mereka mulai terbiasa.

Belum lagi sikapnya yang menjadi semakin menyebalkan saat datang bulan. Berubah menjadi nenek sihir tukang mengomel yang suka marah-marah. Sikap tubuh dan ekspresi tidak berdaya yang sering diperlihatkan hanya untuk menjerat lelaki polos seperti Dimas. Dengan kata lain, kakakku adalah seorang rubah betina yang licik.

Bukannya sebagai adik yang menumpang hidup aku tidak tahu diri. Bukannya juga aku menjelek-jelekkan kakak sendiri. Aku hanya mengingatkan bahwa wanita seperti itu ada. Nyata.

Orang tua? Tentu saja kami masih punya ayah.

Ayah telah menikah lagi dan saat aku SMP, aku dengan kesadaran penuh memilih keluar dari rumah untuk tinggal bersama kakak. Awalnya aku pikir bisa bebas melakukan segala yang aku suka, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Jauh lebih parah dibandingkan saat tinggal dengan ayah dan istrinya.

Ketika aku SMP ayah masih rutin mengirim uang pada kakak untuk sekolah dan biaya kami hidup. Ketika aku SMA tempo pengirimannya mulai semakin jarang.

Kakak sendiri melanjutkan sekolahnya dengan mengejar beasiswa dan bekerja paruh waktu. Pada tahap ini aku terkesan dengan daya juang hidupnya yang tinggi, cita-cita, serta prioritasnya terhadap pendidikan. Tapi aku bukan dia. Aku tidak pintar dan aku memiliki caraku sendiri untuk memperlakukan hidupku.

Sejak empat tahun lalu, ayah sudah tidak lagi pernah mengirimi kami uang. Aku tahu itu karena kakak sudah mendapatkan pekerjaan tetap sementara ayah masih harus menghidupi istri dan anak-anaknya yang lain dari gajinya yang tidak seberapa.

Tidak, aku tidak membencinya. Tanggung jawabnya sudah lebih dari apa yang bisa dilakukan sebagai orang tua. Sebagai manusia, ayah juga memiliki masa sulitnya sendiri. Aku mengerti.

Kembali pada Dimas. Dimas mengenal hampir semua dosen di kampus ini, dan dengan koneksi yang dimilikinya itulah dia selalu berhasil mengintaiku. Huh, dasar licik. Dia melakukan hal-hal seperti itu untuk menarik simpati kakakku. Lagian apa bagusnya Kakakku sih, di luar sana masih banyak kok wanita cantik yang benar-benar wanita.

Sebenarnya jika boleh jujur aku sungguh kagum dan segan dengan segala macam tingkah dan kepribadian Dimas. Ada bagian dari dirinya yang menunjukkan sikap bersahaja yang mengayomi.

Andai saja orang lain, jika bertingkah sok sebagai kakak ipar, suka melarang dan mengatur, pasti akan membuat orang dongkol. Dimas berbeda. Dia memiliki triknya sendiri. Cara mendekati seseorang, merangkul, dan mengakrabinya. Cara yang sangat ampuh untuk membuat seseorang tidak memandang niat baiknya dengan sebelah mata.

Dan... di sinilah kami selepas jam kuliahku usai. Di sebuah rumah makan sederhana namun terkenal dengan sajiannya yang beragam dan enak.

"Kakakmu bilang akan memberikan jawabannya hari ini." Dimas tiba-tiba bicara selagi aku menyeruput es tehku.

"Eh?" Aku terkejut dengan tema pembicaraan yang dia buka. Biasanya aku yang harus bersusah payah memancing perkembangan hubungannya dengan kakakku agar dia mau bercerita. Kali ini, tidak ada pancing-memancing dan Dimas dengan suka hati bercerita lebih dulu. "Jawaban apa?" tanyaku ingin penjelasan lebih lanjut.

"Beberapa hari yang lalu aku melamar kakakmu."

Sontak es teh yang baru terkumpul dalam mulutku memburu keluar. Aku tersedak, terbatuk-batuk, dan cairan yang sebelumnya berada dalam mulutku memuncrati wajah Dimas. Aku segera meminta maaf, menyelesaikan batukku, dan menyodorkan tisu padanya.

"Melamar?!" kataku masih dengan nada suara super terkejut.

Orang-orang memperhatikan kami. Sepertinya suaraku terlalu merdu. Beberapa orang terlihat terganggu dan sisanya masa bodoh, kembali dengan kesibukan masing-masing.

"Tanpa kemajuan apa pun dan berani melamar itu artinya harus bersiap tebal muka untuk ditolak. Itu artinya sudah tahu akan jatuh tapi tetap melompat juga." Kali ini aku berbicara dengan berbisik-bisik.

Dimas tidak menanggapi. Aku tahu Dimas lebih tahu apa yang dilakukannya tanpa perlu diingatkan. Baginya aku hanya seorang bocah ingusan tukang bolos, sementara dirinya pria dewasa dan bijaksana.

"Jadi?" Aku berbicara lagi setelah berhasil menenangkan diri dari berita mengejutkan ini.

"Kakakmu bilang akan memberi jawabannya hari ini. Tentang perasaannya dan tentang jawaban dari lamaranku." Dimas bercerita.

Aku hanya mangut-mangut. Menunggu kelanjutannya.

"Mungkin... aku hanya ingin membuat diriku sendiri yakin. Apa aku harus berhenti atau tetap bertahan mengejarnya. Ingin bukan menyerah begitu saja karena aku sudah cukup menunggunya dan mengerahkan usaha terakhirku dengan melamarnya. Aku menyerahkan semua keputusan pada kakakmu, dengan begitu aku bisa mulai merencanakan hidupku lagi. Memikirkan masa depanku sepenuhnya."

Aku tidak mampu berkata-kata. Kisah ini berubah menjadi melodrama dan apa pun yang akan aku katakan hanya terdengar sebagai kalimat dari bocah yang sok bijak.

Dimas benar, dia tidak mungkin menghentikan waktu lebih lama lagi hanya untuk mengejar kakakku, untuk menunggunya. Dunia berputar dan jika dia tidak ikut bergerak, dia akan tertinggal dan waktu-waktu yang telah terlewati tidak akan bisa kembali.

Menyia-nyiakan laki-laki setulus ini, aku yakin kakakku akan menyesal seumur hidupnya.

Kak Rindang yang bodoh.

_abcde_