Apa yang sebenarnya terjadi? Dewa bertanya-tanya. Berusaha mengurutkan ingatannya.
Bagaimana pun Dewa berusaha keras mengingatnya, bagaimana pun dia mencoba memaksa, tetap tidak ada gambaran yang didapat. Tidak ada jawaban. Tetap tidak mampu mengembalikan bagian yang terputus dari ingatannya.
Setelah menurunkan Rindang di jalan, hal terakhir yang diingat Dewa adalah suara Rindang yang berulang kali meneriakkan namanya. Setelahnya, tahu-tahu Dewa telah berada di rumah dengan pakaian yang basah karena kucuran keringat.
Dan, pagi ini sebuah kabar duka datang. Rindang, wanita yang sehari kemarin bersamanya, yang dia turunkan di jalan, tiba-tiba meninggal dunia.
Dewa menghela napas. Ia sedang merapikan penampilannya di depan cermin. Ia bersiap-siap untuk mendatangi rumah duka. Ketika pandangannya beralih, Kasturi telah berada di depan pintu kamar, menatapnya.
"Masih belum siap?" tanyanya.
Meski tidak mengatakan apa pun, Dewa tahu Kasturi sedang merasakan kecemasannya. Terkadang Kasturi bisa tahu banyak hal hanya dengan menatap mata Dewa.
Dewa mendekat, kemudian berjongkok di depan Kasturi untuk menyejajarinya, menatap matanya, menggenggam, dan mengecup tangannya. "Ayo, kita berangkat!" kata Dewa lembut. Kasturi tersenyum dan mengangguk.
Dewa sadar ia membutuhkan Kasturi sama banyaknya seperti Kasturi membutuhkannya. Hari-hari yang telah mereka lewati, kebersamaan mereka, hubungan mereka, semua lebih dari cukup sebagai alasan.
Orang lain tidak akan bisa mengerti apa yang paling dibutuhkannya. Sama seperti tidak mengertinya Rindang. Karena bagaimana pun yang mereka lihat hanyalah sudut pandang yang mereka inginkan. Bukan sudut pandang kebutuhannya.
Dewa tidak butuh orang lain untuk mengerti. Tidak juga ingin dimengerti.
Begitu sampai di rumah duka, Dewa membantu tuan rumah menyiapkan tenda untuk para pelayat yang akan datang. Juga membantu menyiapkan beberapa keperluan lainnya.
Seorang pria muda juga terlihat sibuk membantu. Penampilannya rapi, tapi matanya sembab dan terlihat letih. Pasti tidak tidur semalaman.
Dewa pernah bertemu pria itu beberapa kali ketika pria itu mengantar dan menjemput Rindang di tempat kerja. Mereka pernah bertegur sapa, tapi tidak pernah ada kesempatan untuk mengobrol banyak.
Keluarga Rindang hanya ada ayah, Alexi, ibu, dan dua adik tirinya. Keluarga yang lain seperti paman dan bibi tidak ada yang tinggal di kota yang sama. Kedua adik tirinya yang masih kelas 6 dan 4 SD, merapat di ketiak ibu mereka yang masih terisak. Ayah sedang dalam perjalanan bersama dengan jenazah Rindang.
"Aku mau keluar sebentar untuk mengurus lahan makam," Dewa berkata pada Kasturi yang sedang menemani ibu tiri Rindang.
"Hati-hati!" pesan Kasturi.
Dewa mengangguk dan berlalu.
Seseorang berseru ketika Dewa sampai di tempat mobilnya terparkir. Dimas.
"Mau mengurus lahan makam, 'kan?" tanya Dimas. "Saya ikut. Saya kenal petugasnya, siapa tahu bisa meminta bantuannya untuk memilihkan tempat yang bagus."
Dewa mengangguk, "Ayo!"
Setelah meninggalkan lapangan parkir, kendaraan melesat dengan kecepatan standar menuju tempat pemakaman umum di selatan kota.
Dimas menurunkan kaca mobil. Tatapan ia alihkan ke luar jendela. Diam-diam Dewa memperhatikan pria itu. Duka yang sangat dalam jelas menggelayutinya.
Bukan anggota keluarga tetapi mau ikut repot mengurus berbagai hal. Pernah mengatar-jemput Rindang beberapa kali. Jadi, tidak mungkin hanya teman biasa. Seorang pria dan wanita dewasa bersama, mereka pasti terlibat dalam hubungan romantis.
'Aku tidak akan memintamu meninggalkan dia atau menceraikannya. Aku tahu selama ini kamu tersiksa. Menderita seorang diri …' Kalimat Rindang kembali mengiang di telinga Dewa.
"Kalau Rindang sudah terlibat dalam suatu hubungan kenapa hari itu masih menggodaku?" Dewa membatin.
Dewa tahu tidak pantas baginya memikirkan apa yang terjadi malam itu di tengah duka semua orang, juga dukanya. Rindang adalah karyawan sekaligus teman yang baik. Jelas ia merasa sangat kehilangan sosok yang menyenangkan itu.
Meski begitu, benaknya tetap tidak mau berhenti bertanya-tanya.
Dewa mengembalikan pikirannya, ia akan memikirkannya lagi nanti. Untuk saat ini ia hanya perlu fokus pada pemakaman.
Ketika mengangkat pandangannya, Dimas berada dalam posisi sedang memperhatikan Dewa. Dewa cukup terkejut tapi ia mengabaikannya dan berpura-pura tidak tahu. Mungkin seperti dirinya, Dimas juga hanya sekadar ingin tahu orang seperti apa yang selama ini berinteraksi dengan Rindang. Terutama karena ia adalah bosnya.
Selama dalam perjalanan, tidak ada pembicaraan yang terdengar. Dimas kembali menatap keluar jendela, sibuk dengan pikiran dan dukanya. Dewa hanya fokus menyetir karena tempat tujuan mereka sudah masuk dalam jarak pandang.
Begitu sampai, mereka langsung menemui petugas TPU untuk secepatnya melakukan transaksi.
Dimas benar-benar mengenal petugas TPU sehingga ia yang mengambil alih sebagai pembicara.
"Siapa Mas yang meninggal?" tanya petugas yang bernama Pak Malik.
"Teman," jawab Dimas singkat. Senyumnya pias.
Satu kata dari Dimas telah menepis dugaan Dewa saat berada dalam mobil. Mungkin mereka hanya berteman. Mungkin juga Dimas berbohong. Dewa jelas merasa kalau hubungan mereka tidak sesederhana itu.
Setelah memeriksa lokasi, keduanya segera menuju tempat pembuatan nisan yang masih berada dalam kompleks yang sama dengan TPU.
Begitu semua urusan telah diselesaikan, keduanya bergegas kembali.
"Rindang sering sekali bercerita tentang Anda," Dimas akhirnya membuka pembicaraan.
"Rindang karyawan yang baik, juga teman mengobrol yang menyenangkan," Dewa menimpali.
Hening. Untuk beberapa saat keduanya terlibat dalam diam. Pada detik ini Dewa tidak berpikir kalau Dimas akan melanjutkan pembahasan mereka.
"Saya sudah melamar Rindang dan hari itu rencananya begitu Rindang pulang, dia akan memberi saya jawaban. Saya bahkan sampai menginap di rumahnya karena menunggu." Dimas bercerita ke arah yang berbeda namun masih menyangkut Rindang.
Dewa terkejut, jelas tidak menyangka. Satu lagi alasan yang membuatnya tidak mengerti alasan Rindang menggodanya. Tidak mengerti apa yang ada di kepala wanita itu. Dewa tidak menanggapi, hanya menunggu kelanjutan kalimat Dimas. Benaknya sedang sibuk membuat teori.
"Katanya Anda yang menurunkan Rindang di jalan."
Pembicaraan yang berubah-ubah membuat Dewa terkejut berulangkali. Terutama kalimat Dimas yang terakhir. Ada sebuah makna tersirat di dalamnya.
Dewa membalas tatapan Dimas sebelum menjawab, "Rindang bilang ada sesuatu yang harus dia urus," kata Dewa berdusta.
"Urusan? Apa?"
Mendadak Dewa merasa sedang diinterogasi. "Rindang enggak bilang. Saya juga enggak bertanya. Saya enggak pernah ingin mencampuri urusan pribadi karyawan saya."
"Tempat itu jauh dari rumahnya dan langit sudah mulai gelap." Nada bicara Dimas mulai terdengar tidak menyenangkan.
"Saya mempunyai istri yang sudah menunggu saya di rumah. Enggak ada waktu untuk mengkhawatirkan orang lain."
"Rindang adalah wanita sekaligus karyawan Anda, bukan orang lain! Lagi pula ini enggak ada hubungannya dengan status. Bukannya Anda memiliki tanggung jawab untuk memastikan keamanan karyawan yang seharian bekerja dengan Anda agar sampai di rumah dengan selamat!"
Dimas menyalahkannya. Jelas sekali. Kalimatnya seperti mengatakan, 'Seandainya kamu tidak menurunkan Rindang di jalan, Rindang pasti akan baik-baik saja.'
Benar. Terlalu ceroboh menurunkan Rindang di sembarangan tempat dengan kondisi yang saat itu sepi, tapi itu bukan salahnya.
Seandainya Dimas tahu apa yang coba Rindang lakukan padanya. Seandainya Dimas tahu bagaimana Rindang menggoda dan bersikap padanya. Seandainya tahu, masihkah Dimas membela Rindang dengan perlakuan yang sama?
"Istri saya adalah prioritas utama. Saya benci membuatnya menunggu!" ucap Dewa bersikeras.
Dewa masih berbicara berapi-api seperti sebelumnya. Begitu menyadari untuk kedua kalinya ia membawa-bawa nama Kasturi untuk menutupi kebohongannya, Dewa merasa dirinya begitu busuk.
Benar, Kasturi adalah prioritas utamanya, tapi situasi hari itu berbeda. Melibatkan Kasturi dalam kebohongannya tidaklah benar. Dewa tahu pasti, tapi kalimat telah terlanjur ia ucapkan.
"Maaf, saya enggak bermaksud menyalahkan. Hanya saja … rasanya … ini enggak benar-benar nyata." Dimas merendahkan nada bicaranya, penuh penyesalan. Ia memijat pelipisnya.
"Kita sama-sama sedang kacau karena kehilangan," Dewa juga merendahkan nada bicaranya, mencoba mengerti.
"Rasanya baru kemarin Rindang bicara penuh percaya diri, memamerkan semprotan cabainya untuk melindungi diri." Dewa berbicara seperti pada dirinya sendiri. "Seharusnya saya ada di sana untuk melindungi Rindang. Seharusnya ..." Suara Dimas berubah parau. Air mata benar-benar menitik di sudut matanya.
"Seandainya saya menurunkan Rindang di tempat yang lebih aman … Rindang enggak perlu pergi seperti ini."
Ucapan Dewa yang spontan membuat Dimas merasa seperti tersengat listrik. Ia sadar ada yang salah tapi berusaha membuat dirinya tenang. Ia tidak boleh terlalu cepat mengambil kesimpulan. Benar, karena semua orang sedang berduka karena kehilangan.
Dimas menggali jauh ke dasar paling sudut dari dirinya. Mencari ketenangan. Ia menemukan takhtanya di sana, di palung hatinya. Ia menarik napas dalam, berusaha merelakskan dirinya. Hanya beberapa saat, ia ingin bisa berpikir dengan tenang.
Begitu kembali ke rumah duka, jenazah telah selesai di shalatkan dan sedang bersiap untuk dikuburkan.
Dimas celingukan ke sana-kemari. Alexi tidak terlihat di mana pun. Seharusnya anak itu telah kembali dari rumah sakit bersama sang Ayah. Seharusnya sekarang ia bersiap-siap untuk mengantarkan Rindang menuju ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Dari arah tempatnya berdiri, Dimas bisa melihat ke arah jendela kamar yang sebelumnya adalah kamar Alexi. Di sana, meski samar, Dimas melihat ada seseorang yang mengintip di balik tirai.
Dengan kepergian Rindang yang teramat mendadak, Alexi jelas adalah orang yang paling banyak terluka. Mungkin melebihi siapa pun. Meski sering mengeluhkan sikap Rindang yang cerewet, yang terlalu suka mengatur, tetap, Alexi sangat menyayangi kakak perempuannya.
Setelah keluar dari rumah dan tinggal berdua dengan Rindang, setelah Ayahnya semakin jarang memberi uang saku, Alexi mulai merasa hanya kakaknya yang ia miliki di dunia ini. Mereka hanya berdua.
Begitu satu-satunya orang yang dimiliki pergi untuk selamanya, entah apa yang masih Alexi punya dalam dirinya.
Dimas mengetuk pintu kamar. Beberapa kali. Menunggu. Tidak ada sahutan. Mencoba lagi, tetap tidak ada sahutan. Dimas tidak lantas pergi. Ia menjadi semakin mengkhawatirkan Alexi.
Meski tanpa izin, Dimas membuka pintu kamar yang tidak terkunci dan masuk.
"Enggak ikut mengantar ke kuburan?" tanya Dimas ketika melihat Alexi hanya memojok di sudut kamar.
Suasana dalam kamar hening. Alexi duduk meringkuk, memeluk kaki dan membenamkan wajahnya.
"Aku sudah memintakan izin libur kuliah beberapa hari," kata Dimas lagi.
Tetap tidak ada tanggapan dari Alexi.
"Alexi, kamu jangan seperti ini. Ayah, Ibumu pasti cemas."
Masih tidak ada tanggapan.
Dimas menghela napas. Alexi sedang butuh sendiri, ia berusaha mengerti. Ia akan memberi waktu untuk anak itu berduka. Jika sudah waktunya, ia akan datang lagi dan berbicara. Kalau tidak berhasil, ia akan memaksanya untuk bangun dan menghadapi kenyataan.
"Bukannya orang itu yang menurunkan Kakak di jalan." Alexi bersuara sebelum Dimas keluar dari kamar.
"Itu yang polisi bilang," Dimas menimpali, mengamati Alexi sesaat. "Jangan berpikir macam-macam. Kalau enggak ikut mengantar, istirahat saja," tambah Dimas memberi ultimatum. Seolah menyadari apa yang Alexi pikirkan.
_abcde_