Cuaca sedang tidak bersahabat akhir-akhir ini. Siang tadi matahari bersinar terik dengan panas yang menyengat. Membakar setiap kulit-kulit telanjang anak manusia yang hilir-mudik melakukan kesibukan di luar ruangan, tapi ketika sore tiba, hujan deras mendadak turun.
Pun kemarin tidak jauh berbeda. Hujan tiba-tiba turun di siang hari sementara langit masih tampak cerah dan sama sekali tidak terlihat awan gelap di mana-mana. Orang-orang yang tidak bersiap dengan payung atau mantel dibuatnya basah kuyup. Berhambur kewalahan mencari tempat berteduh.
Langit sedang tidak bisa ditebak. Peramal cuaca sendiri tidak selalu tepat memberi perkiraan. Apakah hari ini awan dan langit sepakat sedang ingin memuntahkan air bahnya, atau terik yang membakar. Apakah hanya mendung berangin, atau cuaca hangat bersahabat. Apakah hujan singkat yang disertai terik atau hanya awan kelabu.
Tidak ada salju di negara tropis yang dilalui oleh garis khatulistiwa. Mungkin karena itu mayoritas orang-orangnya lebih terbiasa dengan hawa panas dibanding suhu dingin.
"Ini gara-gara Kakak enggak punya pasangan. Lagian ini tahun berapa, ulang tahun harus dirayakan. Kalau mau dirayakan seenggaknya orang lain enggak perlu ikut repot. Aku 'kan juga masih muda, perlu hari bebas, perlu liburan," omel Alexi sejak 30 menit lalu. Ia mengipas-ngipaskan kaosnya karena gerah.
Permasalahan yang melibatkannya memang tidak terlalu pelik. Tapi tetap saja Alexi membuang terlalu banyak tenaga hanya untuk mengutarakan pendapatnya.
Alexi adalah seorang pemuda berusia 20 tahun. Untuk segala hal yang menyangkut kebebasannya yang direngut paksa, ia memang selalu berbicara panjang lebar. Dan anehnya, ia hanya melakukan hal itu pada kakaknya. Meski ia membuang banyak tenaga untuk mengoceh tentang ini-itu, sebenarnya apa yang dilakukan adalah pilihannya sendiri.
Seperti hari ini, kakak perempuannya, Rindang, meminta Alexi langsung pulang ke rumah setelah jam kuliahnya selesai. Rindang ingin merayakan hari lahirnya yang ke-26 di rumah. Sebenarnya bisa saja bagi Rindang merayakannya di luar bersama teman-temannya, tapi ritual seperti itu sudah ia lakukan hampir 20 tahun dan ia ingin sesuatu yang baru. Adik laki-lakinya adalah bagian dari sesuatu yang baru, yang diinginkannya.
Sebenarnya bisa saja Alexi beralasan sedang sibuk, atau ada jam tambahan, atau mematikan ponselnya, tapi itu tidak ia lakukan. Alexi pulang ke rumah, mengomel, dan akan bertambah satu alasan lagi untuknya terobsesi dengan pikiran bahwa kakaknya benar-benar akan merengut kebebasannya suatu saat nanti.
"Main game Online seharian di warnet, apa itu yang kamu sebut liburan?" ujar Rindang. Ia bolak-balik dapur-ruang tamu dengan membawa piring-piring berisi makanan yang masih meniupkan uap-uap panasnya ke udara, bergulung, memenuhi ruangan itu dengan aroma yang menggugah selera makan.
"Setiap orang punya caranya sendiri menghabiskan hari libur," tandas Alexi tidak ingin dikritik. Matanya mengikuti kakaknya yang mondar-mandir di depannya berulang kali. "Terus ini, kenapa Kakak masak banyak sekali padahal cuma dua orang yang makan?" tambahnya masih mengomel. Kali ini ia menemukan hal lain yang menurutnya perlu ia komentari. Yang membuatnya semakin tidak ingin berhenti bicara.
"Namanya juga perayaan. Kalau cuma satu, dua menu mana ada istimewanya," balas Rindang.
Kontrakan yang ditempati adik-kakak, Alexi-Rindang, memiliki dua kamar, ruang tamu, dapur, dan kamar mandi. Sebenarnya merupakan bangunan sederhana dengan segala sesuatunya yang super biasa. Perlahan, dengan gaji serta uang saku yang selalu dikumpulkan selama lebih dari 6 tahun, Rindang terus mempermak tempatnya tinggal. Membuatnya lebih nyaman dan terlihat indah.
Rindang memiliki selera yang baik dalam banyak hal. Termasuk desain ruangan. Dengan kesabaran dan kerja keras, ia yakin bisa memiliki segala hal yang diinginkannya. Termasuk menyulap kontrakan sederhana yang super biasa hingga terlihat elegan seperti yang diinginkannya sejak awal.
Rindang bukan tipe yang merima begitu saja sesuatu yang tidak sesuai seleranya. Jika ia tidak bisa menemukan sesuatu seperti yang diinginkannya, ia akan menciptakannya. Toh, ia memiliki banyak kesabaran untuk itu. Prinsipnya adalah tidak ada yang mustahil dengan kerja keras.
Perabotan yang ada di ruang tamu tidak banyak dan Rindang memang tidak suka menumpuk barang yang tidak terlalu dibutuhkan. Satu sofa panjang berwarna krim dengan tembok di belakangnya ditempel kertas dinding bermotif bata merah. Hanya bagian tengah dinding seukuran 1×1 meter.
Meja panjang kecil yang kini telah dipenuhi makanan berdiri pongah di atas hamparan karpet yang terlihat mahal. Karpet dengan bulu lembut berwarna merah yang Rindang dapatkan dengan harga terbaik disalah satu forum jual-beli Online dua tahun lalu. Televisi yang dipajang di atas rak adalah perabot wajib lain yang harus ada dalam rumah.
Untuk terakhir kalinya Rindang kembali ke dapur. Mengambil kue tar dalam kulkas yang telah dipesannya, memasang lilin yang melambangkan usianya, dan meletakkannya di antara jajaran berbagai jenis makanan.
"Hmm..." Rindang mengamati semua yang ada di atas meja dan berpikir, "Masih ada yang kurang," katanya kemudian menadahkan tangan ke adiknya.
Alexi tidak langsung menanggapi meski ia mengerti apa maksudnya.
"Bukannya seharusnya ada kado di sini," Rindang menunjuk telapaknya dengan jari tangan lainnya.
"Ck, nih!" Alexi melemparkan sebuah kotak yang diberi pita merah pada kakaknya. Meski setiap tahun memang rutin mendapat kado dari adiknya, Rindang tetap merasa girang. Ini adalah salah satu ritual lain yang ia tidak ingin ia ubah.
"Jam tangan lagi?" Rindang mengerutkan keningnya hingga kedua alisnya bertemu.
"Kalau enggak mau biar kuambil lagi." Alexi bersiap merebut kotak di tangan Rindang namun dengan sigap Rindang bisa menghindari gerakan tangan adiknya.
"Ya, tapi lumayanlah buat disimpan dalam lemari." Rindang mengangkat kedua bahunya bersamaan. "Oke, waktunya..."
Kalimat Rindang terputus oleh suara ketukan pintu depan. Rindang dan Alexi saling pandang. Alexi menggeleng, Rindang mengangkat bahunya. Keduanya merasa tidak sedang menunggu atau telah mengundang orang lain.
Suara ketukan pintu terdengar sekali lagi. Rindang memberi instruksi dengan kepalanya pada Alexi. Bukannya bangkit dari duduknya, Alexi justru merebahkan dirinya dengan malas di atas sofa.
"Ck." Rindang berdecak.
Pintu diketuk lagi. Ketika Rindang mengintip melalui celah di jendela, seseorang yang dikenalnya berdiri di depan pintu. Meski kedatangannya memang sedang tidak ditunggu, pria itu kini berdiri di sana.
Seorang pria berpenampilan dewasa. Mengenakan kemeja merah bata dengan celana khaki gelap dan sepatu pantofel mengkilap. Rambutnya yang pendek disisir belah samping rapi. Senyumnya kaku tapi caranya berbicara menyenangkan. Samar-samar ada aroma parfum yang tidak terlalu kuat tercium. Pergelangan tangan kirinya melingkar jam tangan bermerek. Tangan kanannya menyodorkan kotak yang dibungkus plastik putih transparan ketika pintu dibuka.
"Kenapa bisa datang begitu tepat waktu?" Dengan kalimat itu, Rindang menyambut kedatangan Dimas. Pria yang selama berbulan-bulan ini tengah berusaha mengambil hatinya.
Dimas menjulurkan kepalanya ke dalam ruangan dan melihat meja kecil di depan televisi penuh dengan makanan dan Alexi yang ber-say 'hai,' dari tempatnya duduk. "Wah!" serunya. Dalam hati ia berbangga diri dengan pemilihan waktu kedatangannya. Seperti yang Rindang sebutkan, 'begitu tepat waktu.'
"Ayo, masuk!" Rindang mempersilahkan. Ia menerima bawaan Dimas yang disodorkan padanya. "Bukannya sudah kubilang enggak perlu datang lagi."
"Namanya juga usaha." Dimas menanggapi enteng keterusterangan Rindang mengenai perasannya.
Rindang berjalan lebih dulu dan Dimas menyusul setelah menutup pintu.
Alexi, Rindang, dan Dimas berkumpul bersama di ruang tamu. Mereka duduk lesehan, mengelilingi meja kecil yang terlalu penuh sehingga tidak menyisakan sedikitnya tempat untuk meletakkan minuman.
"Kedatangan yang tepat waktu," kata Alexi menyapa. "Lihat, kita punya terlalu banyak makanan untuk hanya dihabiskan oleh dua orang."
"Namanya juga perayaan, kalau enggak ada banyak makanan, enggak afdal," Dimas menanggapi.
"Tuh dengar, seperti yang kubilang, 'kan?" Rindang sibuk membuka bawaan Dimas yang menurut tebakannya adalah kue. "Kenapa kuenya bisa sama persis?" tambahnya setelah dibuka.
Rindang bergantian memerhatikan kue yang berada di tengah-tengah meja dan yang saat ini ada di tangannya, kemudian melirik ke arah Dimas. Dimas mengangkat kedua bahunya bersamaan.
"Mau kita apakan salah satunya?" Alexi bertanya.
Black forest yang beberapa menit lalu baru Rindang keluarkan dari lemari pendingin benar-benar sama persis seperti yang Dimas bawakan. Bentuknya yang bulat, tebalnya, olesan whippy cream yang memenuhi seluruh permukaan kue, hiasan coklat batangan dibagian pinggir, serutan coklatnya, sampai pada jumlah Cherry yang disusun melingkar.
"Alexi, ambilkan pisau sama piring kecil!" titah Rindang.
Alexi menghela napas. "Ingat, wanita yang suka memerintah itu suatu saat akan memonopoli hidupmu!" Alexi berkata kepada Dimas sebelum ia beranjak dengan malas dari tempatnya duduk. Dimas tertawa kecil.
Rindang memotong salah satu kue menjadi enam bagian, diletakan di masing-masing piring kecil yang Alexi bawakan, dan siap dibagikan ke para tetangga.
Begitu kue selesai dibagikan, perayaan bertambahnya usia Rindang dimulai. Selain makan-makan dan meniup lilin, mengambil banyak foto untuk mengabadikan momen penting merupakan ritual-ritual yang juga tidak ingin diubahnya.
Bersama dengan Alexi dan Dimas, Rindang mengungkapkan rasa syukur karena telah dilahirkan ke dunia ini. Bertemu dengan banyak orang, belajar banyak hal, dan merasakan berbagai pengalaman. Dari ke semuanya itu memang tidak selalu menyenangkan, tapi seperti itulah hidup. Ia sangat bersyukur karenanya dan berharap bisa hidup hingga usia ke-100 tahun.
"Alexi, giliranmu cuci piring!" teriak Rindang ketika mengangkuti piring-piring kotor ke dapur.
"Ck, baru juga mau duduk." Alexi mengomel dengan suara yang hanya dia saja yang bisa mendengarnya. Bokong yang nyaris saja menyentuh sofa diangkat kembali dan berjalan ogah-ogahan menuju dapur.
Bagi Dimas, hubungan kakak beradik antara Rindang dan Alexi sangat unik. Dimas adalah anak tunggal, tidak tahu bagaimana rasanya memiliki saudara sedarah dan satu rumah. Hal sesederhana itu terkadang membuatnya merasa iri. Alexi sendiri tidak tahu bagian mana dari hubungannya dengan sang kakak yang bisa membuat orang lain iri.
Dimas mengganti saluran gosip yang ditayangkan di televisi dengan siaran berita siang.
Forum diskusi yang sedang dibuka dalam siaran yang berlangsung secara Live, membahas mengenai pembunuhan yang telah terjadi lima bulan lalu. Yang menewaskan seorang wanita berusia 25 tahun. Pembahasan yang diajukan lebih mengarah pada kritik yang ditujukan kepada pihak penyelidik lantaran kasus sama sekali tidak memperlihatkan perkembangan.
"Adit bilang, kata ayahnya..."
"Yang pakai kacamata itu, ya?" Rindang menyela ucapan adiknya, "Ayahnya polisi?"
"Kata ayahnya, cara membunuh yang enggak wajar, motif yang enggak jelas, memberi kesan kalau pelakunya seorang psikopat." Alexi mengabaikan interupsi kakaknya dengan tetap melanjutkan kalimatnya yang sempat terputus. Suara piring yang berdenting dan air keran yang mengalir, tidak mampu meredam suara Alexi yang setengah berteriak. "Jadi selama pembunuhnya belum tertangkap, Kakak harus berhati-hati!"
"Iya." Rindang menyahut seadanya, seolah yang sedang dinasihati adalah orang lain.
"Alexi benar." Dimas menimpali. "Kita enggak akan pernah tahu kapan hal-hal seperti itu menimpa kita. Meski enggak diinginkan, enggak ada salahnya untuk waspada dan..."
Belum sempat Dimas menyelesaikan wejangannya, Rindang melemparkan sesuatu ke arahnya. Parfum. Lebih tepatnya botol parfum ukuran 25ml berisi racikan air cabai dan merica.
"Kalian pikir aku siapa? Cewek yang cuma punya modal muka cantik? Aku sudah punya senjata pemusnah masal sendiri," seloroh Rindang. "Sudah kubilang, 'kan aku mau hidup sampai umur ke-100 tahun."
_abcde_