Aku berada dalam istanaku. Rumah yang awalnya didesain bergaya modern, yang kemudian dirombak besar-besaran. Meja dapur dan rak elegan menjadi berukuran terlalu rendah. Bumbu dan segala peralatan diletakkan menumpuk di lemari bawah. Tangga dan ramp menuju lantai dua dibuat berdampingan dan semua hal disesuaikan dalam jarak jangkau rendah.
Rumah impian yang dibangun dengan keringat dan lelah berubah menjadi rumah khusus untuk orang cacat.
Dalam istanaku, aku menunggu dengan gelisah, cemas, perasaan tidak tenang, dan demi semua kata-kata yang bermakna sama yang bisa menggambarkan bagaimana kacaunya perasaanku saat ini.
Suara jam dinding yang ada di setiap ruangan terus mengejarku, mengimpit, dan membuatku sulit bernapas. Suara tik-tiknya tidak mau berhenti barang sebentar saja. Suara-suara yang terus menekanku, membuatku semakin ingin meledak dan mengamuk. Gelap mulai turun di luar sana. Bulan muncul dengan pongah, dan semakin aku menunggu, semakin aku merasa sakit.
Tidak, aku tidak mengeluarkan darah tapi rasanya tetap saja menyakitkan. Dengan semua perasaan ini, tidak ada yang bisa kulakukan selain menunggu.
Ruang tamu tempatku berada terasa seperti tanpa kehidupan meski aku berada di antaranya. Satu set sofa merah yang kayunya berasal dari pohon jati, kosong, tapi seperti ada mata-mata tersembunyi yang memerhatikanku lekat. Atap yang tidak terlalu tinggi seperti bersiap menindihku. Dinding putihnya yang kokoh seperti menunggu waktu yang tepat untuk mengimpitku. Lukisan burung merak yang merupakan pajangan satu-satunya di dinding seperti menyeringai sinis ke arahku, merendahkan.
Ini gila! Semua kehampaan ini merupakan teror yang akan membuatku kehilangan akal sehat.
Ponsel yang sebelumnya kulempar ke atas sofa kembali kuambil untuk sekali lagi membuat panggilan. Tidak, masih tetap tidak dijawab. Aku memekik kesal, mengutuk udara kosong yang ada di sekelilingku.
Sedang apa dia, di mana dia, apa yang dilakukannya saat ini. Semua pertanyaan itu membuatku frustrasi karena tidak satu pun yang kutahu jawabnya.
"Kasturi adalah jenis wewangian yang berasal dari tumbuhan dan hewan. Dikatakan bahwa Kasturi adalah wewangian dengan aroma terbaik dan terpopuler di dunia. Selain digunakan sebagai bahan dasar pewangi, di beberapa negara khususnya China, Kasturi juga digunakan sebagai bahan pengobatan tradisional. Mereka meyakini manfaat dan khasiatnya yang besar."
Aku sangat mengingat apa yang Dewa jelaskan mengenai nama belakangku. Mengenai nama-nama hewan yang menghasilkan Kasturi, dan tanaman apa saja. Aku tersentuh oleh kalimat-kalimat dan caranya menjelaskan.
Jika orang lain menggunakan kalimat-kalimat manis nan romantis yang mampu membuat merinding bulu romaku untuk merayu, Dewa menggunakan pengetahuan yang dia punya. Dia berbeda. Dia pria yang baik dan aku mencintainya. Dewa pun sama. Dia mencintaiku.
Tidak! Dia pasti mencintaiku. Aku yakin dia mencintaiku. Jadi apa yang membuatnya melupakanku. Tidak memberi kabar padaku. Pada istrinya. Kasturinya.
"Ke mana Dewa-ku..." Aku akhirnya terisak dalam kosongnya istana yang seharusnya menjadi tempat kebahagiaanku berlabuh.
Kami sudah sangat lama saling mengenal. Lama, jauh sebelum masuk usia dewasa. Saling mengerti dan membutuhkan. Mengikrarkan janji untuk setia. Aku mengenalnya, tahu dengan jelas bagaimana kepribadiannya, caranya menangis, aromanya, jumlah tahi lalat di tubuhnya, makanan yang disukai dan dibencinya, kebiasaan buruknya, juga luka yang ada di punggungnya. Aku tahu semuanya. Meski aku juga tahu dia mencintaiku dan aku mencintainya, aku tetap tidak memberikan kepercayaan secara utuh padanya.
Dari wajah aku tahu, aku unggul dari banyak wanita lain. Aku bukan si buruk rupa tapi selain itu, selain wajahku, aku tidak memiliki apa pun.
Jika dulu aku masih memiliki kepercayaan bahwa cinta kami sama besarnya dengan rasa saling memiliki. Dulu, saat aku masih sama dengan wanita-wanita lainnya. Saat aku memiliki apa yang wanita-wanita lain di luar sana juga miliki. Aku bisa menemani suamiku ke mana pun dan berapa lama pun. Menjadi yang dibanggakan di depan teman-temannya. Memberinya segala hal yang dibutuhkan.
Sekarang, aku hanya wanita yang menyedihkan, pesakitan, dan hidup hanya untuk mati. Aku kehilangan kakiku. Satu-satunya hal yang bisa membuatku berdiri sejajar dengannya. Aku tidak bisa menemaninya berjalan-jalan atau selalu ada di sisinya. Aku tersingkir dan kalah oleh jutaan wanita di luar sana yang lebih sempurna. Yang memiliki kaki-kaki jenjang dan selalu bisa diandalkan.
Dibanding aku, wanita cacat yang akan menghabiskan sisa hidupnya di atas kursi roda, tidak memiliki apa pun, berwajah pucat, dan tanpa kepercayaan diri, wanita-wanita di luar sana jauh lebih menarik. Lebih bisa memenuhi keinginan lahir dan batin Dewa. Dengan begitu aku tidak akan lagi memiliki arti yang sama di mata Dewa-ku. Cinta yang kami agung-agungkan setelah sekian lama, sumpah setia pernikahan, semuanya tidak lebih dari sekadar fosil lapuk yang hanya menunggu leburnya.
Jika suamiku saja tidak lagi menginginkanku, bagaimana dunia akan menerimaku. Bagaimana aku bisa hidup jika tak ada yang mengharapkan kehadiranku.
Akulah wanita yang dikutuk dengan kesialan tiada berkesudahan. Wanita berwajah pucat, dengan kantung serta garis mata hitam. Bertubuh terlalu kurus bagai tengkorak hidup. Berambut kusut dan mudah rontok. Berkulit kusam. Semua orang akan menganggapku parasit; memandangku dengan congkak, menatap sedih tapi tidak benar-benar prihatin, mereka menjaga jarak seolah takut tertular nasib burukku, sesekali menjadikanku bahan tertawaan, di hari lain melihat jijik karena keberadaanku hanya beban.
Aku yang sebelumnya ceria, penuh percaya diri, dan memesona kini begitu menyedihkan.
Aku menghitung seluruh waktu yang kuhabiskan untuk menunggunya setiap malam. Setiap Dewa keluar untuk meninggalkan rumah. Aku selalu merasa cemas jika Dewa terlambat pulang, jika tidak menghubungiku, atau ketika pergi di suatu pagi secara tiba-tiba. Aku membutuhkannya melebihi semua obat-obatan yang selalu rutin dia bawakan jika persediaan di rumah habis. Aku bukan tidak mempunyai kepercayaan lagi untuknya, yang tidak aku punya adalah rasa percaya diri untuk memercayainya. Dan itu adalah hal yang paling aku benci dari diriku saat ini.
Aku... tidak ingin kehilangan lagi milikku satu-satunya.
Waktu nyaris menunjukkan pukul sembilan malam ketika aku mendengar denting besi yang berasal dari halaman, suara pagar digeser, dan langkah kaki mendekat perlahan. Ini sudah lebih dari dua jam sejak terakhir kali Dewa mengatakan dipanggilannya bahwa dia telah masuk wilayah kota dan akan segera tiba di rumah.
Tunggu! Suara denting besi, pagar digeser, dan langkah kaki? Di mana mobilnya?
Sebelum seorang pria muncul di ambang pintu, bayangannya yang besar lebih dulu terlihat. Bayangan yang gelap, yang menggambarkan seluruh lekuk tubuhnya.
"Aku, pulang!"
Pria itu benar Dewa meski penampilannya berantakan. Kemejanya tidak dimasukkan seluruhnya, kening, leher, dan tubuhnya dipenuhi keringat. Meski rambut hitamnya yang senantiasa disisir rapi, berantakan dan lelah terlihat jelas dari pancaran wajahnya, pria itu masih tetap Dewa. Dewa yang telah kutunggu-tunggu dengan cemas selama hampir tiga jam.
"Apa yang terjadi?" Aku bertanya dingin. "Dewa!"
"Ah!"
Untuk sesaat Dewa bertingkah seperti orang ling-lung. Dia celingukan ke sana-kemari, memerhatikan penampilannya, dan berdiri dalam diam untuk mengingat-ingat. Setelah memahami situasinya, Dewa menatapku dengan seluruh kelegaan yang masih dia punya dan mengatakan, aku pulang, untuk kedua kalinya dengan nada bicara yang menunjukkan keletihan yang sangat.
Dewa akan mengecup keningku tapi aku menggerakkan kursi rodaku menjauh. Menjaga jarak darinya. Dia masih berutang penjelasan padaku.
Ada yang tidak beres!
Aku menatap Dewa menyelidik. Aku sangat mengenal Dewa seperti yang kukatakan sebelumnya dan selayaknya aku meyakini itu. Dewa tidak akan bertingkah seperti ini jika tidak ada yang terjadi.
Ada situasi di mana Dewa akan mengalami hal yang dokter katakan dengan istilah disosiasi[1]. Bagi Dewa pemicunya adalah kesadarannya yang hilang karena pengaruh alkohol berlebih. Tapi tidak ada aroma alkohol di tubuhnya. Jika bukan alkohol berarti... obat?
Setelah Dewa kehilangan kesadaran karena pengaruh alkohol atau obat, Dewa akan melupakan segala hal yang dilakukan, didengar, atau dilihatnya. Ia akan tampak seperti orang yang tidur sembari berjalan. Baru sepenuhnya sadar setelah ada seseorang yang membangunkannya. Menepuk atau menyebut namanya. Di situasi tertentu dapat sadar dengan sendirinya.
Jadi, apa yang telah terjadi? Apa hal yang mungkin telah Dewa lakukan di luar sana selama lebih dari dua jam?
"Apa yang terjadi?" tanyaku untuk yang kedua kalinya. "Apa yang sudah kamu lakukan di luar sana?!" tandasku geram.
Memikirkan semua kemungkinan yang telah Dewa lakukan di luar sana dan dengan siapa, membuatku semakin takut sekaligus marah.
Wanita itu, Rindang, tidak mungkin aku tidak tahu bagaimana cara dia memandang Dewa. Dia menginginkan Dewa, dan ingin merebutnya dariku seperti yang wanita lain di luar sana inginkan. Sebagai seorang pria tidak mungkin Dewa tidak tergoda.
Rindang adalah wanita tidak tahu diri. Aku membencinya dan bersumpah tidak akan berduka untuknya sedikit pun jika sebuah musibah menimpanya. Atau dia menggelandang karena tidak memiliki pekerjaan. Atau jika seseorang tiba-tiba menyiramkan air keras ke wajahnya. Tidak akan pernah!
Aku mengenal wanita itu cukup lama sehingga aku memercayainya. Rindang adalah adik kelasku di SMA. Bertemu di perguruan tinggi yang sama membuat kami semakin dekat dan akrab. Begitu hari wisuda usai, kami putus kontak dan bertemu lagi setahun kemudian setelah aku menikah. Hari itu kemudian menjadi hari yang paling kusesali sepanjang hidupku. Mempertemukan temanku, Rindang dengan suamiku, Dewa.
Ada 495.143 orang lulusan sarjana yang harus diberi pekerjaan dan biasanya semakin meningkat jumlahnya setiap tahun. Rindang datang padaku dengan niat menginginkan pekerjaan, dan setelah sekian lama aku baru sadar bahwa wanita itu juga menginginkan suamiku.
Rindang bahkan pernah mendapat tawaran pekerjaan yang lebih baik namun menolaknya dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal. Akhir-akhir ini aku juga mendengar bahwa Rindang telah menjalin hubungan dengan seorang pria yang mapan, tapi kenapa wanita itu tetap saja tidak mau berhenti. Selalu menatap suamiku seperti dahaga seorang musafir yang merindukan oasis. Berniat menusukku dari belakang dengan belati bergeligi.
"Apa yang terjadi? Dengan wanita mana kamu lakukan?" Aku berusaha keras menahan emosiku.
Dewa mengerutkan keningnya. "Sayang, enggak ada wanita lain. Enggak ada hal yang enggak perlu terjadi..." Ia menghela napas "Ini... hanya ulah pegawaiku yang iseng. Dia tahu aku kelelahan dan ingin beristirahat beberapa saat di mobil jadi mencampurkan sesuatu ke dalam minumanku," jelasnya.
Kata yang terputus-putus untuk sesaat, pancaran mata yang meragu, aku tahu dia bohong. Dewa menyembunyikan sesuatu dariku. Dia pasti melakukannya dengan wanita lain.
"Pegawai? Siapa? Amran? Roki? Siapa? Apa Rindang?"
"Sayang..." kalimat Dewa memelas "Toh, tidak ada hal yang tidak-tidak yang terjadi."
"Bagaimana kamu tahu? Dari mana aku yakin?!" desakku.
Aku tahu Dewa kelelahan, aku tahu seharusnya aku biarkan dia istirahat, tapi setiap mendengar jawaban tidak masuk akal yang dilontarkannya, aku bertambah marah, marah, dan semakin marah.
"Memikirkannya saja membuatku gila. Bagaimana bisa suamiku melakukan hal itu di luar sana sementara istrinya di rumah nyaris mati," kataku lagi sembari terisak.
"Jangan bicara seperti itu, kumohon!"
Dewa membungkuk kemudian berdiri dengan lututnya menyejajariku. Dia menggenggam tanganku dan mengelusnya lembut. Tapan matanya meminta untuk dipahami, untuk dipercaya. Tapi bagaimana bisa kulakukan kalau dia tidak mengatakan yang sebenarnya. Bagaimana aku bisa percaya dia mencintaiku hanya dengan dia berada di sisiku saat ini.
Bagaimana nanti? Bagaimana aku bisa percaya tidak akan ditinggalkan?
Mati dan berpisah adalah dua kata yang sangat Dewa benci saat mendengarnya tapi menjadi dua kata yang paling sering kuucapkan ketika marah. Aku tahu aku egois, aku tahu aku bodoh, tapi hanya itu satu-satunya yang kumiliki agar Dewa tidak meninggalkanku. Agar kami bisa selalu bersama.
"Kamu yakin enggak ada yang terjadi, iya 'kan?" Aku bertanya lagi memastikan. Kini dengan nada lembut penuh harap.
Dewa mengambil jeda sebelum menjawab. Dia memandangku lekat, tapi bukan itu yang aku butuhkan. Aku butuh jawaban. Setiap detik yang kuhabiskan untuk menunggu jawabannya membuat dadaku sesak, membuat setiap syarafku berdenyut perih.
"Enggak ada yang terjadi!" jawabnya yakin.
Air mataku tumpah. "Bohong!" pekikku berang. Aku mendorong Dewa dan menggerakkan kursi rodaku menjauh darinya. "Kamu pasti pergi mencari wanita lain. Kamu bisa melakukan itu sementara aku hanya akan terpuruk dengan keadaanku yang seperti ini. Pada akhirnya kamu juga akan meninggalkanku. Kamu akan pergi seperti yang semua orang lakukan. Seperti bagaimana orang tuaku membuangku. Seperti semua orang yang enggak menginginkanku!"
"Enggak, enggak. Aku enggak akan melakukan itu, sayang. Aku enggak akan pergi, enggak akan meninggalkanmu. Aku bersumpah! Enggak ada wanita lain. Selamanya." Dewa meraihku, membenamkanku ke dalam dekapannya.
Aku mengamuk, meronta, meski seperti itu Dewa tidak melepaskanku. Dielusnya rambutku lembut dan tubuhku yang semakin merapat pada tubuhnya. Perlahan dan pasti, kehangatannya mampu membuatku tenang. Selalu seperti itu, menenangkan bak candu.
Dalam dekapannya aku hanya mampu menangis, terisak, tanpa daya. "Jangan tinggalkan aku," kataku memohon.
_abcde_
[1] disosiasi : Sebagian otak yang tidak terhubung dengan bagian lainnya (Aku Berkepribadian Ganda oleh Cameron West, Ph.D)
Pengertian lain:
Disosiasi adalah salah satu dari beragam pengalaman, mulai dari pelepasan emosional ringan dari lingkungan terdekat, hingga pemutusan hubungan yang lebih parah dari pengalaman fisik dan emosional (Wikipedia)