Pulang kampus sore itu nggak asik. Badan capek dan masih harus bikin tugas.
Ini udah seminggu sejak aku bertemu sama Angga. Dia nggak pernah hubungin aku lagi meski aku yakin dia tahu nomor ponselku. Dia juga nggak pernah datang ke kos lagi. Rasanya aku jadi perempuan murahan yang menanti datangnya seorang cowo asing ke kamarku. Ugh, malu-maluin banget!
Semua keluh kesahku pudar karena aku mendapati sosok tinggi menjulang yang menunggu di depan pintu kamarku. Siapa lagi cowo yang keliatan punggungnya aja udah ganteng, kalau bukan Angga.
Ada rasa bahagia tersendiri yang langsung menyergap. Aku pikir dia akan melupakanku gitu aja, nyatanya nggak.
"Kamu disini?"
Angga menganggukkan kepala dan menyodorkan dua tas kertas kearahku. Aku menerimanya dan segera membuka. Itu beberapa baju cowo dan juga satu tas yang berisi makanan.
"Maksudnya?"
"Let me in." suara Angga terdengar menggetarkan hati banget.
God, bisa nggak sih begoku dikurangin dikit aja? Masa tamu ganteng ini malah aku anggurin gitu aja di depan pintu kamar kos coba?
"Maaf, kamarku berantakan." kataku, ketika kami masuk kamar dan mendapati kamarku yang berantakan banget.
Sumpah, sarang burung aja lebih baik daripada kamarku.
Angga nggak berkomentar. Dia cuma mungutin buku yang berserakan di lantai. Membantuku membereskan kamar. Hanya dalam waktu 10 menit, kamar udah rapi. Intinya layak aja gitu buat nerima tamu.
Sebagai tuan rumah yang baik, tentu aja aku kasih dia cemilan. Juga makanan yang tadi dibawa sama Angga. Isinya mie kuah sama capcay. Wah, berkah banget nih. Kebetulan aku juga lagi mager banget buat nyari makan malam.
Kami makan dalam diam. Bingung juga sih mau ngobrol apa sama Angga. Selain karena nggak tahu gimana keseharian dia, aku juga takut nggak nyambung aja gitu. Belum lagi Angga yang nggak bisa ngomong bahasa Indonesia. Kalo nggak paham sama apa yang dia omongin kan malu banget.
Selesai makan, dia keluarin laptop dia dan segera sibuk dengan benda itu.
Dulu, aku nggak percaya kalo cowo yang lagi fokus kerja tuh gantengnya jadi berlipat. Soalnya cowo yang aku tahu bekerja itu cuma Bapak. Beneran, Bapak tetep aja Bapak pas kerja di toko. Tapi sekarang, Angga terlihat beda.
Aura gantengnya itu semakin muncul. Menyilaukan mata banget.
Kayanya aku ganggu dia kerja, karena dia langsung menatapku. Wajahnya sih biasa aja, tapi karena dia itu nggak ada ekspresi, jadinya keliatan kalo Angga marah.
"Maaf kalo aku ganggu."
Akhirnya aku memutuskan untuk pindah tempat duduk. Mending duduk di meja belajar dan fokus ngerjain tugas biar keliatan pinternya. Pada akhirnya kami memang sibuk dengan urusan masing-masing.
Nggak berasa banget udah jam 10 malam. Apa karena aku saking fokusnya ngerjain tugas ya? Jadi waktu nggak berasa aja. Angga juga kayanya udahan kerjanya, karena dia nutup laptopnya. Eh nggak jadi, karena dia langsung beralih ke tabletnya.
Agak penasaran juga kenapa dia fokus banget sama tabletnya. Apa jangan-jangan dia nonton bokep?
Ah, udah lah, mending tidur aja ketimbang penasaran. Tidur malem-malem tuh nggak bagus. Bikin kulit jadi rusak.
Aku yakin banget udah tidur pas ngerasa ada sesuatu dibelakangku bergerak. Buka mata dikit, ternyata itu Angga yang tidur dibelakangku. Dia juga peluk aku dari belakang. Kayanya dia kesempitan banget di kasur ini, jadinya dia ndusel gini.
Eh tunggu. Angga?
Fokusku untuk tidur langsung buyar. Mataku melek selebar mungkin dan berbalik.
"Why?"
"Kasurnya sempit ya."
Ini absurd banget. Nggak nyangka aja kalo Angga bakal ndusel gini. Aku pikir dia akan pulang setelah selesein pekerjaan dia.
***
"Kenapa lo? Kok kaya kusut gitu?" pertanyaan Selly bikin aku mengangkat kepala yang rasanya berat banget.
"Nggak cuma kayanya, tapi emang kusut." jawabku jengkel.
Aku memang kusut, bukan karena belum mandi. Kusutku karena aku kurang tidur.
Itu semua karena makhluk tampan se-Unversitas. Ya, Angga sekarang sering banget datang ke kos. Dia cuma datang bawa makanan, trus ngerjain tugasnya lalu tidur. Dan tidurnya tuh harus yang nempel banget ke aku. Padahal aku udah kesempitan banget lho.
Bikin aku nggak fokus buat tidur kalo gini ceritanya. Dan emang, aku bener-bener nggak fokus tidur.
Baru juga mau ke parkiran, bisik-bisik heboh terdengar.
"Ada apaan sih?" tanyaku ke Selly. Karena dia emang biasanya paling heboh dan up to date sama gosip di kampung.
"Ada orang kaya yang jemput pacarnya." Selly menunjuk sebuah mobil mewah di parkiran.
Kayaknya mobil itu familiar ya?
Aku langsung melanjutkan langkah menuju parkiran motor. Entah kenapa langkahku berhenti begitu saja pas ngeh itu mobil siapa.
"Apa? Ayo buruan, udah mendung banget ini." Selly berusaha menarik tanganku, tapi aku tetap diam ditempat.
Tiba-tiba aja HP-ku berdering. Itu nomor asing, dan aku ragu buat angkatnya.
"Halo?"
"Where?" aku tahu siapa yang meneleponku bahkan hanya dari satu kata yang dia ucapkan.
"Kampus."
"I don't see you."
Aku langsung menutup telepon dan melepaskan tangan Selly yang masih berusaha menarikku.
Benar dugaanku kalo itu mobil Angga, padahal aku nggak apal plat nomor mobilnya.
"Kayaknya lo kudu balik sendiri deh. Titip motor gue yak." aku menyerahkan kunci motorku dan langsung menuju ke si penelepon. Mengabaikan Selly yang kebingungan dan terus meneriakiku untuk meminta penjelasan
Aku bisa merasakan banyak mata yang memperhatikanku berjalan mendekati mobil itu dan masuk ke dalam mobil. Beruntung banget kaca mobil agak gelap, jadi mereka semua nggak bisa lihat siapa yang ada di dalam mobil. Berulang kali aku menghela napas karena berhasil masuk ke dalam mobil dengan selamat.
"Ada apa?" tanyaku tanpa basa basi.
Angga cuma gelengin kepala, lalu dia nyuruh aku pakai seatbelt, abis itu kita keluar dari area kampus.
Banyak pertanyaan yang ingin aku ajukan ke Angga, tapi terpaksa aku tahan karena Angga fokus banget nyetir.
Dia bawa aku ke kompleks apartemen yang katanya ini adalah kawasan elit. Aku sih nggak tahu, karena aku nggak pernah menginjakkan kaki disini. Cuma pernah denger aja kalo ini termasuk apartemen yang mahal.
Masih mengikuti Angga, dia bawa aku naik ke lantai tujuh. Lalu masuk ke sebuah unit yang mungil. Ya, ini tipe apartemen studio yang nggak begitu luas. Tapi masih mending sih, daripada kamar kosku.
Hal pertama yang Angga tunjukkan adalah kamar tidur yang ada di unit itu. The one and only kamar yang ada disana. Kamarnya minimalis dan juga ditata dengan apik. Sangat rapih.
Ranjangnya besar, cukup kalo cuma dipake buat tiduran dua orang. Trus juga langsung menghadap jendela gitu. Ah pokoknya keren banget lah.
"Ini apartemen siapa?"
"Mine."
Mulai kenal sama Angga tuh menyenangkan, tapi juga harus bisa nahan jengkel. Itu semua karena dia yang jarang ngomong. Sekalinya ngomong, dia cuma bakal ngomong satu kata atau dua kata doang. Jarang banget dia ngomong nyerocos kek Selly.
"Kamu tinggal disini?" tanyaku penasaran.
Selama ikut grup penggemar Angga, nggak pernah ada yang tahu dimana tempat tinggal Angga. Ada sih tempatnya, tapi rumah yang lebih spesifik nggak pernah ada. Karena Angga tinggal di perumahan elit yang dijaga ketat. Nggak sembarangan orang bisa masuk ke perumahan itu.
Angga menggeleng cepat. Kalau ini bukan tempat tinggal Angga, terus ini apartemen siapa? Eh, kan tadi dia bilang 'mine' yang artinya punya dia kan?
"Move here."
Hah? Maksudnya? "Kamu mau aku tinggal disini?" Dia anggukin kepala. "Tapi aku kan udah punya kos. Ngapain pindah kesini?"
Sumpah, aku masih belum ngeh sama jalan pikiran Angga. Kalo dilihat-lihat sih kayanya dia juga nggak mau ngasih penjelasan.
Bener dugaanku, dia nggak mau ngasih penjelasan. Dia malah jalan keluar kamar dan menuju dapur. Buka kulkas terus ambil buah. Ini beneran apartemen Angga?
"Ang, jelasin dulu. Kenapa kamu pengen aku pindah kesini?"
Nyebelin Angga. Bukannya jawab pertanyaanku, dia malah letakin apel yang dia makan, trus natap aku tajam. Woah, rasanya aku bisa bolong nih ditatap gitu.
Perlahan dia gerak kearahku, membuat aku mundur perlahan. Sialnya, tubuhku membentur tembok. Duh, rasanya aku bisa tahu adegan selanjutnya nih. Sama kayak di film atau sinetron itu.
"None can disturb us." bisikan lembut itu bikin aku merinding.
Ngumpat boleh nggak sih?
Hey, padahal aku udah mikir lain lho alur ceritanya, kok cuma dibisikin gitu doang?
Ya ampun Kara, kok lo jadi mesum gini sih?