Empat bulan berlalu, dan aku masih merahasiakan kedekatanku dengan Angga dari Selly. Bukan berniat menyembunyikan juga sih. Soalnya aku juga nggak tahu pasti statusku tuh apa.
Kami nggak pernah membicarakan tentang hubungan kami, tapi kami nyaman satu sama lain. Bukan nggak berarti jalannya mulus sih. Ada beberapa hal yang bikin aku nggak sreg sama Angga juga, terlepas dari semua kesempurnaannya itu.
Angga yang sibuk tuh kadang nyebelin banget. Dia kadang ke kos, kalo aku emang lagi males ke apartemen. Tapi dia selalu ada di apartemen ketika aku datang. Sikapnya masih sama, suka diem dan asik sama dunianya sendiri.
Kadang aku mikir kalo aku cuma pelengkap penderita aja. Soalnya Angga kalo udah fokus, nggak bisa diganggu gugat. Imbasnya, aku bakal dicuekin banget. Apalagi kalo udah gambar. Beuh itu mau angin ribut juga dia tetep fokus ke gambar. Gambar buat pekerjaan dia ya, bukan gambar pemandangan atau wajah.
Selama kita deket pun nggak pernah ada obrolan layaknya orang normal lainnya. Eh, itu artinya aku nggak normal dong? Bukan, maksudnya Angga yang nggak normal.
Selain nggak pernah ngobrol, kami juga nggak pernah keluar bareng ke tempat publik. Makan di luar? Pernah lah, tapi bukan di tempat yang lagi nge-hits kaya orang-orang biasanya. Angga lebih seneng tempat yang tenang dan juga nyaman. Jadi kami lebih sering pergi makan di restoran yang mahal hanya sekedar untuk makan malam atau makan siang bersama.
Kalo nggak ke restoran, biasanya kami akan masak bareng di apartemen. Atau pake layanan delivery order. Eh, tapi pernah juga lho Angga panggil chef hotel terkenal cuma buat masakin makan siang kita. Orang kaya mah bebas yak. Yang penting ada uang buat bayar, itu udah cukup.
Alasan lain kenapa Angga nggak suka makan disembarang tempat adalah karena alerginya yang parah dan juga pencernaan yang sensitif. Dan setelah aku kulik jejak digital, Angga hampir meninggal hanya karena minum kaldu udang.
"Ang, ayo makan. Aku udah masak ini."
Dia lagi sibuk di deket balkon. Mau ngapain lagi kalo bukan lagi gambar. Bahkan ini udah dia lakuin sejak dua jam kedatanganku.
Kadang iri banget sama orang-orang yang bisa keluar sama pacarnya cuma untuk beli eskrim di minimarket. Itu keirian yang paling sepele, karena aku dulu mikir iriku mungkin akan lebih tinggi dari sekedar itu. Ya semisal pergi pake mobil kemana aja atau belanja sama pacar.
Angga keliatan banget berat ninggalin mejanya. Meja yang keliatan biasa aja, tapi ternyata harganya bisa seharga motor biasa.
"Nanti bisa dilanjut lagi gambarnya." anggukan Angga jadi jawaban.
Kami makan dalam diam. Memangnya mau ngapain lagi? Makan sambil salto?
Kelar makan, Angga balik lagi ke meja kerjanya, tapi nggak lama. Karena Deano datang. Dan seperti biasanya kalo mereka udah ketemu, aku dicuekin. Mau gabung juga aku nggak paham apa yang mereka obrolin. Itu tentang pekerjaan mereka. Yang lebih bikin insecure lagi karena mereka ngobrolnya pake bahasa Inggris yang udah pro banget.
Tau kan gimana kalo udah pro ngomong pake bahasa Inggris? Yap, mereka ngomongnya cepet banget. Udah gitu kadang loncat pake bahasa Korea yang aku sama sekali nggak paham. Pake bahasa Inggris aja keteteran, ini malah pake bahasa asing lainnya.
Untuk membunuh bosan, biasanya aku ngerjain tugas kampus. Itu benar-benar pilihan yang tepat. Jadi aku selalu mengumpulkan tugas dengan tepat waktu. Kalo nggak ya cuma rebahan aja sambil main hp atau nonton film. Menikmati fasilitas yang Angga siapin di apartemen ini.
Ngomong-ngomong soal Angga, sampe detik ini aku belum pernah ketemu sama keluarganya Angga. Orang terdekat yang aku kenal dari Angga ya cuma Deano ini yang sebagai asisten pribadinya, juga Jona dan Galih yang jadi temen kampusnya. Sisanya? Nggak sama sekali.
Aku tahu sih orangtua Angga udah meninggal beberapa bulan sebelum kami bertemu. Berita itu jadi menghebohkan, karena ayah Angga adalah seorang dosen yang cukup disegani di Universitas tempat kami kuliah. Ada banyak foto beliau, tapi ya cuma beliau doang. Nggak ada foto ibu Angga atau anggota keluarga lainnya.
Kalo kata Deano, keluarga Angga itu tipe keluarga yang menjaga privasinya banget. Bahkan mungkin kita nggak bisa nemuin foto Angga yang jelas di sosial media. Padahal ada banyak mata-mata yang siap menjepret Angga dan menyebarkan di grup-grup fans Angga.
"Privacy is everything." ucapan Deano.
"Kenapa?" tanyaku penasaran. Sangat penasaran malah.
"Mereka berbeda. Tampan, kaya dan punya nama. Siapa yang nggak pengen deket sama mereka? Untuk memperjelas batasan antara profesionalitas dan pribadi, mereka memilih untuk membuat benteng privasi sekuat mungkin." penjelasan itu cukup masuk akal. Yah, antara iya dan tidak.
Di jaman sekarang ini, semua orang memiliki sosial media untuk membagikan keseruan hidup mereka. Dari berbagai kalangan punya. Tapi keluarga Angga nggak punya. Cari aja nama Angga atau anggota keluarga lainnya, nggak ada dan nggak bakal nemu. Kata Deano lagi, itu salah satu menjaga privasi mereka.
"Apa mereka nggak pernah foto bareng? Kan lebih asik kalo dibagikan."
"Itu kenangan mereka, milik mereka. Lagian, nggak ada yang bisa menjamin keamanan di sosial media." jawaban Deano bikin pusing sumpah.
"Kamu punya sosial media?" tanyaku lagi. Deano menganggukkan kepala. "Kamu pasti pernah kan membagikan momen ketika bekerja bersama mereka?"
Deano mengangguk lagi. "Pernah, tapi ada aturan yang harus dipatuhi. Misal nggak boleh menampakkan wajah mereka, trus juga nggak boleh diupload saat itu juga. Harus ada jeda. No tag lokasi dan masih banyak lagi aturannya."
Ya ampun, ribet banget yak? Padahal cuma mau upload foto di sosial media. Tapi aku nggak melanjutkan obrolan itu, karena nanti Deano akan menjawab dengan kalimat yang menjengkelkan atau singkat-singkat gitu. Kayaknya Deano juga kena kode etik untuk nggak banyak omong. Apalagi kalau membahas keluarga majikannya.
***
Hubungan sama Angga masih gitu-gitu aja. Kami masih jalan bareng, tapi nggak ada status karena nggak ada pernyataan apapun. Padahal ini udah memasuki bulan keenam sejak kami ketemu.
Angga masih pendiam. Masih sibuk sama dunianya sendiri. Memang Angga akan menuruti permintaanku ketika aku pengen makan di luar atau belanja, tapi ya gitu, dia tetep lebih banyak diemnya.
Selama ini, kegiatan yang paling aku suka adalah berbelanja kalo sama Angga. Kami jadi kayak pasangan pengantin baru kalo lagi belanja tuh. Angga yang dorong troli dan ngikutin aku kemana aja. Tentu, aku sibuk memilih bahan makanan yang aman untuk Angga, mengingat alerginya yang parah itu. Siapa yang bayar belanjaan? Tentu aja Angga dong. Aku mana punya uang buat bayar belanjaan yang kadang sampai jutaan itu.
Beuh, belanja bahan makan apaan sampe jutaan gitu yak?
Jangan anggap kerjaan selesai kalo abis belanja tuh. Masih harus di tata biar bisa dipake dengan mudah. Kalo kata Angga ini namanya food preparation. Keunggulannya, kulkas jadi lebih rapi dan juga gampang ambil atau nyari bahan makanan. Udah gitu, menjaga bahan makanan jadi lebih awet juga.
Kok kayanya Angga ini tipe yang suamiable ya? Emang sih dia tuh pendiem parah, tapi kalo buat life skill, Angga nggak ada lawannya. Padahal dia pegang predikat Pangeran Kampus, yang katanya dia ini manjanya setengah mati.
Menurutku sih ya sah aja manja, orang dia punya duit kok. Tapi nggak sepenuhnya manja, karena Angga nyatanya bisa masak juga. Bisa cuci baju juga meski deterjennya pasti selalu kebanyakan.
Semua keasyikan ini memang memabukkan, tapi tetep aja sebagai cewe biasa, aku juga kadang ngerasa galau. Sayangnya aku nggak bisa cerita kegalauanku tentang Angga ke Selly. Jadi, aku cuma bisa pendam semuanya sendirian. Nanti kalo udah nggak kuat, biasanya aku cuma nangis sendirian atau uring-uringan. Tentu aja Angga yang jadi korbannya.
Jadi, malam ini aku memutuskan untuk ngobrol sama Angga tentang status kami. Sama seperti cewe dimanapun, aku juga butuh kepastian.
Seolah mendukung, Angga juga masakin makan malam yang enak. Ada steak favorit Angga, juga beberapa buah dan wine. Well, aku sih belum pernah minum wine sebelumnya, jadi nggak terlalu mikir yang gimana-gimana. Dan aku percaya kalo wine nggak akan bikin mabuk selama kita tahu batasannya.