Langit sudah gelap, malam sudah menyambutnya sejak gerombolan mahasiswa baru itu keluar dari ruangan khusus untuk club yang mereka ikuti, Astro Club. Reina melangkahkan kaki mengikuti gerombolan mahasiswa baru yang baru saja selesai melakukan pertemuan pertama Astro Club. Saling mengobrol dengan temannya masing-masing, entah teman lama atau teman baru, yang Reina lihat, mereka sudah sangat akrab. Setelah sampai di gerbang, gerombolan itu berpisah menuju tujuannya masing-masing, ada yang langsung menaiki kendaraan yang sudah menunggu, berjalan kaki menuju kos-kosannya, dan beberapa lagi berjalan menuju halte.
Reina menduduki kursi halte, menunggu bus dalam kota. Dia lebih suka menggunakan bus dalam kota untuk mengantarnya ke berbagai tempat daripada kendaraan yang bisa di pesan dengan cara online, mungkin dengan menggunakan bus, dia akan terhindar dari pertanyaan-pertanyaan dari supir.
Gadis itu memasangkan earphone di kedua telinganya, memutar musik yang menenangkan. Dia menyenderkan punggungnya lalu menutup mata bulatnya, menikmati lantunan musik yang sedang dia dengar. Dia menghembuskan nafasya berat, mengikuti club ini rasanya salah, dia suka astronomi tapi dia tidak suka berhubungan dengan orang-orang.
Mahasiswa baru yang mendaftar club itu dibagi menjadi beberapa kelompok yang berisi 5 orang setiap kelompoknya. Tugas kelompok itu tidak terlalu sulit, menciptakan karya tentang astronomi dengan beberapa teori dasar yang sudah kelompok itu punya. Hanya membuat miniatur tata surya juga tidak masalah. Tapi bukan hanya kaaryanya yang mereka nilai, tapi kerja sama kelompoknya yang menjadi poin pentingnya, itu yang membuat gadis berambut hitam panjang sebahu itu menghembuskan nafasnya berat lagi.
Dia tidak masalah jika ada tugas kelompok di kuliah, dia hanya perlu mengerjakan tugas bagiannya sesuai kesepakatan tanpa berkumpul untuk menghabiskan waktu mengerjakan tugas bersama. Sungguh, dia sangat tidak suka berhubungan dengan orang lain.
"Reina" ujar seseorang setelah melepaskan earphone yang terpasang di telinganya.
Reina menatap orang itu malas, lelaki itu, lelaki yang menunggunya di rumah sakit, Ghani. "Ada apa?" tanyanya datar.
"Bus nya udah berangkat." Reina mengintip dari balik tubuh Ghani yang ada di hadapannya, bus itu sudah melaju cukup jauh dari tempat gadis itu menunggu.
"Oh" jawabnya singkat, kembali memasangkan earphonenya lagi. Dia tidak pulang juga tidak masalah, setidaknya dia bisa terhindar dari pertengkaran ayah dan ibunya yang hampir terjadi setiap malam. Reina menutup matanya lagi, menikmati lagu yang sudah berganti dari lagu sebelumnya.
Lagi-lagi pemuda bernama Ghani itu melepaskan earphone yang membuat Reina menatapnya jengah. "Kamu mau nginep disini?" tanyanya.
"Mungkin," jawabnya acuh.
"Yakin? Kampus udah mulai sepi,"
"Udah deh, kamu mau apa? Ini bukan urusan kamu,"
Sungguh, Ghani bukan seseorang yang tanpa tahu diri mencoba ikut campur pada setiap masalah orang lain, dia hanya orang yang mencoba membantu, dia tidak ingin ada kasus lain seperti kakak kandungnya, bunuh diri karena depresi. Pemuda itu tumbuh bersama keluarga angkatnya yang bisa disebut keluarga psikolog. Ibu dan ayahnya meninggal karena kecelakaan mobil saat dia berumur 7 tahun, dia hanya punya kakak yang tidak lama menyusul kedua orang tuanya dengan gantung diri karena depresi. Gadis berumur 16 tahun yang harus bertahan hidup bersama dengan adiknya yang masih berumur 7 tahun tidak mudah, apalagi paman dan bibinya yang terus menipu dan membawa harta yang tertinggal.
"Ini urusanku,"
"Kenapa jadi urusan kamu?"
"Aku suka kamu" jawabnya tenang, Reina menyipitkan matanya, apa-apaan itu? Mereka baru bertemu kemarin. "Aku suka kamu," ujarnya lagi.
"Kamu emang orang ga bener ya?" Reina bangkit dari duduknya, lalu melangkah ke arah pulangnya, dia tidak masalah harus berjalan kaki sampai rumah asal terhindar dari lelaki itu, untungnya lelaki itu tidak mengikuti langkahnya. "Gila" ujarnya, menggeleng-gelengkan kepalanya karena tidak mengerti jalan pikiran pemuda bernama Ghani itu.
***
"Aku pulang," seru Ghani, mengganti sepatu hitamnya dengan sandal rumah yang tersedia di rak dekat pintu. Melenggang masuk ke dalam rumah.
"Kamu terlambat pulang," ujar ibunya yang sibuk mencuci piring kotor. Ghani berjalan menuju dapur, mendudukkan tubuhnya di kursi, lalu meraih ayam bakar yang tersaji di atas meja dan menggigitnya. "Makan yang bener," omel ibunya, melirik anak bungsunya yang sedang menikmaati satu potong paha ayam.
"Aku udah makan," jawabnya.
"Kapan?" tanyanya, duduk di samping Ghani setelah menyelesaikan pekerjaannya mencuci piring. Wanita yang sudah menua ini bukan hanya ibu angkat baginya, lebih dari itu, dia penyelamat, keluarga ini penyelamat. Ghani tidak bisa membayangkan kehidupannya jika tidak ada keluarga ini.
"Perjalanan pulang, aku makan burger tadi" jawabnya.
"Ibu masak malah makan diluar,"
Ghani terkekeh kecil melihat ibunya yang sedikit merajuk. "Maafin aku, tadi aku melihat temanku sedang makan sendirian," jawabnya, dia menyimpan paha ayam yang hanya tinggal tulangnya ke piring kosong di atas meja, lalu memeluk ibunya, dia sangat bersyukur, bertemu dengan keluarga ini.
"Cuci dulu tangannya," omelnya, memukul pelan tangan Ghani yang digunakan saat memakan paha ayam.
***
Sepi dan gelap yang menyambut Reina setelah membuka pintu. Kedua orang tuanya mungkin masih sibuk bekerja? Atau megurus hal lain? Dia sudah terbiasa disambut seperti ini tapi perasaannya masih tidak terbiasa dengan ini. Dia hanya ingin disambut kedua orang tuanya dengan senyum yang terlukis di wajah mereka, dia hanya ingin mereka menanyakan keadaannya, hanya sesederhana itu.
Saat kecil, teman-temannya akan dijemput keluarga mereka setelah pulang sekolah. Berbeda dengannya, orang tuanya terlalu sibuk mengejar karir mereka masing-masing hingga tidak memperdulikan kehidupannya. Sejak kecil dia harus menyiapkan makanannya sendiri, membeli makanan di minimarket dan hanya tinggal dipanaskan dimicrowave.
Hingga seseorang memberikan perhatian padanya, dia keluarga teman sekolahnya, mereka menemaninya makan, bermain, dan hal lain. Tapi semuanya tidak berlangsung lama, mereka menghilang, tidak ada kabar apa pun tentang mereka. Hal itu yang semakin menguatkan asumsinya, 'Orang-orang tidak akan tahan dekat denganku, mereka akan menjauh, menghilang, dan meninggalkannya sendiri'.
Reina terus melangkahkan kakinya menuju kamar miliknya di lantai dua tanpa berniat menyalakan lampu. dia menyimpan kantung kertas berisi dua burger di atas meja yang dia beli di perjalanan. Dia sudah memakannya di tempat, ingatan tentang ibunya yang menyukai burger membuatnya memesan lagi dan membawa pulang.
Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas kasur, tangannya meraih obat tidur di dalam nakas di samping ranjangnya, memasukkannya ke dalam mulut lalu meminum air putih yang tinggal setengah gelas sisa tadi pagi, lalu kembali membaringkan tubuhnya.
Pikirannya melayang pada pemuda bernama Ghani, dia mirip seseorang yang dia kenal, entah, pemuda itu seperti tidak asing baginya. "Gila," gumamnya, "Gampang banget dia bilang begitu, orang aneh," gumamnya lagi.