Air hujan masih turun dengan deras menerpa bumi, Ghani yang sedang sibuk mengendarai mobil sesekali menoleh sekilas pada seorang gadis yang duduk di bangku penumpang. Tatapannya kosong tertuju pada kaca besar di depannya, rambut hitamnya masih basah yang sesekali menjatuhkan tetesan air yang akan membasahi hodie milik Ghani, sebelumnya dia mengganti baju atasannya dengan hodie Ghani yang ada di dalam mobil. Meskipun tidak bisa menghilangkan rasa dingin yang gadis itu rasakan, tetapi setidaknya hodie itu mengurangi rasa dinginnya.
Ghani melihatnya, ya, inti alasan Reina menangis seperti ini yang tidak perlu mempertanyakannya lagi. Katidaksengajaan yang membuatnya kembali ingin terus mengulurkan tangannya lagi. Ini bukan dia yang diam-diam mengikuti gadis itu lagi, tetapi benar-benar ketidaksengajaan. Ghani yang akan pulang dari rumah temannya tidak sengaja melihat pertengkaran itu.
Lelaki itu memarkirkan mobil yang dia kendarai di basement apartemennya. Dia membuat keputusan untuk membiarkan gadis yang ada di sampingnya itu menghuni apartemen miliknya. Setelah mengetahui inti masalahnya, dia tahu mungkin gadis itu tidak mau kembali ke rumah yang terus memberinya rasa sakit.
"Ayo turun," ujar Ghani, membuka seatbeltnya, tapi tidak ada pergerakan dari Reina, dia menatap Ghani dengan kening yang berkerut, meminta penjelasan. "Ini apartemenku," terangnya. Reina makin menyipitkan matanya, meminta penjelasan yang lebih detail. Sebenarnya gadis itu juga tidak tahu harus pergi kemana, tidak ada tujuan pulang untuknya, tetapi untuk pulang ke tampat lelaki yang baru saja dia kenal itu terkesan buruk. "Saya tahu kamu bingung mau pulang kemana, jadi saya izinin kamu tinggal dulu di apartemen saya, saya juga jarang tinggal disini," terangnya lagi.
"Em..."
"Udah deh, emang kamu mau kemana?"
"Saya ga punya temen," ujarnya pelan, "Tapi saya bisa menginap di hotel, ya di hotel," terusnya, menjentikan jarinya sebagai tanda jika itu ide yang bagus. Oh ayolah, daripada harus tidur di tempat seorang lelaki yang baru saja dia kenal, dia lebih baik menghabiskan uang yang dia punya untuk menyewa satu kamar hotel.
"Saya jarang tinggal disini, dan saya bakal pulang ke rumah abis nganterin kamu," terangnya lagi. Tidak ada cara lain, mungkin Reina memang lebih baik tinggal disini malam ini dan uang yang dia punya bisa dia gunakan untuk hal lain.
Ini bukan apartemen mewah, hanya apartemen biasa yang dia beli menggunakan tabungan yang dia kumpulkan. Apartemennya ada di lantai tiga, jadi mereka harus menaiki lift terlebih dahulu untuk sampai ke tujuan. Tubuh Reina limbung saat lift mulai bergerak naik, membuat Ghani refleks menahan tubuhnya.
"Saya gapapa," ujarnya, menyingkirkan pelan kedua tangan Ghani yang ada dibahunya.
***
Reina memeluk lututmya, kedua matanya memperhatikan angin pagi yang menerbangkan ujung tirai karena jendelanya terbuka penuh. Kantung matanya terlihat sangat tebal karena menangis semalaman. Pakaiannya sudah berganti dengan pakaian milik Ghani yang ada di lemari. Ukuran tubuhnya yang terlampau kecil menjadikannya seperti tenggelam dalam pakaian yang dipakainya. Lengan bajunya dan celananya harus digulung beberapa kali agar dia bisa menggunakan tangan dan kaki dengan leluasa. Ini hari Sabtu, dia tidak perlu berusaha memperbaiki tampilannya atau membolos lagi kuliah.
Ponselnya tergeletak di sampingnya, entah mati karena terguyur hujan deras malam tadi atau memang mati karena habis baterai. Lagipula dia terlalu malas untuk menyalakan ponsel, mereka berdua mungkin tidak akan menghubunginya, sibuk dengan kesenangannya masing-masing.
Dia menghembuskan nafasnya panjang, satu pertanyaan tiba-tiba muncul setelah bayangan kejadian tadi malam menghantuinya lagi. "Aku harus menyerah untuk hidup?" ujarnya pelan, dia menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya. Mungkin dia akan menangis sangat kencang jika tidak ada orang yang membunyikan bel.
Reina mengusap wajahnya kasar, lalu bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu, lalu membukanya. Ghani sudah berdiri dengan senyum merekah terlukis di wajahnya dan kedua tangannya menenteng kantung plastik besar dan kantung kertas bermotif.
"Hai," Sapanya, "Ini hari minggu, Saya memang biasanya belanja," ucapnya. Serius, itu adalah kebohongan paling lucu yang pernah dia katakan selama hidupnya. Dia tidak pernah berbelanja satu kali pun, apartemen ini tidak pernah diisi dengan makanan atau bahan makanan, kulkasnya hanya berisi air putih yang tidak tahu kapan terakhir kali air itu diisi.
Apartemen ini memang jarang ditinggali, mungkin dalam satu bulan hanya ditempati dua kali. Mungkin apartemen ini hanya dipakai untuk merenung dan menyendiri? Jika dia tinggal disini untuk satu malam, dia hanya akan memesan makanan cepat saji yang bisa diantar sampai tempat.
Reina membuka pintu lebih lebar, mempersilakan Ghani untuk memasuki tempat tinggal lelaki itu. Lelaki itu masuk dengan leluasa, langsung berjalan menuju dapur yang tidak terlalu jauh dari pintu masuk, Reina mengikuti di belakangnya. Dia menyimpan kantung plastik itu di atas meja makan.
"Saya minta sepupu perempuanku buat beli ini," ujarnya, dia menyodorkan kantung kertas bermotif pada Reina, Reina menerimanya lalu mengintip sedikit untuk melihat isinya, beberapa pakaian. "Kamu harus bicara sama orangtaumu," ujarnya. Lelaki itu sibuk membereskan setiap bahan makanan yang ada di dalam kantung plastiknya.
"Buat apa?" jawabnya acuh. Reina menarik kursi lalu mendudukinya.
"Mereka pasti khawatir,"
"Mereka gak akan khawatir, mereka akan senang-senang sama keputusannya sendiri-sendiri,"
"Setidaknya kamu harus bilang kalo kamu baik-baik aja dan terus berusaha bertahan hidup... meskipun sendiri," jelasnya, Reina tidak menjawab, dia hanya menggoyang-goyangkan kakinya dibawah meja. Gadis itu memang tidak tahu apa yang sekarang bisa dia lakukan, satu solusi yang ada dipikirannya hanya tidak lagi berusaha, menyerah untuk segala macam dalam hidupnya, tapi dia tidak terlalu berani untuk melakukannya.
"Aku ga tau," ucapnya pelan, Ghani menoleh padanya, perhatikan sepenuhnya pada Reina yang menundukan kepala, memainkan benang yang keluar dari jahitan baju dengan jari-jaritanganya, "Aku ga tau harus gimana sekarang, aku udah ga punya siapapun dan apapun, maksudku aku memang sejak dulu hanya sendiri, tapi sekarang benar-benar sendiri" ujarnya lagi.
"Kamu punya aku Rein," ujarnya, Reina mengangkat kepalanya, tenggelam dalam manik mata lelaki itu, dia tulus.
Tidak ada yang bersuara sekarang, keduanya masih tenggelam dengan manik mata satu sama lain. Hati Reina terasa menghangat, tidak pernah ada orang yang pernah mengatakan itu dengan tulus sebelumnya. Mungkin kalimat itu termaasuk kalimat klise bagi orang lain, tapi baginya itu kalimat yang mudah saja menjadi kalimat yng mampu menghangatkan hati dingin yang sudah beku belasan tahun.
Tapi hangat yang menelusup kerelung hatinya tidak berlangsung lama, sebuah pikiran negatif membuat hatinya kembali menjadi beku, 'Tidak ada orang seperti itu, mereka akan pergi saat mereka ingin pergi'.
~TBC~
Haii, Terima kasih sudah membacaa :)