Tulisan di dalam layar televisi bergerak keatas lalu menghilang setelah mencapai ujung diikutii dengan tulisan lain dibawahnya, tulisan yang memberikan informasi mengenai orang-orang yang bekerja pada film yang menyedihkan itu. Film yang mereka tonton sudah habis, layarnya berubah menjadi warna hitam.
Mata Ghani sudah tertutup, tertidur sejak 30 menit yang lalu, matanya sudah lelah untuk terus menikmati jalur cerita film yang sejak satu setengah jam ditampilkan di layar televisi, posisinya terlihat tidak terlalu nyaman, kakinya yang panjang diluruskan ke depan, punggungnya menyandar ke sofa, dan kepalanya diletakan di atas sofa. Reina, matanya tidak diam, beberapa menit dia akan memandang cahaya yang masuk lewat jendela dan menoleh pada wajah Ghani yang terpejam lalu menghembuskan nafasnya panjang.
Pikirannya berkelana, banyak hal yang masuk ke kepalanya untuk dipikirkan, banyak pertanyaan yang tidak mampu dirinya jawab sekarang. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Apa yang harus dilakukan untuk kuliahnya? Bagaimana dengan biaya kuliahnya? Apa dia akan berhenti saja? Dimana dia harus tinggal sekarang? Menyewa rumah seperti apa dengan uang tabungan yang dia punya? Apa yang harus dia lakukan kepada ibu dan ayahnya? Siapa Ghani sebenarnya? Kenapa dia mau menolongnya? Hingga pertanyaan menyebalkan, Kenapa Ghani tertidur setelah memaksanya untuk menonton film bersama?
Ghani yang memaksa menonton film menyedihkan, film yang penuh kesedihan, film perjuangan seseorang untuk menikmati kehidupnny yang sangat hancur. Ghani berkali-kali mengusap air matanya karena menangis, bukan tangisan yang keras hanya air mata yang meluncur dalam diam yang buru-buru lelaki itu hapus karena takut seseorang yang bersamanya akan melihat. Berbeda dengan Reina, dia tidak menangis sama sekali, mungkin air matanya sudah terlalu kering untuk menangisi kepedihan hidup orang lain.
Hatinya memang sedikit terusik, sedikit pikirannya tentang menyerah untuk hidup sudah menghilang sekarang. Adegan saat Ghani mengucapkan kalimat "Kamu punya aku, Rein" dengan tulus ribuan kali berputar di kepalanya membuat hatinya terus menghangat, tetapi ada hal lain yang terus menyangkal itu.
"Kenapa membantuku?" ujarnya pelan, matanya menatap mata Ghani yang masih tertutup. Tangannya terangkat, berniat mengusap sedikit rambutnya, tetapi tangannya malah menggantung di udara, tidak mampu menggerakannya lagi untuk menyelesaikan niat anehnya.
Reina menarik kembali tangannya, pandangannya bukan lagi pada lelaki yang menolongnya sekarang, tetapi pada ponsel yang terletak di atas meja di sampingnya, mengaktifkannya kembali setelah mengisi dayanya penuh. Ada beberapa panggilan dan pesan yang masuk tadi malam.
"Kamu haru bicara sama orang tuamu," kalimat yg diucapkan Ghani tadi pagi tiba-tiba hadir di pikirannya, mungkin itu pilihan terbaik untuk sekarang, selesaikan hubungan dengan mereka lalu mencoba hidup sendiri terdengar lebih baik daripada terus bersama mereka tetapi merasa sendirian.
Dia memilih nomor telepon yang di beri nama "Ibu", memilih gambar telepon, lalu menempelkannya di telinga, menunggu seseorang untuk mengangkatnya.
"Rein!" seru seseorang di seberang sana tanpa basa basi. Reina tidak langsung menjawab, dia hanya menghembuskan nafasnya panjang dan matanya menatap lurus pada layar yang sekarang sudah berubah menjadi hitam. "Kamu diamana Rein? Biar ibu jemput kamu,"
***
Ghani perlahan membuka matanya, tangannya refleks memegangi lehernya yang terasa pegal. Ruangannya redup, diberi cahaya oleh bulan yang masuk pada beberapa jedela tertutup dan beberapa lagi masih terbuka. Lelaki itu meraih ponsel yang ada di sampingnya untuk melihat jam berapa sekarang, jam 7 malam, enam jam semenjak film pilihannya dimulai.
"Rein," serunya, tapi tidak ada jawaban dari orang yang lelaki itu maksud. "Rein," serunya sekali lagi. Dia bengkit, berjalan menuju kamar yang ada di dekat ruangan untuk menonton televisi. "Rein," serunya lagi, lelaki itu membuka pintunya perlahan, tidak ada seorang pun di kamar itu, keadaannya seperti ruangan yang lain, temaram, bahkan gorden jendela tidak tertutup.
Dia sangat khawatir, dia tahu tidak ada tempat untuk gadis itu, jadi kemana dia akan pergi? Ghani meraih jaket yang tersampir di sandaran kursi, berjalan cepat menuju pintu, entah kemana dia harus mencarinya, dia tidak mau terpisahkan dengan gadis itu, lagi.
Jantungnya berdetak lebih kencang dan nafasnya pun tidak normal, dia bernafas lebih cepat karena otak melepaskan senyawa kimia adrenalin untuk mendapatkan oksigen lebih banyak, dia sangat takut dan cemas. Dia membuka pintu lebar, bersiap untuk berlari sekuat mungkin.
Ghani menghentikan langkah lebarnya di ambang pintu dan raut wajah cemasnya perlahan menghilang setelah netranya menangkap seseorang yang dia cari, dia menghembuskan nafasnya, merasa lega sekarang. "Reina," ujarnya pelan. Gadis itu berdiri di hadapannya dan terlihat bergitu terkejut karena Ghani membuka pintu terburu-buru dan jangan lupakan wajah cemasnya yang jelas terlihat tadi. "Kamu dari mana?"
"Saya abis ketemu sama ayah dan ibu"
Ghani mengangkat tangannya untuk mengusap pelan kepala gadis itu, tetapi berhenti, melah menggantung di udara, Reina tidak adakn suka ini. "Kenapa ga langsung masuk?" tanyanya lagi, dia menarik kembali tangannya untuk dia letakan di samping tubuhnya.
"Emm.. saya..." dia mengusap lehernya, menoleh pada koper di sampingnya yang baru Ghani sadari keberadaannya karena matanya hanya terfokus pada gadis itu.
Lelaki itu sedikit memamerkan senyum lembut miliknya, "Kamu boleh tinggal disini, selama yang kamu mau," ucapnya, "Aku udah bilang, Kamu punya aku, jadi kamu bisa andelin aku, minta bantuan apapun, jangan ragu" ujarnya lagi.
"Terima kasih," jawabnya sangat pelan, hampir tidak terdengar, dan senyuman tipisnya yang terlukis di wajahnya dalam hitungan detik itu sukses menarik sudut bibir Ghani untuk ikut tersenyum.
***
Melodi dari lagu yang diputar di kafe yang dipenuhi anak muda untuk menikmati malam minggu, libur dari segala tugas, tugas sekolah, tugas kuliah, atau tugas dari tempat kerja. Seperti yang dilakukan Reno dengan sepuluh teman-teman satu jurusannya, yang menjadikan meja itu menjadi meja paling berisik daripada meja yang lain. Mereka bermain permainan mafia dan permainan yang lain.
"Mir!" seru seorang gadis yang duduk di hadapan Reno kepada seorang gadis yang baru masuk ke dalam kafe. Gadis itu tersenyum setelah melihat teman-temannya yang sudah berkumpul di satu meja lalu berjalan anggun menuju meja tersebut.
"Dio mana?" tanya temannya yang lain, lelaki yang duduk paling ujung.
"Ada urusan yang lain, dia bakal nyusul katanya,"
Gadis itu, Mira, duduk di kursi kosong yang ada di samping Reno, Reno melihatnya sedikit tidak suka, bagaimana pun gadis ini yang membuat teman dekatnya merasa sakit hati, ya, Ghani.
Semuanya kembali mengobrol ringan dan sesekali tertawa, menertawakan cerita lucu atau lolucon yang terlontar. Berbeda dengan Mira yang malah mencari seseorang yang dia harap akan hadir di sini, tetapi harapannya musnah, lelaki itu tidak ada disini.
"Reno," panggilnya pelan, lelaki yang dia panggil menolehkan kepalanya, menjadi sedikit menghadapnya. "Ghani ga kesini?"
"Kenapa emang? Dia dateng terus liat lo juga dia bakal pulang lagi," jawabnya, tidak peduli perasaan orang yang mendapat jawaban ketusnya.
"Kemana dia?"
Pertanyaan yang membuat Reno memutar bola matanya kesal. Ayolah, kenapa harus peduli lagi dengan orang yang sudah kamu tinggalkan tanpa perasaan? Kenapa harus peduli lagi dengan orang yang telah kamu sakiti? Kenapa harus peduli lagi setelah orang itu sudah bersama orang lain? Sudah tidak punya hak bahkan hanya untuk dipedulikan, itulah yang Reno percayai.
"Ga tau, mungkin lagi bareng sama cewenya," jawabnya, menekat kata terakhir pada kalimatnya.
"Siapa?" gadis itu terlihat terkejut dan mungkin sakit hati? Tetapi dia mencoba menyembunyikan itu dengan senyum.
"Reina"
"Reina? Teman masa kecilnya?"
-TBC-
Haiii, terima kasih masih setia membaca.. :)