Angin malam berhembus memasuki seluruh sudut kota. Menyapa berbagai benda yang menghalanginya untuk masuk ke ruangan yang lebih dalam lagi. Membelai kulit tubuh Reina yang berdiri di depan jendela yang terbuka seutuhnya, memberikan akses masuk pada angin seluas-luasnya. Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri saat terasa lebih dingin.
"Kenapa masih diem disitu? Cepetan tidur," ujar seseorang di belakangnya.
Reina tidak berbalik, karena dia sudah tahu siapa yang bersuara. Ghani, dia belum pulang dari apartement ini, dia bersikeras menyiapkan makan malam untuk mereka berdua yang membuat Reina merasa lebih tidak nyaman lagi. Ingin mengusir paksa lelaki itu tapi dia tahu diri, apartement ini bukan miliknya, mengiyakan semua usul lelaki itu, bukan hal mudah, dia masih ingin sendiri sekarang.
"Kenapa belum pulang?" tanya Reina.
"Saya khawatir kamu bakal ngelakuin hal lain," jawabnya, dia mendudukan dirinya di sofa, memperhatikan punggung kecil gadis itu. "Kenapa belum tidur?" tanya lelaki itu lagi karena belum mendapatkan jawaban pertanyaannya.
"Hal lain apa? Saya ga pernah ngelakuin percobaan bunuh diri atau sejenisnya deh," jawab gadis itu. Dia memutar tubuhnya menghadap Ghani, alisnya teragkat tinggi-tinggi.
"Kamu butuh seseorang,"
"Saya pengen ada waktu sendiri malah,"
"Gitu?"
"Iya,"
"Yaudah," lelaki itu bangkit dari duduknya, melangkah pelan mendekati Reina yang masih berdiri di depan jendela, "Kamu bisa panggil aku kapan pun, jangan bikin diri kamu kesepian lagi," ujarnya, manik matanya lurus menembus kedua mata Reina. Bibirnya melengkung membentuk senyuman.
"Siapa kamu?"
Ghani tidak langsung menjawab, senyuman yang terlukis sebelumnya hilang untuk beberapa detik lalu kembali tersenyum lagi. "Aku Ghani," jawabnya setelah hening untuk waktu yang lama. Ghani menggerakan kakinya satu langkah kedepan dengan keduanya yang terus menatap lekat-lekat gadis itu, membuat Reina memundurkan tubuhnya satu langkah juga. Lelaki itu mencondongkan tubuhnya lalu berbisik pelan, "Your future husband?" terusnya, Reina tidak menjawab, dia hanya menatap kedua mata Ghani datar.
***
Reina merebahkan tubuhnya di atas ranjang, matanya tidak mangkir dari langit yang melukiskan cahaya bintang. Ini tidak semudah yang dia pikirkan, sedikit tekadnya untuk terus hidup tidak banyak membantunya. Trauma untuk mempercayai orang lain masih terus hadir di dalam dirinya, termasuk mempercayai orang yang sudah banyak membantunya, Ghani.
Suara dering ponsel yang menandakan ada pesan yang masuk mengusik atensinya, dia meraih ponsel yang tergeletak di sampingnya untuk mengecek siapa yang mengirim pesan. Tidak banyak orang yang tahu berapa nomor ponselnya.
Ghani, pesan dari orang yang diberi nama kontak 'Ghani' di ponselnya yang membuatnya menyipitkan mata, "Kapan aku nyimpan nomornya?" tanyanya pada dirinya sendiri.
From Ghani
Kamu belum tidur?
Gadis itu memandang pesan itu lama, bertengkar dengan dirinya sendiri untuk membalas pesan lelaki itu atau tidak. Sampai akhirnya, jarinya menari di atas layar, mengetikan suatu balasan pesan singkat dari lelaki bernama Ghani itu.
From Reina
Kamu buka hpku ya?
Reina tidak perlu lama menunggu, karena Ghani membalasnya dengan sangat cepat.
From Ghani
Oh kamu belum tidur
From Reina
Kamu buka hpku ya?
From Ghani
Iya, biar kamu kalo kangen saya, bisa langsung hubungi
Haahaa
From Reina
SAYA TIDUR
JANGAN GANGGU
From Ghani
Good night ⁓
Reina meletakan ponselnya asal di atas kasur, dia memiringkan tubuhnya sehingga menghadap penuh pada jendela sedikit besar yang ada di kamarnya, memberikan pemandangan malam indah padanya. Sudut bibirnya sedikit terangkat, "Dasar," ujarnya, sudut bibirnya semakin ditarik membentuk senyuman lebar dengan semakin banyaknya ingatan tentang Ghani.
Dia tiba-tiba mendudukkan tubuhnya dengan terburu-buru, menutup matanya rapat-rapat, "Rein kenapa senyum," ucapnya, memukul mulutnya pelan beberapa kali.
***
Hari Senin, hari pertama dimulainya segala aktivitas setelah libur weekend. Menjadi hari paling dibenci manusia karena harus kembali lagi kerutinitas biasanya, mengurus segala berkas pekerjaan, mengurus segala tugas sekolah dan kuliah, serta hal lain yang menarik seluruh fokus semua orang. Kelas Reina dijadwalkan siang hari, jadi dia bebas pagi harinya.
Reina menggulung rambut hitamnya asal, membiarkan anak rambut yang tidak terikat tanpa sengaja dibiarkan begitu saja. Atensinya dia berikan seluruhnya pada layar ponsel yang menampilkan beberapa iklan lowongan pekerjaan serta pada koran yang menampilkan hal yang serupa.
Kebanyakan lowongan pekerjaan untuk menjadi seorang pelayan café atau hal sejenisnya yang membuat Reina lagi-lagi menghembuskan nafasnya kasar karena tidak merasa baik dengan harapannya. Ayolah, gadis itu tidak bisa banyak tersenyum, dan seluruh pelayan diharuskan bersikap ramah. Jadi, Reina tidak akan pernah cocok dengan itu. Dan pekerjaan-pekerjaan yang lainmalah membutuhkan karyawan yang sudah lulus.
Ponsel ditangannya bergetar, ada telepon masuk, dan 'Ghani' lima huruf yang menari-nari di layar, menunggu Reina untuk menggeser gambar telepon yang dikelilingi warna hijau.
"Ada apa?" tanyanya langsung setelah dia mengangkat telepon dan menempelkan ponsel di satu telinganya.
"Galak banget,"
"Ada apa?" tanyanya lagi, tidak menghiraukan kalimat yang diucapkan lelaki itu.
"Jam berapa berangkat ngampus?"
"Mau apa?" Ya, kenapa dia ingin tahu jadwalnya?
"Saya mau jemput kamu,"
"Aku bisa pergi sendiri," Tanpa menunggu jawaban Ghani, dengan cepat dia memutuskan hubungan teleponnya. Dia menjatuhkan keningnya di atas meja, dia harus secepatnya pergi, sungguh dia tidak mau lebih dekat dengan orang lain, seperti yang dia bilang, dia akan hidup sendiri.
Ponselnya kembali bergetar, bukan lagi telepon tapi pesan singkat yang masuk ke ponselnya, dari orang yang sama, Ghani.
From Ghani
Yaudah kalo mau sendiri
Hari ini kelompok kamu mungkin bakal ngumpul
Kelompok Astro Klub
Kamu haru hadir, mereka udah mulai tanpa kamu, jangan izin tanpa alasan lagi
"Tidak ada anggota kelompok yang memberi tahuku," jawabnya setelah membaca empat pesan yang dikirim tanpa jeda. Reina tidak berniat mengetikan satu kata pun untuk membalas pesan singkat dari lelaki bernama Ghani itu. Dia lebih memilih meninggalkan ponselnya di atas meja lalu berlalu menuju dapur untuk memasak sedikit makanan untuk menu sarapannya.
Dia pandai memasak, dia sudah memasak sendiri karena kedua orang tuanya sibuk bekerja untuk waktu yang sangat lama. Orang tuanya memang menyewa asisten rumah tangga, tetapi dia tidak bertanggung jawab dengan makanan dengan alasan bahwa mereka akan jarang makan di rumah tanpa memperdulikan anaknya, asisten rumah tangganya hanya akan membersihkan rumah setiap pagi dan membereskan seluruh pakaian setiap minggu pagi.
Reina selalu memakan makanannya sendirian, tidak pernah ada obrolah seperti menanyakan bagaimana sekolahnya, apa menyenangkan sekolahnya, apa ada masalah di sekolahnya, atau pertanyaan lain yang biasanya orang tua bisa tanyakan untuk kelangsungan anaknnya. Dia belum pernah merasakan hal itu, bahkan tidak akan pernah.
Suara bel menginterupsi kegiatannya yang akan memotong wortel. Menoleh pada pintu yang tertutup rapat, berdecak tidak suka, bukannya Reina sudah bilang dia bisa pergi ke kampus sendiri, kenapa lelaki itu malah ke sini?
Reina memaksakan kakinya melangkah untuk membukakan pintu flat apartementnya yang seharusnya bisa Ghani buka sendiri karena dia tahu password kuncinya. Tanpa melihat interkom yang akan memperlihatkan orang yang ada di balik pintu, Reina membuka pintu dengan kasar dibarengi dengan ucapannya, "Kan aku sudah bilang aku bisa per..." Bibirnya langsung terkatup saat melihat siapa sebenarnya orang yang menekan bel.
-TBC-