Chereads / Lean On You / Chapter 9 - 9. Pacar

Chapter 9 - 9. Pacar

Langit sudah berubah warna menjadi hitam karena bulan menggantikan matahari sebagai sumber cahaya di bumi. Ribuan lampu di rumah-rumah penduduk, gedung-gedung besar, dan toko-toko di tepi jalan menambah keramaian cahaya, berlomba-lomba memberikan penerangan bagi manusia-manusia yang masih ramai melangkahkan kaki ke tempat-tempat mereka tuju, entah itu pergi atau kembali.

Ribuan lampu-lampu itu mengalahkan cahaya bintang yang tampak malu-malu untuk saling bersaing, hanya beberapa yang berusaha memberi cahaya yang lebih terang. Mungkin bintang sirius yang merupakan bintang paling terang? Bintang itu tidak pernah lelah menampakkan dirinya, padahal mungkin saja orang-orang di bumi tidak memperhatikannya dengan baik, lebih tergoda memandang lampu yang ramai dibandingkan cahaya kecil di langit gelap, seolah bintang itu tidak peduli tanggapan orang lain, lebih berfokus pada dirinya yang ingin terus memberikan cahaya.

Reina menutup matanya setelah memandang cahaya kecil itu lekat-lekat, menikmati semilir angin yang menerpa setiap inci kulitnya. Dia sedang berada di rooftop apartemen yang dia tinggali, rooftop ini tidak digunakan, hanya lapangan kosong. Dia tidak langsung menuju flat apartemennya untuk mengistirahatkan tubuhnya, tapi dia memilih mengisi energi dengan pemandangan yang indah malam ini.

Gadis itu baru saja selesai mencari pekerjaan setelah mengikuti kuliah dan juga kegiatan klub, memulainya dengan melamar menjadi seorang pelayan, yah meskipun dia sangat tidak cocok untuk pekerjaan itu, tapi dia ingin cepat mendapat kerja part time dan hidup sendiri, meskipun tidak sesederhana itu. Pencariannya hari ini sangat tidak berhasil, tidak ada yang mau menerimanya, banyak alasan yang mereka katakan.

Ayah dan ibunya beberapa kali mencoba menghubunginya. Yah, selain keduanya yang gila kerja, tidak ada masalah lain, mereka selalu memberikan apa yang Reina mau, kecuali kasih sayang. Dia akan sarapan dan makan malam sendirian yang katanya waktu makan itu menjadi waktu untuk berkumpul bersama, dia selalu disambut dengan rumah yang sepi jika pulang dari sekolah, pertikaian ibu dan ayahnya hampir setiap hari membuatnya tidak nyaman, dan perselingkuhan keduanya menjadi puncak sakit yang dia rasa. Membuatnya semakin yakin, tidak ada hubungan yang selamanya, tidak ada yang namanya cinta. Semuanya akan pergi setelah hubungan itu terputus.

Ponsel di saku blazernya bergetar, ada seseorang yang mencoba menghubunginnya. Reina meraih ponsel itu, membaca kumpulan huruf membentuk satu nama yang menunggu hubungan telponnya tersambung.

Ghani, orang yang menghubunginya, dia tadi meminta Reina untuk menunggu rapat evaluasi bersama dengan pengurus klub, bukan Reina jika meuruti setiap perintahnya, gadis itu memilih pulang menggunakan angkutan umum. Dan soal lelaki itu, dia harus benar-benar menghindarinya, dia takut akan tergantung padanya dan membuka hati untuknya.

Dia lelaki yang baik, Reina sangat mengakui itu, lelaki itu banyak membantunya, banyak melindunginya, karena itu dia harus segera pergi, hidup sendirian tanpa tergantung dan terbantu orang lain. Dia tidak mau menyukai seseorang lebih dalam dari ini, karena dia tidak mau merasakan rasa sakit karena suatu hubungan, dia tidak mau menjalin hubungan yang hanya akan diakhiri dengan saling meninggalkan, saling menyakit, seperti dua orang tuanya.

Ponselnya kembali lagi berdering, dariorang yang sama, mungkin Ghani tidak akan berhenti sampai Reina mengangkat telponnya. Dengan malas, dia menggeser gambar telepon yang dikelilingi warna hijau, lalu menempelkannya di salah satu telinganya.

"Rein, kamu dimana?" tanyanya langsung

"Udah pulang,"

"Oh, syukur deh, kirain kamu nungguin, rapatnya lumayan masih lama kayanya, soalnya ngebahas hal lain juga," jelasnya. Sudut bibirnya sedikit terangkat, entahlah, apa yang membuatnya tersenyum, yah meskipun sedikit. "Rein, masih ngedengerin kan?" tanyanya lagi, karena tidak terdengar jawaban darlawan bicaranya.

"Ya, aku mau tidur"

"Oh, have a nice dream..." dia berhenti sejenak, Reina juga masih menunggu kata apa yang akan diucapkan Ghani selanjutnya, "Pacar."

Sudut bibirnya makin terangkat, membentuk senyuman kecil. Dia menggelangkan kepalanya dan menutup matanya erat-erat, kenapa dia seperti ini. "Sejak kapan?" tanyanya dingin, menjadi Reina seperti semula, mengontrol nada bicaranya.

"Tadi kan," dia bisa merasakan, lelaki itu sedang tersenyum sangat lebar sekarang.

"Ga,"

"Tapi akan...." Entahlah apa yang akan lelaki itu katakan selanjutnya, Reina memilih memutuskan hubungan telpon itu sepihak, dia harus cepat pergi dari sisi lelaki itu.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, rapatnya berlangsung lebih lama dibandingkan perkiraannya. Dia berencana menghubungi nomor gadis itu lagi, untuk memastikan dia benar-benar aman, dia merasa sangat protektif sekarang, bagaimana lagi, gadis itu membuatnya gila, mungkin sejak waktu yang lama.

Ghani menjadi orang terakhir yang keluar dari ruang sekretariat klub yang dia ketuai, karena membereskan beberapa berkas yang harus dia urus. Memimpin banyak orang bukan hal yang mudah, menghormati setiap isi kepala seluruh anggotanya.

Sekarang dia berada dalam perjalanan menuju suatu restoran, mungkin sedikit lebih larut untuk makan malam, tetapi ibunya terus memaksa semua anggota keluarga untuk berkumpul dan merayakan hari pernikahan ayah dan ibunya. Menghabiskan waktu bersama setelah waktunya dihabiskan dengan pekerjaan masing-masing. Meskipun yah, setiap hari pun saling bertemu di rumah.

Lampu lalu lintas berubah warna menjadi kuning, lalu dalam hitungan detik berubah menjadi merah, membuatnya harus menghentikan laju kendaraan roda dua yang dia kendarai. Jumlah kendaraan tidak terlalu ramai, mungkin karena jam pulang kerja sudah berlalu beberapa jam yang lalu.

Suara klakson mobil disampingnya terdengar, disusul dengan seruan seseorang di dalam mobil, orang itu membuka kaca mobilnya, menampilkan dua orang muda-mudi di dalamnya. Mira dan Dio, Ghani hanya menanggapi seruan dari si gadis hanya dengan senyuman tipis. Mira, dia salah satu orang penting dalam hidupnya, menjadi sahabat sejak sekolah menengah pertama menjadi waktu yang tidak singkat untuk saling mengenal, mereka selalu bersama seperti saling membutuhkan, hingga suatu masalah terjadi, karena lelaki bernama Dio.

Ghani tidak menampik bahwa dia pernah menyukai Mira, lebih dari seorang sahabat. Melihatnya lebih mempercayai lelaki yang baru dia kenal terasa lebih menyakitkan. Gadis itu tidak percaya, Dio bukan lelaki baik untuknya, bahkan setelah beberapa bukti yang Ghani berikan pada gadis itu.

"Eh, baru pulang lo?" tanya Dio, seperti biasa, memakai topengnya seolah tidak ada hal terjadi diantara mereka. Mungkin bisa dibilang Dio dan Ghani adalah musuh bebuyutan, ingin saling mengalahkan satu sama lain, mulai dari ketua himpunan mahasiswa jurusannya, atau hal-hal pribadi seperti ini. Dia tidak tahu hal ini dimulai sejak kapan.

"Iya," jawabnya singkat, dia benar-benar ingin cepat pergi, tetapi lampu merah terasa lebih lama dari biasanya. Melihat mereka berdua bersama masih terasa sulit untuknya.

Ghani melirik pada gadis itu, Mira terlihat sedikit bingung, entah hal apa yang membuatnya seperti itu. Dia berkali-kali menoleh pada Dio dan kembali menoleh padanya. "Eh Ghan," ujarnya akhirnya, "Ini bukan waktu yang tepat sih, lo udah ketemu Reina?"

-TBC-