Chereads / Lean On You / Chapter 4 - 4. For Our Life?

Chapter 4 - 4. For Our Life?

Kantin selalu ramai saat makan siang, meja yang tersedia habis, tidak menyisakan meja kosong. Banyak orang yang sedang menikmati makan siangnya sembari mengobrol dengan teman makannya dan ada beberapa yang nongkrong-nongkrong setelah makanan yang dia pesan habis.

Reina yang baru saja memasuki area kantin menghentikan langkahnya, mengedarkan meja yang sudah terisi mahasiswa lain. Tidak ada meja kosong yang tersedia, mungkin dia harus pergi ke kantin pusat atau di luar kampus. Kantin fakultas memang lebih kecil dibandingkan dengan kantin pusat yang berada lebih jauh dari gedung FMIPA, fakultas yang Reina menimba ilmu.

Reina membalikan badannya, berniat meninggalkan kantin yang ramai ini, tetapi langkahnya berhenti karena seseorang menepuk siku kananya, "Kok balik lagi?" suara lelaki yang tidak terlalu asing baginya, siapalagi kalau bukan pemuda aneh itu, Ghani. Reina membalikkan badannya lagi menghadap pemuda itu. "Mau makan kan? Kenapa balik lagi?" tanyanya lagi karena tidak mendapatkan jawaban pasti.

"Kamu kenapa sih? So kenal banget"

"Emang kenal kan Re?" Reina menyipitkan matanya, Re? Orang-orang akan memanggilnya Reina karena tidak terlalu akrab untuk memanggil nama lain sebagai nama panggilan, dan panggilan itu membuatnya mengingat seseorang. "Kenapa? Nama kamu Reina kan?"

"Kita engga terlalu akrab buat kamu manggil saya itu,"

"Ya gapapa, nanti juga akrab," jawabnya yang membuat Reina menatapnya jengah, dia orang yang paling menyebalkan yang pernah Reina kenal, "Nyari meja kosong ya? Duduk sama saya aja, tuh disana," lelaki itu menunjuk meja yang sudah diduduki oleh seorang lelaki yang sibuk dengan ponsel di tangannya.

"Makasih, tapi saya biasa makan sendiri,"

Baru saja Reina akan melangkah pergi dari kantin ini, pemuda itu menggenggam pergelangan tanganya lalu menarik Reina menuju meja yang lelaki itu tunjukan tadi. "Makan bersama lebih baik," ujarnya.

Sampai di meja, disambut dengan tatapan penuh tanya dari lelaki yang tadi sibuk dengan ponselnya, yang Reina kenal sebagai kakak tingkatnya, Reno.

"Lo pesen lagi gih, gue pesen 2 buat dia," Ujar Ghani yang membuat lelaki berama Reno itu lebih menjatuhkan rahangnya.

"Lu bilang mau mese..."

"Udah deh, sana sana," ujarnya memotong kalimat yang akan di katakan Reno, yang hanya di balas dengan decakan sebal, Reno lalu bangkit dari duduknya untuk memesan makan siang untuknya.

***

Reina menerobos hujan deras dengan payung yang melindungi tubuh rampingnya, dia berjalan melewati rumah-rumah yang didesain sama untuk menuju rumah tempatnya tinggal. Jam belum menunjukan angka 6 tetapi langit sudah menggelap, awan hitam tidak megizinkan sedikit pun cahaya untuk menembus bumi.

Lagi-lagi tepat sasaran, berita yang Reina baca tadi pagi mengenai perkiraan cuaca untuk hari ini. Mungkin tidak setiap hari perkiraan cuaca itu benar, kadang saat perkiraan cuaca mengatakan hari ini akan hujan, tetapi tidak terjadi hujan sama sekali, atau bahkan sebaliknya.

Bunyi klakson mobil yang terparkir di depan gebang tempat tinggalnya berbunyi, membuatnya menghentikan langkah yang akan berbelok masuk gerbang. Dia tahu itu ibunya. Seorang di bangku kemudi menurunkan jendelanya, "Rein ayo masuk," teriaknya ibunya, mencoba mengalahkan air hujan yang sangat deras. Wanita yang masih terlihat modis itu menghembuskan nafasnya kasar karena Reina yang masih tidak bergerak dari titiknya berdiri, lalu wanita itu keluar tanpa menggunakan pelindung dari air hujan, berlari menuju Reina, "Ayo masuk," ujarnya, mendorong pelan tubuh Reina agar berjalan masuk ke bangku penumpang.

Setelah duduk di bangku kemudi, wanita yang sudah berumur hampir awal 40-an itu mengelap baju nya yang basah dengan tisu yang tersedia, lalu dia melajukan mobilnya meinggalkan rumah yang sudah kedua perempuan huni selama 20 tahun ini. Reina melirik sekilas pada rumah yang terlihat sepi setiap harinya, ayahnya belum pulang karena tidak ada mobil lain yang terparkir di gerbang rumahnya.

"Kita pindah rumah hari ini," ucap ibunya yang sibuk mengendarai mobil, keluar dari perumahan itu. Reina menoleh kepada ibunya, meminta pernjelasan lebih seperti kemana dia akan pindah atau alasan mereka pindah, tetapi tidak juga ibunya itu jelaskan.

"Aku tidak mau, kalian pindah saja, aku akan hidup sendiri," ujarnya datar

"Kita akan memulai hidup yang lebih menyenangkan," jawabnya, menyenangkan seperti apa tepatnya? Masih banyak pertanyaan yang ingin Reina lontarkan, tetapi dia memilih memperhatikan jalanan yang hampir tidak terlihat karena hujan yang sangat deras.

Ponsel di dalam saku blezer biru yang dia kenakan bergetar, menandakan ada seseorang yang menghubunginya. 'Ayah', beberapa huruf itu menari-nari di layar ponselnya, menunggu si penerima mengangkatnya dengan cepat. "Angkat saja," Ujar Reina, menyodorkan ponselnya kepada ibunya. Dia tidak pernah menerima telepon dari ayah atau ibunya, tidak ada seorang pun yang akan dia terima telponnya.

Alih-alih menggeser gambar telpon yang dikelilingi dengan warna hijau, ibunya malah menggeser gambar telpon yang dikelilingi dengan warna merah, menolak panggilan dari si penelpon membuat Reina mengerutkan keningnya. Mereka terus saja bertengkar? Jadi apa maksudnya memulai hidup yang lebih menyenangkan?

"Jangan angkat telpon dari ayahmu" ujar wanita yang berstatus sebagai ibunya itu. Reina kembali memperhatikan kaca mobil yang terkena air lalu disingkirkan dengan wiper mobil dengan cepat. Reina menyenderkan punggungnya, menghembuskan nafasnya kasar, lalu mengangkat satu sudut bibirnya. Mereka sepakat bercerai mungkin?

Mobil yang dikendarai ibunya memasuki kawasan perumahan mewah, hingga mobilnya berhenti di depan salah satu rumah itu. Seorang wanita tua dengan pakaiannya yang sederhana berlari kecil menuju pintu gerbang dengan payung yang melindunginya. Dia sudah menyewa seorang pembantu? Dan milik siapa mobil yang terparkir di garasi yang belum tertutup?

Seorang pria dewasa yang mungkin memiliki umur yang sama dengan ibunya berdiri di depan pintu, menyambut dua perempuan itu dengan senyuman di wajahnya. "Jaga sikapmu ya," pesan ibunya sebelum keluar dari mobil dengan orang-orang yang siap melindungi tubuh kedua perempuan itu dari air hujan.

"Sayang ini anakmu? Cantik sekali," ujar pria itu. Sayang? Siapa?

"Iya," jawab ibunya

Reina menoleh dan menatap ibunya tajam. Detik setelahnya mengangkat satu sudut bibirnya, mencemooh. "Oh ini yang kamu bilang kehidupan yang lebih menyenangkan?"

"Rein, jaga bicaranya," bisik ibunya.

Suara tawa keluar dari mulut Reina, bukan tawa menyenangkan, tapi tawa menyedihkan, menertawakan kehidupannya yang sangat menyedihkan. "Kamu saja, aku ga tertarik lagi dengan neraka yang lagi-lagi kamu ciptain," ujarnya setelah menghentikan tawa yang terdengar menyakitkan itu.

"Rein, apa yang kamu bicarain?"

Reina tidak berniat lagi membalas ucapan ibunya dan air matanya tidak bisa lagi ia tahan, membuatnya lebih memilih berlari menerjang air hujan yang deras tanpa payung, mengusap air matanya kasar.

"Rein, apalagi yang salah?" teriak ibunya, menarik tubuh Reina agar kembali menghadapnya. Dua perempuan itu berdiri di depan gerbang rumah mewah itu. Sekarang hujannya tidak terlalu deras dan mungkin perdebatan mereka terdengar oleh beberapa tetangga yang melintas.

"Apa? Kamu bilang apa yang salah?" teriak Reina tak mau kalah, "Kebahagiaan apa yang aku dapetin dari perselingkuhan kamu? APA?"

"Ini untuk kamu Rein, kamu pengen keluarga yang damai kan? Ini akan damai jika ibu hidup dengan dia dan ayahmu hidup dengan selingkuhannya," nada suaranya memelan, memohon agar Reina mengerti wanita yang sudah tidak muda itu.

"IBU? AYAH? AKU TAK PERNAH MENGANGGAP KALIAN AYAH DAN IBUKU" Teriaknya frustasi. Reina membalikan tubuhnya, berjalan cepat menembus air hujan. Terdengar seruan ibunya yang terus memanggil namanya.

Kakinya sudah menjauh dari rumah pria yang akan ditempati ibunya, kakinya sudah lemah untuk melangkah lagi, dia berjongkok, menenggelamkan wajahnya diantara kedua lututnya, menangis sangat keras, mengeluarkan semua air mata yang sejak tadi dia tahan. Terdengar sangat menyedihkan.

Air hujan yang masih turun terus menjatuhi tubuhnya, hingga seseorang datang, melindunginya dengan payung yang dia bawa. Reina mendongak, Ghani, orang itu Ghani.

Ghani berjongkok, memanfaatkan lutut kananya dan kaki kirinya sebagai tumpuan. Memeluk tubuh Reina yang masih bergetar. "Aku masih di sini Re, aku di sini," bisiknya. Lagi-lagi Reina menagis sangat keras, menangis dipelukan seseorang yang baru dia temui akhir-akhir ini.

-TBC-