Chereads / Lean On You / Chapter 1 - 1. Titik Akhirku Sama?

Lean On You

🇮🇩Ripanii
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 25.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 1. Titik Akhirku Sama?

Gadis itu menengadahkan kepalanya menatap langit, "Awan gelapnya terlalu banyak," ucapnya.

"Apa?" tanya seorang lelaki yang duduk disampingnya, menoleh pada wanita itu. Tidak mengerti dengan arah pembicaraan yang gadis itu mulai. Tatapannya berpaling menatap objek yang juga gadis itu lihat. Tidak ada awan gelap, berbanding terbalik dengan yang gadis itu ucapkan.

"Butuh hujan yang deras dan waktu yang lama untuk membuatnya kembali putih, langit kembali dengan warna asalnya. Aku, terlalu banyak rasa sakit karena cinta, menciptakan awan gelap yang terus membisikan kata, 'tidak ada cinta, semua orang akan pergi dengan sendirinya', aku terlalu takut untuk melanggar," jelasnya, lelaki itu menoleh padanya, menatapnya dengan sorot matanya yang lembut.

"Aku bisa jadi cahaya, sinar matahari, membantumu kembali cerah," ujarnya.

Gadis itu menoleh pada lelaki disampingnya yang tengah tersenyum, "Kamu tahu, sinar matahari malah menambah uap air di udara dan awan hitam semakin banyak?"

***

Suara pertemuan sepatu dengan teras menggema di sepanjang koridor, terus melangkah menuju perpustakaan fakultas, berhenti di depan loker, membawa buku dan alat tulis yang dia butuhkan lalu menyimpan tasnya dengan aman dalam loker. Gadis itu memasuki ruangan yang dipenuhi dengan rak-rak buku tinggi. Beberapa orang sibuk mencari buku yang mereka perlukan diantara ribuan buku yang ada di ruangan ini.

Reina, gadis itu, terus melangkah menuju bagian ruangan ini yang terdiri dari pasangan-pasangan meja dan kursi kayu yang disusun berderet dan saling berhadapan dan ada beberapa kursi yang dibentuk melingkar dengan meja bundar di tengahnya. Gadis itu memilih kursi paling dekat dengan jendela, dia bisa dengan nyaman melirik ke langit yang sedang mendung hari ini.

Astrophile, mungkin iya, dia seorang astrophile, penyuka langit, bintang, dan yang lainnya. Menatap langit terasa menenangkan baginya, seolah memberikan dia energi sedikit demi sedikit untuk melewati beberapa hal dalam hidupnya. Reina menghembuskan nafasnya panjang, pandangannya masih terpaku menatap langit yang mendung. Bukan, bukan langit yang mendung, langit tetap sama, tetapi awan hitam yang membuatnya terlihat menggelap.

Detik berikutnya, rintik-rintik air jatuh dari langit, semakin lama semakin deras. "Sesuai perkiraan" ujarnya pelan. Perkiraan cuaca yang tadi pagi dia baca di situs internet, sehingga dia mempersiapkan payung dalam tas kecilnya, dia tidak perlu bingung jika jam pulang nanti hujan masih turun dengan deras.

"Ghan, lo ikut kan?" suara seorang lelaki yang baru saja duduk disamping seorang lelaki lain yang duduk di hadapan Reina. Reina tidak sadar kapan ada lelaki itu duduk dihadapannya, mungkin matanya terlalu fokus pada hal yang sangat dia suka.

"Biasanya juga tiap ada acara jurusan lo ikut, tapi akhir-akhir ini lo susah banget di ajak. Di suruh bantuin buat acara mahasiswa baru aja engga dateng," ujarnya lagi. Dia berbicara tanpa memelankan suaranya, sehingga obrolannya bisa terdengar dengan jelas, dan mungkin sebentar lagi akan ada teguran untuknya.

"Males banget gue," jawab lelaki yang duduk di hadapan Reina yang matanya masih terfokus pada buku di atas meja.

Reina membereskan barang bawaannya dan bersiap untuk pindah ke kursi yang lain. Terlalu tidak nyaman. "Eh Reina kan?" tanya lelaki itu, mencoba memelankan suaranya karena beberapa pasang mata yang menatapnya jengkel. Pertanyaan itu membuat tubuhnya yang akan berdiri berhenti dan kembali duduk. "Lo ikut acara jurusan kan?" tanyanya lagi. Kak Reno, salah satu kakak tingkatnya.

"Kayanya engga," jawabnya datar. "Duluan ka" terusnya, melangkah menuju kursi kosong yang menurutnya sudah sangat menjauhi dua lelaki tadi. Terdengar gumaman kecil dari Reno, mungkin kesal dengan sikap angkuh Reina.

Gadis itu, Reina, hanya ingin sendiri menikmati hidupnya, tanpa teman, sahabat, dan seorang kekasih. Terlalu merepotkan baginya. Hidup sendiri, tanpa rasa sedih, rasa kecewa, dan rasa terhianati.

***

"Ikut aja Ghan, ini kan cuman acara setahun sekali," ujar Selli, gadis itu memeluk tangan kanan Ghani dengan satu tangannya. Ghani mencoba melepasnya, merasa tidak nyaman dengan sikap yang diberikan gadis itu padanya. Selli meyukai Ghani, semua orang tahu itu, tapi Ghani tidak pernah menganggapnya, mengejarnya dengan agresif membuat Ghani merasa terganggu bukan balik menyukai.

Langkah lelaki itu terhenti, membuat Selli terpaksa menghentikan langkahnya juga. Tatapan Ghani lurus memperhatikan sepasang kekasih yang juga memperhatikannya, si lelaki menggenggam tangan si wanita dengan bangga, seolah memberi pengumuman bahwa wanita itu miliknya. Ghani menghembuskan nafasnya kasar, bukan waktunya lagi untuk berurusan dengan dua orang dihadapanya, dia sudah terlalu lelah.

Ghani melanjutkan perjalanannya menuju parkiran, mencoba memalingkan tatapannya ke lain arah. "Malam ini, lo harus dateng" ujar si lelaki saat Ghani sudah berada sejajar dengannya yang refleks menghentikan langkahnya. "Gue ada berita baik buat lo, soal Mira" bisik si lelaki, tangannya refleks mengepal sangat erat, bisa meninjunya kapan saja.

***

"Pah, kamu jalan lagi sama cewe itu lagi kan?" ucap seorang wanita dengan nada tingginya kepada pria yang baru saja memasuki rumah.

"Maen nuduh aja," jawab si pria santai, melewati istrinya yang masih menatapnya tidak suka. "Papah baru pulang kerja, harusnya disambut malah ngajak berantem," ujarnya lagi.

Tawa si wanita terdengar diseluruh penjuru ruangan, tertawa miris, yang membuat si pria menghentikan langkahnya dan kembali menghadap si wanita. "Apa ada kalimat selain itu buat kita ga berantem gini lagi?" nada suaranya memelan, entah keberapa kalinya pertengkaran ini terjadi dengan topik yang sama. "Kamu jalan sama cewe itu lagi?" pertanyaan itu lagi dengan nada suara yang lebih rendah, tetapi tidak menghilangkan tatapannya yang tajam.

Pria itu menghembuskan nafasnya panjang, "Kalo iya kenapa? Kamu mau apa? Kamu bebas sama pilihan kamu, aku pun begitu" jawabnya santai. Jawabannya membuat kedua tangannya mengepal dengan erat. "UDAH AKU BILANG, KAMU BERHENTI KERJA DAN FOKUS URUS AKU SAMA REINA! TAPI APA? HAH? KERAS KEPALA!"

"SETELAH SAMPAI DIPOSISI INI DENGAN KERJA KERAS, KAMU MAU AKU NINGGALIN ITU?"

"MESKI ANAKMU DAN SUAMIMU DITINGGALKAN?"

"KALO BUKAN KARENA REINA, AKU PENGEN CERAI DARI KAMU"

"Kalian cerai aja." Keduanya refleks menoleh pada Reina yang berdiri di anak tangga terakhir. "Cerai atau engga, kalian tetep nyiptain neraka dikehidupan Reina. Jadi, cerai aja. Aku akan jadi orang pertama ngucapin selamat." Nada suaranya bergetar, gadis itu tidak bisa lagi berpura-pura bersikap acuh. Dengan gaun tidur selututnya dia berlari keluar rumah dan telanjang kaki, tanpa memperdulikan teriakan dari kedua orang tuanya.

Dia terus berlari, berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik di akhir langkah kakinya nanti, berharap neraka dikehidupannya cepat hilang tanpa sisa, atau bahkan berharap menghilang saja dari bumi, tidak akan ada orang yang menunggunya, tidak akan ada orang yang memohon untuknya untuk tinggal.

Hujan turun dengan deras tanpa permisi, seolah langit ikut menangis setelah menyaksikan kehidupan pahit gadis itu. Menghujam seluruh tubuh Reina, membuatnya basah kuyup dalam hitungan menit. Tidak ada satu pun hal yang membuarnya berhenti berlari, seolah memang ada kebahagiaan di akhir langkahnya nanti.

Suara decitan mobil terdengar sangat jelas, ujung mobil nyaris menabrak tubuhnya yang sekarang berdiri diam di tengah jalan, tubuhnya bergetar karena kedinginan dan terkejut dengan kejadian yang sangat cepat. Bukan kebahagiaan yang menunggunya di langkah terakhir.

TBC