Ini Hari Senin, Sheren bahkan baru saja selesai mandi saat Mama secara tiba-tiba memasuki kamarnya. Gadis cantik itu bahkan masih mengenakan bathrobe berwarna kuning cerah miliknya. Sheren seketika menoleh, dia tentu saja terkejut dengan kedatangan Mama yang tiba-tiba. Manik matanya secara tidak sengaja menangkap secarik kertas yang sangat familiar baginya berada di genggaman Mama.
"Adik kenapa tidak cerita tentang audisi ini?" tanya Mama sembari menunjukkan brosur yang sedari tadi berada di genggamannya.
Sheren terkejut melihat brosur itu secara tiba-tiba bisa berada di tangan Mama. Kemudian, Sheren menoleh ke arah meja belajarnya, tempatnya menaruh brosur itu semalam. Dan meja itu kini kosong, brosur itu telah berpindah tempat ke tangan Mama.
"Mama ambil itu dari meja She?"
"Adik, itu bukan pertanyaan penting! Kamu jangan mencoba mengaburkan inti pembicaraan ini! Adik kapan dapat ini?"
"Kemarin pagi, Ma. Sewaktu les piano. Kak Adisty memberikan itu pada She."
"Lantas, kenapa kamu tidak menceritakannya pada Mama?"
Sheren menghembuskan napas berat. "She masih ragu-ragu soal itu, Ma. She merasa ragu, apakah She bisa cocok dengan sistem kerjanya? Apa She bisa menikmati saat-saat She ada di sana nanti? She ragu dengan hal-hal itu. Dan maaf, She lupa bilang pada Mama."
"Adik takut Mama marah?"
Sheren menatap Mama dengan datar. "Bukankah itu adalah hal yang selalu Mama lakukan? Marah-marah pada kami jika kami gagal mendapatkan peringkat pertama."
Perkataan Sheren itu seketika menohok Mama. Benarkah dirinya memiliki citra seperti itu di mata anak-anaknya? Kemudian, Mama menatap Sheren dengan senyum. Senyum yang dia pakai sebagai topeng untuk menutupi rasa gelisahnya. "Mama tidak berniat begitu, sayang. Mama tidak berniat memarahi kalian. Mama melakukan itu karena Mama sayang kalian. Hanya itu."
"Benarkah? Jika Mama mengatakan itu pada Shaka, dia pasti memilih untuk mengerti. Tapi Sheren bukan Shaka, dan Sheren memilih untuk tidak mengerti alasan itu. Mama melakukan itu hanya untuk memuaskan ego Mama. Alih-alih mengucapkan kata 'Mama mencintaimu', tapi Mama justru membentak kami saat kami gagal. Itu bukan rasa sayang, Ma. Namun itu adalah racun yang Mama tanamkan dengan nama cinta. Racun yang memiliki wadah bernama cinta, dan itu bukan cinta maupun kasih sayang." Sheren menatap Mama dengan tatapan tajam, kendati dalam hati dia merasa ketakutan setengah mati. Mama pasti memarahinya, dan bisa saja Mama menamparnya. Namun, Sheren justru merasakan kelegaan di saat yang sama. Karena dia berhasil mengungkapkan isi hatinya selama ini.
"Begitukah? Kamu masih terlalu kecil untuk menyadari betapa jahatnya dunia ini. Kamu masih terlalu naif, karena kamu masih muda. Dan suatu saat, kamu pasti akan tahu maksud Mama," ucap Mama dengan senyum.
"Dan She harap Mama salah," bantah Sheren.
"Mama tahu Mama benar, dan itu mutlak. Jadi, apa yang membuat She yakin bahwa She benar? Pengalaman hidup? Pengalaman kerja? Atau pengalaman mengarungi sulitnya hidup tanpa perlindungan?"
Sheren menggigit bibir bawahnya, kedua matanya menatap Mama tajam. "She tahu She masih muda. Tapi, She bukannya tidak memiliki perasaan. She bisa merasakan bahwa Mama sangat kejam, otoriter, tiran, dan apalah itu sebutannya. Mama memperlakukan Sheren dan Shaka bagaikan boneka."
Mama tersenyum, netra sekelam malamnya menatap si bungsu dengan datar. "Begitukah? Sayang sekali argumenmu sangat lemah. Kamu minim pengalaman hidup. Kamu masih muda, dan masih labil. Mama tahu itu. Mama mengenalmu dengan sangat baik, sebaik Mama mengenal diri Mama sendiri." Mama menepuk pundak Sheren sekilas, kemudian berjalan pergi meninggalkan kamar Sheren. Sepeninggal Mama, Sheren menjambak rambutnya dengan kesal. Kenapa dia selalu tidak berdaya di hadapan orang tua?!
***
Kesialan Sheren sepertinya tidak akan berakhir hanya pada dirinya yang kalah beradu argumen dengan Mama. Seusai upacara, seseorang secara tidak sengaja menabraknya. Sialnya, orang itu membawa gelas plastik berisi es jeruk. Tentu saja es itu langsung tumpah sebagian mengenai seragam Sheren. Kemeja putihnya basah di bagian pundak kanan.
"Maaf, maaf, aku enggak sengaja," ucap si penabrak dengan panik. Bola matanya memancarkan ketakutan dan rasa bersalah yang berpadu menjadi satu.
Sheren menatap gadis itu dengan datar. Kemudian berkata, "Sudahlah, pergi sana! Memang apa yang bisa dipersalahkan dan dimaafkan dari kejadian ini? Kata maafmu dan rasa kesalku tidak akan serta merta membuat seragamku kembali bersih." Sheren kemudian berlalu menuju lokernya untuk mengambil kemeja cadangan. Gadis cantik itu memang selalu membawa tiga setel seragam bersih di lokernya setiap hari.
***
"Ck! Theresa itu kenapa nekat sekali sih? Kalau aku jadi dia, aku pasti akan mundur saja!"
"Ya benar. Berpacaran dengan Shaka adalah satu hal. Namun, menikah dengannya adalah kemustahilan. Dia adalah pewaris perusahaan besar, sementara Mamanya adalah seorang komposer terkenal. Adiknya Shaka juga dipastikan mewarisi harta Mamanya kan?"
"Iya, itu pasti. Dan Theresa tadi mengatakan bahwa apapun yang terjadi, dia akan menikah dengan Shaka kan?"
"Iya. Menurutmu, apakah Mama si kembar akan setuju? Beda cerita jika yang mengatakan itu adalah Sashi maupun Azkana. Dua gadis itu kan berasal dari keluarga kaya, tapi Theresa?"
Sepasang telinga Sheren tentu saja mendengar semua percakapan itu. Sheren sedari tadi tengah berada di salah satu bilik toilet untuk berganti baju. Gunjingan-gunjingan itu membuat hatinya sangat sakit. Memang apa salah saudaranya pada mereka? Dan kenapa mereka ikut campur urusan Shaka? Cinta, cita-cita, dan keluarga adalah privasi masing-masing orang yang tidak berhak dicampuri oleh orang lain. Sheren menghembuskan napas panjang, kemudian dia keluar dari bilik toilet.
Para gadis yang sedang bergunjing itu tentu saja terkejut. Ditambah lagi, Sheren menatap mereka dengan tajam sambil berjalan cepat menuju mereka. Para gadis itu secara refleks beringsut mundur. Mereka takut dengan tatapan tajam Sheren dan reaksi gadis itu yang secara demonstratif memojokkan mereka. Tangan kiri Sheren berhasil meraih pundak salah satu gadis itu dan memegangnya dengan erat. Seulas senyum manis terbit di bibir Sheren. Senyum itu memang cantik, namun senyuman itu memiliki sejuta makna lain dibaliknya. Gadis yang dicengkeram oleh Sheren itu hanya bisa berdiri kaku, ekspresi wajahnya menyiratkan ketakutan. Sementara itu, teman-teman gadis itu hanya bungkam. Mereka tak berani ikut campur masalah ini walau mereka juga salah. Selama ini, Sheren terkenal sebagai salah satu anak emas sekolah. Dan mereka tidak ingin mendapat masalah yang serius.
"Kalian sepertinya sangat memiliki waktu luang ya? Sehingga bisa bergosip dan menggunjingkan orang lain. Oh ya, rambutmu bagus juga. Kamu merawatnya di salon ya?" kata Sheren seraya mengelus lembut rambut panjang setengah keriting milik teman Theresa dan Shaka ini, "Aku membayangkan, betapa bagusnya rambutmu saat kucabut paksa dari kepalamu. Kamu bisa bantu aku merealisasikan bayanganku itu?" Kemudian, gadis itu menampik tangan Sheren dengan ketakutan. Lalu, mereka berlari meninggalkan toilet perempuan. "Ck, dasar pengecut," gumam Sheren kesal. Sheren kemudian berlalu meninggalkan toilet yang sudah kosong ini.
***
"Rhe, si Sheren kenapa?" bisik Sashi pada Rhea. Kedua gadis itu sedari tadi sedang mengamati Sheren dalam diam. Sejak kembali dari toilet, ekspresi wajah Sheren tampak sadis. Dia terus tersenyum sepanjang waktu.Hal itu tentu saja aneh bagi Rhea dan Sashi. Sheren tidak pernah tersenyum sepanjang waktu terus menerus. Pasti sesuatu telah terjadi!
Sashi memberi kode pada Rhea untuk memastikan keadaan Sheren. Dan sepertinya bukan hanya Sashi dan Rhea saja yang merasa aneh, namun juga Bu Kiki. Hal itu terbukti dari tatapan khawatir guru matematika itu. "Sheren,ada soal yang ingin kamu tanyakan?" tanya wanita itu. Karena sedari tadi, Sheren terus menatapnya dengan senyum tipis. Dan itu adalah hal yang tak pernah dia lakukan! Sheren biasanya selalu menatap orang-orang dengan wajah serius.
"Tidak, Bu. Saya sudah paham dengan penjelasan Ibu," jawab Sheren dengan senyum lebar.
"Benarkah?"
"Iya Bu. Bu Kiki tidak perlu khawatir," senyum Sheren. Akhirnya, Bu Kiki memilih untuk tidak bertanya lagi karena beliau menyadari, bahwa beliau tidak boleh memasuki privasi Sheren lebih dalam lagi. Reaksi Bu Kiki tentu saja tidak luput dari perhatian Rhea dan Sashi. Kedua gadis itu saling melirik penuh arti. Akhirnya, sepanjang pelajaran matematika mereka lalui tanpa pertanyaan pada Sheren.
***
Sashi dan Rhea segera membawa Sheren menuju taman belakang setelah bel istirahat berbunyi. Hal itu tentu saja menjadi tanda tanya bagi Sheren. Namun, gadis cantik itu memilih untuk tidak bertanya. Karena menurutnya, dia akan tahu sendiri setelah ini.
Sayangnya bukan kedamaian yang mereka dapatkan untuk membicarakan hal privasi, melainkan mereka justru melihat langsung pertengkaran Shaka dan Theresa. Hal itu tentu saja membuat ketiganya kaget. Sashi dan Rhea refleks bersembunyi bersama Sheren dibalik semak-semak bunga yang tumbuh subur di taman itu.
"Kalian sengaja mengajakku ke sini untuk memberitahuku bahwa mereka bertengkar ya?" bisik Sheren sambil mengintip kakaknya melalui celah-celah kecil semak-semak.
"Bukan! Kami membawamu ke sini untuk bertanya tentang sikap anehmu sepanjang hari ini. Namun, kita justru melihat pertengkaran dua sejoli ini," jawab Rhea berbisik. Ketiga gadis itu kemudian terfokus pada Shaka dan Theresa yang kini sedang berdebat. Namun,suara perdebatan mereka tidak bisa terdengar dari tempat ketiga gadis itu bersembunyi. Hanya gestur saja yang terlihat dari sini.
Sebuah perasaan marah secara tiba-tiba menyusup ke hati Sheren. Rasa marah ini bukan berasal dari dirinya, melainkan dari Shaka. Sheren selalu bisa merasakan perasaan Shaka kendati mereka tidak berada di ruang dan waktu yang sama. Biasanya, perasaan tenang dan damailah yang menyusup ke hati Sheren. Namun kini berbeda. Perasaan ini adalah luapan emosi marah yang terpendam sangat lama dan kini sedang meledak hebat. Tiba-tiba, Sheren teringat sesuatu. Shaka dan Theresa selama ini berpacaran kan? Namun, kenapa Sheren tidak pernah merasakan perasaan senang maupun perasaan kasmaran dari Shaka? Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Seketika, Sheren berdiri. Hal itu tentu saja membuat kedua rekannya panik. Mereka semakin bertambah panik saat Sheren berlari menghampiri Shaka. Namun, baik Rhea maupun Sashi tahu, bahwa Shaka tidak akan pernah menyakiti adiknya semarah apapun ia. Jadi, Rhea dan Sashi memutuskan untuk menjauh dari taman dan mencari tempat persembunyian lain untuk mengamati tiga remaja itu.
"Shaka!"
Panggilan itu membuat Shaka dan Theresa menoleh. Sheren mendatangi mereka dengan napas terengah-engah. Gadis cantik itu baru saja berlari untuk menghampiri keduanya. Dan netra Sheren bisa melihat dengan jelas adanya jejak air mata di pipi Theresa dan kemarahan dari Shaka. Sheren kemudian menatap Shaka seraya berkata, "Ayo ikut aku."
Saudara kembar itu kemudian meninggalkan taman tanpa basa-basi pada Theresa. Dan kini, hanya tinggal Theresa saja yang berada di taman itu. Rhea dan Sashi pun sudah pergi meninggalkan taman. Kini, disaksikan oleh sang mentari, Theresa menangis meraung.
***
"Kamu gak cinta sama Theresa," ucap Sheren langsung. Gadis itu menatap Shaka dengan tatapan penasaran, " Kalau kamu gak cinta, kenapa kamu menjadikan Theresa sebagai pacarmu?"
Shaka tersenyum datar, tangan kanannya mengelus lembut surai adiknya yang berkibar akibat terpaan angin di atap sekolah. "Kamu kenapa bisa berasumsi demikian?"
Sheren menangkis tangan kakaknya lembut. Lalu, Shaka tidak lagi mengelus rambut adiknya. "Karena aku bisa merasakannya. Sesaat, aku lupa bahwa aku bisa merasakan perasaanmu seperti kamu yang bisa mengetahui memoriku dalam benakmu. Aku tidak merasakan adanya perasaan menggebu-gebu, penuh cinta, bahagia, atau definisi perasaan kasmaran lainnya. Yang kurasakan selama ini hanyalah ketenangan yang terkadang beriak karena lelah," ucap Sheren.
Shaka menatap Sheren heran. "Siapa yang tidak cinta siapa?"
"Kamu gak cinta sama Theresa. Kamu merasa bingung, dilema, dan merasa bersalah. Tapi, aku tidak bisa menemukan rasa cinta dalam hatimu untuk dia."
Senyum mengukir di bibir Shaka, senyuman perih bercampur lelah. "Aku gak tahu apakah ini bisa dinamakan cinta atau bukan. Tapi, alasan aku jadian dengan dia adalah rasa kagum. Theresa baik, dia peduli, dan penyayang. Dia juga pekerja keras. Aku mengagumi semua itu. Dia juga tidak banyak menuntut kendati dia tahu bahwa aku mampu untuk membelikannya barang-barang mahal."
"Lalu, kenapa tadi kalian bertengkar? Dari ucapanmu, seharusnya tidak ada hal serius yang terjadi. Tapi, kenapa tadi kalian bertengkar?" Sheren menyorot sang kakak dengan pandangan tidak mengerti. Seharusnya, Shaka dan Theresa tidak mengalami pertengkaran hebat seperti tadi. Kakaknya jelas-jelas menampakkan binar kagum pada Theresa, walau rasa cinta untuk gadis itu tidak ada di hati kakaknya.
Shaka mengusap lembut rambut adiknya. "Kamu tahu kan Mama tidak setuju dengan hubungan kami? Akhir-akhir ini, Theresa meminta kejelasan tentang hubungan kami. Di satu sisi, aku tidak bisa melawan kehendak Mama karena aku tahu, posisi Mama tetaplah lebih tinggi dari Theresa. Dan selebihnya, kamu bisa menebak sendiri."
"Kakak, nanti sepulang sekolah pergi yuk! Enggak usah les dulu hari ini," ucap Sheren riang.Gadis itu memiliki sebuah rencana dalam benaknya. Hatinya merasa gelisah saat netranya menyorot tatapan sendu dari mata sang kakak.
"Ke mana?" tanya Shaka, sepasang netranya kini menyorot Sheren dengan penasaran.
"Rahasia."
Shaka mengangguk pasrah. Pemuda itu yakin adiknya tidak akan menjerumuskannya ke hal-hal aneh. Jadi, dia memutuskan untuk mengikuti kemauan adiknya.
***
Sepulang sekolah, Shaka memutuskan untuk mengikuti keinginan adiknya. Namun sebelum mereka pergi, Shaka terlebih dulu mengirim pesan pada Mama untuk tidak les hari ini. Mama tentu saja mengirimkan banyak pertanyaan untuk Shaka dan adiknya. Namun, Sheren menyuruh Shaka untuk tidak memberitahukan yang sebenarnya dan hanya memintanya untuk memberitahu Mama bahwa mereka tidak pergi ke mana-mana dan masih berada di daerah Surabaya. Shaka menurut, pemuda itu mengirimkan pesan pada Mama sesuai yang diminta adiknya. Kemudian, mobil yang ditumpangi Sheren dan Shaka melaju meninggalkan halaman parkir sekolah.
"Dik, kita sebenarnya mau pergi ke mana sih?" Shaka mulai penasaran sekaligus kesal. Pasalnya, dia telah menyetir selama 15 menit dan jalan yang mereka lalui bukan jalan raya. Mobil yang dikendarai Shaka sedari tadi terus melintasi daerah pemukiman padat penduduk, yang mana harus membuatnya ekstra hati-hati dan mengemudi dengan pelan.
"Pertigaan di depan, belok kiri," ucap Sheren sambil mengunyah permen jeli rasa susu berbentuk sapi yang dia beli di sekolah.
Shaka memutar kemudinya saat berada di pertigaan. "Sebenarnya kita mau ke mana sih?! Kenapa sedari tadi terus menyusuri jalanan asing ini!" Benar, jalan yang mereka lalui sekarang sangatlah asing bagi Shaka. Seumur hidup, dia belum pernah melewati jalan ini.
"Kamu PMS ya, Ka? Kok marah-marah mulu dari tadi?" goda Sheren pada kakaknya.
"Kamu kira siapa yang tidak marah jika dia harus menyusuri jalan asing? Ditambah pula, dia enggak tahu di mana tujuan akhir dari jalan asing itu!" Nada suara Shaka terdengar sedikit meninggi. Hanya sedikit sekali, dan Sheren tahu kakaknya tidak benar-benar marah padanya. Pemuda itu hanya penasaran tentang tujuan mereka kali ini. Dan dia kesal karena rasa penasarannya tidak terpuaskan.
"Jalan ini memang asing untukmu, tapi tidak bagiku," senyum Sheren. Gadis itu mengedip, "Di depan sana, ada rumah bercat biru dengan pagar berwarna hijau. Nah, itu adalah tujuan kita."
Perlahan, kecepatan mobil yang dikendarai oleh Shaka melambat karena dia melihat sebuah pagar dengan ciri-ciri yang disebutkan adiknya berada tidak jauh dari mereka sekarang. Lalu, mobil benar-benar berhenti saat tiba di depan pagar rumah itu. Sheren turun lebih dulu, kemudian disusul oleh Shaka.
Pemandangan asing menyambutnya. Netra tajam Shaka mengamati kondisi lingkungan asing ini dengan seksama. Dia melihat sebuah benda mirip kandang, berbahan kayu dan bertingkat tiga, serta beratap seng di halaman rumah itu. Dan benar, itu adalah kandang. Namun kandang itu sedang kosong. Remaja kembar itu kemudian memasuki ruang tamu rumah itu setelah melepaskan sepatu di teras. Shaka terkejut karena adiknya masuk ke rumah itu tanpa permisi, namun Shaka refleks mengikuti adiknya yang memasuki rumah itu. Shaka juga lupa mengucapkan kata permisi. Hal itu membuatnya menepuk dahinya menggunakan tangan kanan.
"Enggak usah sampai begitu dong, Ka! Pemilik tempat ini tidak butuh permisi untuk kita," tawa Sheren. Gadis itu kemudian menarik tangan kiri saudara kembarnya itu untuk memasuki ruangan lain dari rumah itu. Mereka kini memasuki dapur.
"Permisi, maaf sudah melakukan tindakan tidak sopan," ucap Shaka sambil menundukkan kepalanya pada seorang wanita yang berada di dapur. Wanita itu kaget melihat kedatangan Sheren dan kakaknya. Namun, keterkejutan itu hanya sesaat.
"Oh iya, tidak apa-apa," ucap Wanita itu pada Shaka. Kemudian, wanita itu beralih menatap Sheren seraya berkata, "Dia siapa, She?"
Sheren tersenyum lebar. "Menurutmu, dia siapa?"
Wanita itu kemudian menatap Shaka dan Sheren secara bergantian. Netra hitamnya kemudian menyadari adanya kemiripan pada wajah keduanya. Yang membedakan adalah garis wajah mereka. Sheren memiliki garis wajah lembut, sementara garis wajah tegas dimiliki oleh Shaka. Wanita itu kemudian tersenyum. "Dia kembaranmu?"
"Seratus untuk Tante Lita! Omong-omong Tan, kok sepi? Om Dean ke mana?" ucap Sheren sambil berjalan menuju pintu yang berada di sisi lain dapur. Shaka refleks mengikuti adiknya. Pemuda tampan ini menyimpulkan bahwa perempuan bernama Lita ini saling mengenal dengan adiknya.
"Kerja. Kamu tahu kan kalau Om Dean dan Catalina sibuk bekerja sama untuk membuka klinik hewan baru?" kata Lita sambil memindahkan mangkuk sayur berisi sop ayam ke meja makan. Bau harum makanan menyelimuti dapur.
Sheren memegang kenop pintu berwarna coklat itu, namun dia belum membukanya. "Loh beneran jadi buka di Surabaya? Bukannya Kak Cat punya klinik di Makassar?"
Lita mengangguk. "Cat ingin membuka cabang di sini. Eh iya, kalian sudah makan?"
"Pertanyaan bagus! Tentu saja sudah, tapi aku tidak keberatan jika disuruh makan lagi," senyum Sheren. Kemudian, dia menatap Shaka yang tengah menatapnya dengan tatapan memperingatkan, "Ya kan, Ka? Oh ya, enggak usah khawatir dengan Tante Lita dan Om Dean. Mereka bukan orang jahat walau wajah mereka menyeramkan." Sheren tertawa sambil membuka pintu.
Pemandangan di balik pintu itu membuat Shaka terkejut sekaligus takjub. Di balik pintu itu, terdapat tanah lapang dengan pepohonan rindang yang sejuk. Di salah satu sudut tanah itu, terdapat beberapa bangunan semi permanen sangat luas yang berfungsi sebagai kandang. Yang menarik adalah, terdapat belasan ekor kucing-kucing lucu yang tengah bermain dan berlarian ke sana ke mari.
"Rumah ini milik pasangan dokter. Om Dean adalah dokter hewan, begitu juga Kak Catalina. Sedangkan Tante Lita adalah dokter, yang juga memiliki perusahaan farmasi. Anak pertama keluarga ini namanya Cyrus, dia laki-laki yang juga seorang dokter dan pacar Kak Felicia," kata Sheren. Kemudian, seekor kucing berwarna abu-abu mendatangi Sheren. Gadis cantik itu kemudian menggendong si kucing dengan perasaan sayang, "Rumah ini adalah penampungan kucing-kucing terlantar. Mora dan Miko berasal dari sini." Mora dan Miko adalah sepasang kucing yang diadopsi oleh Felicia.
Dan Shaka berani bersumpah bahwa dia melihat binar mata bahagia yang benar-benar rasa bahagia yang berasal dari hati pada binar mata adiknya sekarang. Sebuah binar mata yang tidak pernah ditunjukkan oleh adiknya selama beberapa tahun ini. "Adik kenapa tidak ikut mengadopsi kucing-kucing ini?"
Sheren tidak menjawab. Gadis itu justru berjalan meninggalkan Shaka di ambang pintu. Sheren tengah berjalan menuju saung yang berada di salah satu sisi halaman ini. Binar mata itu beberapa tahun ini perlahan tapi pasti telah hilang. Shaka terakhir melihat binar itu saat mereka berusia enam tahun. Dan dia tak pernah bisa melupakan binar itu karena binar bahagia itu.
"Sheren sebenarnya ingin, tapi dia takut untuk memelihara kucing-kucing itu. Mama dan Ayah kalian pernah datang ke mari beberapa kali. Mereka meminta kami untuk membiarkan Sheren mengadopsi kucing-kucing di sini dengan alasan agar dia tidak kesepian. Namun, dia menolak." Seorang laki-laki muda tiba-tiba berdiri di samping Shaka sambil berbicara. Dan hal itu membuatnya terkejut.
"Anda siapa?!" tanya Shaka terkejut sambil menatap laki-laki itu.
Laki-laki itu tertawa kecil melihat keterkejutan Shaka. Kemudian berkata, " Cyrus Michael. Omong-omong jika aku boleh tahu, apa yang terjadi padanya saat berusia enam tahun? Sikapnya yang dingin bukan sikap yang sebenarnya."
"Kak Feli tidak cerita?"
Cyrus menggeleng. Laki-laki itu menatap Shaka dengan tatapan dalam. "Ketakutan itu berhubungan dengan hewan peliharaan, benar?"
Shaka memalingkan wajahnya dari Cyrus. Pemuda itu kemudian menatap Sheren dengan sendu. Sheren kini duduk di saung sambil bermain bersama kucing-kucing itu. "Dulu, kami tidak tinggal di perumahan kami yang sekarang. Kami dulu tinggal di perumahan Chrystal Land. Hidup Sheren dulu tidak sesepi sekarang. Dia menutup diri karena empat ekor kucing peliharaannya yang merupakan hadiah ulang tahun dari orang tua kami, tewas diterkam ular piton peliharaan tetangga kami yang lepas dari kandang. Saat kejadian itu terjadi, kami baru saja pulang sekolah saat menemukan ular itu tengah membelit kucing Sheren di depan kamarnya. Para asisten rumah tangga kami terlambat menyadari bahwa ular itu telah masuk ke rumah. Kucing bernama Lio itu akhirnya dimakan oleh ular tersebut, kendati para asisten rumah tangga kami berusaha membebaskannya."
Baik Cyrus, Catalina, Lita, dan Dean kehilangan kata-kata saat mendengar penuturan dari Shaka. Mereka tahu bahwa kejadian itu sangat memberikan dampak traumatis bagi anak seusia Sheren saat itu. Shaka kemudian melanjutkan, "Kakak tahu apa yang lebih menyakitkan dari itu? Sheren tidak menangis, dia tidak menunjukkan gejolak emosi di wajahnya walau matanya menunjukkan kesedihan. Ditambah lagi, keempat kucingnya tidak bisa kembali lagi karena semua sudah terlambat. Dan binar bahagia itu lenyap. Diganti dengan binar suram dan emosi yang tidak stabil."
Sementara itu, Sheren menatap kucing-kucing yang kini tengah berlarian di sekitar tempat duduknya dengan perasaan sendu. Dalam hati, dia sebenarnya ingin memelihara salah satu dari kucing-kucing ini. Namun, dia takut. Dia takut kehilangan mereka. Dia takut dia mengalami kegagalan dan kehilangan mereka lagi. Dia tidak mau itu terjadi, karena Sheren tahu rasa sakitnya. Rasa sakit kehilangan binatang kesayangan memiliki rasa sakit yang sama dengan kehilangan orang terkasih. Rasa sakit yang sulit untuk disembuhkan. Jadi, yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah sering berkunjung ke mari dan bermain bersama hewan-hewan menggemaskan ini.
Di sisi lain, Shaka tengah bermain dengan kucing berbulu oranye dengan kombinasi bulu berwarna putih di perut dan sisi dalam keempat kakinya. Sebuah perasaan damai dan bahagia menyusup ke dalam hati Shaka saat dia mengelus lembut bulu kucing itu. Bersamaan dengan itu, beberapa memori milik adiknya masuk ke dalam benaknya. Memori tentang adiknya yang merasakan kebahagiaan karena dia sedang bermain bersama kucing-kucing ini.
***
Surabaya, 20 Januari 2020
Aku sebenarnya menyayangi kucing-kucing ini. Namun, aku terlalu takut untuk memulai kembali lembar baru bersama hewan-hewan lucu ini. Berbagai kelebat perasaan muncul silih berganti karena kejadian itu. Perasaan yang hingga kini tidak bisa kulupakan. Aku sangat marah pada satpam penjaga rumah kami, karena kelalaiannya yang menyebabkan Lio, Lion, Miika, dan Miiku dimangsa oleh piton sialan itu! Aku juga sangat marah pada para pembantu rumah tangga kami, karena mereka membiarkan kucing-kucing kesayanganku lepas dari pengawasan. Aku marah pada Mama dan Ayah karena tidak menuntut pertanggung jawaban pada si pemilik ular itu dan justru menyuruhku untuk mengikhlaskan kepergian anabul-anabul kesayanganku!