Chereads / Catatan Cerita / Chapter 12 - Catatan 11 : Momen Menyenangkan

Chapter 12 - Catatan 11 : Momen Menyenangkan

Hari ini, seluruh siswa tengah sibuk mempersiapkan fesival yang akan dimulai dua minggu lagi dan akan berlangsung selama tiga hari. Pagi ini, para anggota osis sibuk ke sana ke mari mendata para siswa yang akan berpartisipasi dalam acara ini. Tak terkecuali dengan Oriana dan Arissa. Dua gadis itu adalah anggota osis. Jadi untuk hari ini dan beberapa hari ke depan, pelajaran di sekolah tidak bisa diajarkan secara penuh.

Dan jam pelajaran kimia pagi ini kosong. Kondisi kelas menjadi ramai karena tidak adanya guru yang mengajar. Beberapa siswa-siswi saling mengobrol, sementara sisanya sibuk dengan ponsel. Kecuali seorang gadis berambut hitam panjang yang mengenakan bandana berwarna putih dengan aksen pita. Sheren tengah membaringkan tubuhnya di dua kursi yang dia susun berderet. Sementara salah satu pemilik kursi itu tengah bergosip dengan Sashi. Momen ini adalah salah satu momen terbaik Sheren, karena dia bisa menikmati hobinya dengan tenang. Kedua telinganya tertutupi oleh headset yang memutar sebuah lagu klasik favoritnya.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama saat Shaka dan Arissa memasuki kelas Sheren. Sepasang netra Shaka melihat sepasang sepatu berwarna biru berada di atas sebuah kursi. Dan Shaka tahu itu adalah sepatu adiknya. Teman-teman Sheren bergegas kembali ke kursi mereka masing-masing, termasuk Rhea. Namun, gadis berambut coklat itu mengurungkan niatnya saat dia melihat Shaka menatapnya sambil menggelengkan kepala. Akhirnya, Rhea menduduki bangku Arissa yang kosong.

Sementara itu, Shaka berjalan dengan pelan dan hati-hati menuju kursi yang dipakai oleh adiknya. Arissa dan teman-teman Sheren yang lain menatap Shaka dengan penasaran. Mereka penasaran dengan tindakan Shaka selanjutnya dan reaksi Sheren atas itu. Mereka penasaran dengan interaksi remaja kembar tersebut.

Shaka menunduk, manik matanya menatap sang adik dengan pandangan jenaka. Dia tahu Sheren tidak tidur, namun adiknya terlalu malas untuk membuka mata. Perlahan-lahan Shaka berjongkok, kemudian Shaka meniup-niup lembut kelopak mata adiknya. Hal itu tentu saja membuat Sheren merasa terganggu. Gadis itu kemudian membuka mata seraya mengubah posisi menjadi duduk. "Kamu kenapa ada di sini?!" ucap Sheren kesal seraya melepas kedua headset dari telinganya.

"Ada pengumuman dari osis yang harus aku umumkan," senyum Shaka seraya berdiri. Kemudian, pemuda itu berlalu dari samping Sheren. Sementara itu, Sheren menatapnya dengan pandangan kesal. Gadis cantik itu kesal karena Shaka menginterupsi momen Sheren rebahan.

"Selamat pagi menjelang siang, kami adalah perwakilan dari osis. Nah, kami akan memberitahukan beberapa hal kepada kalian terkait pentas seni yang akan diadakan saat festival nanti. Pentas seni nanti bukan hanya sekedar pentas seni, melainkan juga diadakan kompetisi antar kelas untuk memperebutkan juara pementasan terbaik. Dan pentas seni akan diadakan dua minggu lagi," jelas Arissa.

Sashi mengangkat tangan. "Jadi, ini semacam ajang pencarian bakat ya?"

Shaka mengangguk. "Benar, mirip seperti itu. Pemenangnya nanti akan diberikan hadiah uang tunai. Jumlahnya? Tentu saja rahasia. Nah, ada enam kategori untuk perlombaan pentas seni. Pertama adalah tari tradisional kelompok, kedua adalah tari tradisional individu, ketiga adalah pementasan drama, keempat adalah menyanyi secara berkelompok, berikutnya adalah menyanyi individu, dan yang terakhir adalah musik instrumental." Saat Shaka menyebutkan kata musik instrumental, teman-teman Sheren serempak melirik gadis cantik itu. Sedangkan Sheren justru sibuk meletakkan kepalanya di atas meja. Tindak-tanduk adiknya itu tentu saja membuat Shaka gemas karena kesal.

"Jadi, kalian bisa berdiskusi tentang siapa saja yang akan mengisi kategori-kategori ini. Lalu, daftarnya berikan padaku atau Oriana," ucap Arissa. Kemudian, Arissa dan Shaka berlalu dari kelas itu. Setelah Arissa dan Shaka berlalu dari kelas,para siswa kemudian saling berdiskusi. Mereka tengah menentukan siapa saja yang akan mewakili kelas mereka. Sementara itu, Sheren sama sekali tidak tertarik dengan diskusi itu. Dia justru kembali memejamkan mata.

"Pokoknya, kelas kita harus menjadi juara!" kata Radinka berapi-api. Seringai terbit di bibir Sheren saat mendengar ucapan Radinka. Rupanya, bukan hanya keluarganya saja yang ambisius. Namun juga hampir seluruh temannya.

"Jadi untuk musik instrumental, siapa yang akan mengisi? Sheren?" tanya Nathanael yang berada di depan kelas sembari memegang spidol. Nathanael adalah wakil ketua kelas Sheren.

Sheren melotot mendengar ucapan Nathanael, gadis cantik itu seketika terduduk. "Apa?! Aku?" ucapnya sambil menunjuk dirinya sendiri. Nathanael mengangguk. "Aku gak bisa, Nael. Pentas seni akan diadakan dua minggu lagi kan? Dan aku gak bisa. Lebih baik Adeline saja," imbuh Sheren.

"Kenapa kamu gak bisa? Jika kamu ikut, probabilitas kemenangan kelas kita di musik instrumental sangatlah tinggi! Kamu memiliki banyak sekali sertifikat penghargaan internasional di bidang piano, She," bantah Nathanael.

Mendengar itu, Sheren seketika mendengus. "Nael, aku ada kompetisi di Jerman. Dan aku butuh waktu untuk berlatih, tentu saja waktu yang dibutuhkan tidak sebentar. Dan aku tidak ingin membuang waktuku hanya untuk kompetisi internal sekolah. Lagi pula, masih banyak siswa berbakat lainnya kok di sini. Tidak hanya aku."

Nathanael mengangguk mengerti. "Baiklah, semoga kamu bisa menjadi juara ya? Aku tahu kamu bisa!" Nathanael kemudian menoleh pada teman-temannya yang lain. "Baiklah, yang menjadi perwakilan kelas kita adalah Adeline untuk musik instrumental. Bagaimana Adeline?"

"Tentu," senyum Adeline. Gadis itu menyetujui ucapan Nathanael karena dia memang memiliki waktu luang. Orkestra diliburkan setelah enam bulan mereka terus bekerja tanpa jeda.

Sheren kemudian kembali memejamkan matanya. Dia sudah tak peduli dengan pembahasan teman-temannya yang lain. Kini, yang dia butuhkan adalah kembali mengistirahatkan dirinya. Sayangnya, dia sudah tidak berminat untuk merebahkan diri di kursi lagi setelah Shaka menjahilinya tadi.

***

Sekolah dipulangkan lebih awal untuk persiapan festival. Sheren berniat untuk pulang dengan taksi daring saat Shaka tiba-tiba menarik lengannya. Pemuda itu bahkan membawa ranselnya di pundak. "Loh, kamu kenapa di sini? Kamu bukannya osis?"

Shaka menoleh ke kanan dan ke kiri. Kemudian dia membisikkan sebuah kalimat di telinga adiknya, "Ingat tentang audisi Golden Light? Aku sudah mencari informasi dari Shawn, dia bilang agensinya bagus. Jika kamu ingin tahu lebih lanjut, kamu bisa menghubunginya karena aku memiliki nomor ponselnya."

"Terus, kenapa kamu harus berbisik sih?" Sheren benar-benar heran mengapa saudara kembarnya ini harus berbicara dengan cara berbisik. Lagi pula, hal ini bukanlah informasi rahasia negara.

"Bukan begitu! Shawn memiliki banyak penggemar di sekolah ini. Jika mereka mendengar bahwa aku masih berkomunikasi dengannya, mereka pasti akan menanyakan hal-hal tentang Shawn. Mulai dari kapan dia pulang sampai apakah dia memiliki pacar!"

Sheren tertawa mendengar penuturan saudara kembarnya itu. Kemudian, gadis itu tersenyum jenaka seraya berkata, "Bukannya kamu sudah biasa menjadi pusat perhatian ya, Ka? Kenapa sekarang malah tidak suka? Kamu kalah ganteng ya dari Shawn?"

"Enggaklah! Mana mungkin aku kalah ganteng dari Shawn!" bantah Shaka mengibaskan tangan kanannya.

Sheren tertawa, namun tawa itu berhenti karena dia melihat Theresa dari kejauhan. Theresa tengah berjalan menuju gedung olahraga. Tubuh rampingnya dibalut dengan seragam berwarna putih yang biasa digunakan untuk berlatih karate. "Ka, pacarmu Ka!" Sheren berucap sembari melirik sang kakak. Dia penasaran dengan reaksinya.

"Sekarang bukan lagi. Pulang yuk!" Kemudian, Shaka menarik lengan adiknya agar mengikutinya. Sheren tersenyum miris. Dalam hati, dia merasa kasihan dengan sang kakak. Mereka masih remaja, namun mengapa gerak mereka dibatasi? Bahkan soal hati.

***

Sheren baru saja selesai berganti pakaian saat seseorang mengetuk pintu balkonnya. Gadis itu mengernyit keheranan. Siapa itu? Apakah maling? Dengan hati-hati, dia berjalan mengendap-endap menuju pintu balkon yang ditutupi oleh tirai tebal. Kemudian, dia mengintip dari celah tirai. Rupanya, si pengetuk adalah Rhea. Dengan kesal, Sheren menggeser pintu itu setelah membuka tirainya. "Kenapa sih Rhe?! Kamu usil banget deh!"

"Sengaja kok," tawa Rhea renyah. Kemudian, Rhea menunjuk sebuah karpet yang digelar di teras balkon di depan kamar Shaka. Di atas karpet itu terdapat sebuah cobek besar lengkap dengan ulekan dari batu, satu ember plastik besar, beberapa buah, gula merah besar yang terbungkus plastik, dan masih banyak lagi.

"Kalian mau ngapain? Terus kok bisa kalian menggelar karpet di sana?"

"Shaka yang kasih ijin. Kami berencana untuk mengadakan pesta makan rujak. Kak Ricky juga datang. Terus temannya Shaka yang artis itu juga."

Sheren menghela napas mendengar penjelasan Rhea. Teman-teman dan kakaknya memang suka sekali membuatnya terkejut. Hal mengejutkan seperti ini tidak hanya terjadi sekali, namun berkali-kali. Dan dia tetap saja terkejut. "Dasar kalian ini!" Kemudian, Sheren dan Rhea berjalan menuju karpet tempat Sashi tengah mengupas buah mangga muda.

"Kapan kalian membeli buah-buah ini?" tanya Sheren saat sudah duduk di atas karpet. Gadis itu kini tengah sibuk memotong buah yang sudah dikupas oleh Sashi.

"Entah, Shawn yang kasih," jawab Sashi sambil mengupas nanas. Sementara itu, Rhea tengah sibuk membuat sambal untuk rujak buah mereka.

"Terus Shawn mana?"

"Entahlah, tadi dia pergi sebentar."

Tak lama kemudian, Shawn datang bersama Shaka dan Ricky. "Cabainya kurang banyak,Rhe!" Seketika, mereka menatap ke arah cobek yang ditatap oleh Ricky. Di atas cobek, sambal untuk rujak buah telah jadi. Namun, cabai yang digunakan Rhea tak terlihat. Hal ini dibuktikan karena Ricky tidak bisa melihat biji cabai di sana.

"Kamu beneran pakai cabai, Rhe?" tanya Sashi menatap cobek dengan penasaran.

Sheren berkata, "Jangan bilang kamu pakai cabai sebanyak dua terus kamu potong kecil-kecil?" Sheren berkata seperti itu karena dia hafal betul kebiasaan Rhea dalam menggunakan cabai. Dan anggukan Rhea mengkonfirmasi dugaan Sheren. Hembusan nafas kesal sekaligus gemas terlontar dari mulut Sashi, Shawn, dan Shaka. Sementara Ricky dan Sheren hanya tersenyum maklum.

"Siniin uleknya," ucap Shawn sambil merebut ulekan dari tangan Rhea. Kemudian, dia menambahkan empat cabai ke dalam cobek. Tangan Shawn sangat terampil dalam mengulek, pertanda bahwa dia bisa memasak.

"Sering masak sendiri, Shawn?" tanya Ricky.

Shawn mengangguk sambil meletakkan ulekannya di atas cobek. "Sering kok. Sebelum berangkat kerja, aku selalu memasak sarapan untuk diriku sendiri."

Shaka kemudian membagi rujak buah itu ke dalam piring-piring plastik yang berada di samping cobek. "Loh dari agensimu enggak ada asisten?" Kemudian, Shaka memberikan sepiring rujak pada teman-temannya.

Shawn menerima rujak itu seraya berkata, "Ada sih, tapi aku lebih suka masakanku sendiri." Kemudian, netranya secara tidak sengaja menatap Sheren. "Namamu siapa?"

Sheren yang merasa ditanya, kemudian menatap Shawn sambil menunjuk dirinya sendiri. "Aku?"

"Iya."

"Aku Sheren."

Jawaban singkat itu membuat Shawn teringat pada sesuatu, rasanya dia pernah mendengar nama ini sebelumnya. Tapi dari siapa? Shaka? Bukan. Dia mendengar nama ini bukan dari Shaka. Tiba-tiba, sebuah ingatan dari tahun lalu mengetuk otaknya. Dan kenangan itu adalah kenangan yang menyebalkan dalam hidupnya. Tahun lalu, Shawn mencoba mengikuti kompetisi piano tingkat Asia di Jepang. Sebelumnya, Bu Winona sudah melarangnya karena beliau tahu kemampuan bermain piano Shawn tidak sehebat pianis-pianis lain. Kemampuan bermain pianonya amat sangat standar. Motivasinya mengikuti kompetisi itu karena Shanna menertawai kemampuan pianonya. Jadi untuk membuktikan bahwa adiknya salah, Shawn memutuskan untuk mengikuti kompetisi itu. Dan dia memang kalah, Adinda pun kalah. Padahal, Adinda adalah pianis terbaik yang dimiliki oleh Golden Light. "Kamu tahun kemarin menjadi juara pertama di Osaka kan? Kompetisi piano."

Sheren tersenyum mendengar pertanyaan Shawn. "Iya benar. Bagaimana kamu bisa tahu?"

Shawn menatap Sheren terkejut, ternyata memang benar! "Aku mengikuti kompetisi itu. Sayangnya, aku kalah."

Shaka melotot saat mendengar penjelasan temannya itu. "Beneran? Kamu ikut kompetisi piano? Shanna pasti tertawa melihatnya!"

"Aku ikut kompetisi karena bayi kecil itu terus menerus meledekku. Akhirnya, aku memutuskan ikut. Adinda juga ikut, namun dia juga kalah."

Shaka tertawa geli mendengar penjelasan Shawn. Hal itu tentu saja mengundang rasa penasaran Sheren. Kemudian dia bertanya, "Shawn punya adik bayi ya?"

"Enggak. Shanna itu memang adik kandungku, tapi dia bukan bayi. Dia sekarang berada di bangku sekolah menengah pertama, kelas 8," jawab Shawn.

"Wah pasti menyebalkan dianggap bayi terus menerus, karena hal itu sama dengan meremehkan keberadaannya," gumam Sheren. Gumaman Sheren memang lirih, tetapi suara itu tetap terdengar ke telinga Shaka dan membuatnya tersedak kecil.

"Tentu saja itu menyebalkan! Siapa orang yang mau dianggap lemah dan tak berdaya terus menerus? Tentu tidak ada!" ucap Shaka. Ucapan Shaka membuat Shawn menatapnya dengan ekspresi kesal. Rhea dan Sashi menatap Shaka dengan pandangan malas, dan Ricky menatap Shaka dengan pandangan gemas. Ketiga orang itu tahu bahwa Shaka selalu memanggil Sheren dengan sebutan ' little baby' di belakangnya.

Enam orang yang mulai beranjak dewasa itu kemudian menghabiskan sisa hari dengan bercanda bersama. Melepaskan kepenatan dan ketegangan yang selalu mengejar-ngejar mereka setiap hari. Kali ini, mereka bisa merasakan bagaimana menjadi remaja biasa tanpa kesibukan yang bertumpuk.

***

Surabaya, 22 Januari 2020

Hari ini adalah hari yang menyenangkan bagiku. Tidak ada les, tidak ada kesibukan yang mengejar-ngejar. Yang ada justru hanya tawa dan canda. Andai saja hari seperti ini datang lagi di masa depan, aku tak keberatan untuk berlatih berjam-jam sesudahnya.