Chereads / Catatan Cerita / Chapter 18 - Catatan 17: Mulai Mendapatkan Keberanian

Chapter 18 - Catatan 17: Mulai Mendapatkan Keberanian

Hari ini adalah hari pertama di Bulan Februari. Dan rupanya adalah hari di mana masalah pertama kembali datang. Mama sejak kemarin sibuk memuji-muji Shaka, mengatakan bahwa Shaka adalah anak sulungnya yang berharga. Hal ini dikarenakan Shaka berhasil mendapat juara pertama dalam kompetisi esai internasional. Pengumuman pemenang dari kompetisi itu baru diumumkan kemarin. Terang saja, kebahagiaan Mama langsung melesat bebas ke angkasa luar.

"She? Kenapa kamu malah tiduran di sini?" tanya Mama yang baru saja duduk di sofa tunggal di ruang keluarga.

Sheren melirik Mama dengan ekspresi malas. "Shusshhh, Mama jangan bicara dulu. She sedang melakukan hobi yang paling penting dalam hidup She."

Kernyitan penasaran timbul di dahi Mama. "Hobi yang penting?"

Sheren memejamkan mata. "Iya, itu adalah rebahan. Karena ini akhir pekan, biarkan She menghabiskan akhir pekan ini untuk rebahan." Tak berselang lama, sebuah bantal sofa mendarat di wajah Sheren. Membuat gadis itu merasa sangat kesal seraya merubah posisinya menjadi duduk. "Mama apa-apaan sih?!" Sheren menatap Mama dengan kesal secara terang-terangan.

Bentakan dan tatapan tajam Sheren tidak membuat Mama gentar. Wanita itu kini menatap si bungsu dengan tatapan tenang. "Kamu tahu di mana Kakakmu sekarang?"

"Di ruang olahraga dengan Ayah."

Mama mengangguk. "Menurutmu, mereka sedang apa?"

"Latihan taekwondo." Jawaban yang diberikan Sheren bernada datar dan pendek.

"Menurutmu, bagaimana kemampuan taekwondo Shaka?"

"Tentu saja sangat bagus. Bicara soal kemampuan fisik, fisik Shaka memang sangat bagus. Staminanya selalu prima dan dia jarang sakit."

Mama tersenyum. "Lantas menurutmu, kenapa Shaka masih terus berlatih setiap hari?"

"Tentu saja untuk meningkatkan kemampuannya sekaligus menjaga kemampuannya agar tetap bagus. Bakat tidak akan berkembang tanpa latihan dan latihan. Ketekunan dan kerja keras adalah kuncinya. Kenapa Mama..." Ucapan Sheren berhenti seketika saat dia menyadari maksud Mama. Kini, bibir gadis itu maju beberapa sentimeter.

"Shaka sudah memiliki banyak medali dan piala, baik itu di bidang akademis maupun taekwondo. Dia masih terus berlatih dan belajar dengan giat untuk meningkatkan kemampuannya. Lantas, kenapa kamu tidak mencontohnya She? Dia sudah memberimu contoh yang baik."

Sheren mencibir seraya berkata, "Benarkah? Wah, dia jahat sekali sebenarnya. Dia mencuri semua gen baik kalian. Termasuk ketekunan kalian dan hanya menyisakan sisa sikap buruk padaku." Lalu, Sheren meninggalkan ruang keluarga dengan kesal.

***

Sheren mengumpat kala seseorang menyingkirkan selimutnya dengan paksa dan menyebabkan hawa dingin dari mesin pendingin ruangan menyapa kulitnya. Orang itu lalu menarik kaki Sheren hingga benar-benar turun dari kasur dan menjejak lantai. Kini, tubuh Sheren benar-benar sepenuhnya terduduk di lantai, punggungnya bersandar pada tepi kasur.

"Kenapa sih, Ka?!" marahnya. Sheren meraih bantalnya dari atas kasur. Kemudian, dia berdiri. Lantas memukuli Shaka menggunakan bantal dengan beringas. Tawa riang terdengar dari bibir Shaka. Dengan cekatan, pemuda itu melindungi wajahnya dengan kedua lengannya.

Shaka dengan sigap meraih tangan adiknya yang sedari tadi memukulinya dengan bantal. Lantas, Shaka menatap Sheren dengan pandangan jenaka. "Pergi yuk!" ajaknya riang. Sepasang bola matanya berbinar bahagia.

Berbanding terbalik dengan sang adik yang justru menatap Shaka dengan pandangan malas. "Mau ke mana? Malas ah," tolak Sheren kesal. Gadis itu kemudian kembali berbaring di atas kasurnya seraya memeluk bantalnya dengan erat.

"Jangan tidur lagi!" kesal Shaka seraya menarik sang adik untuk kembali duduk. Namun, bukan Sheren namanya jika semudah itu menyerah. Dia sengaja melemaskan tubuhnya agar jatuh kembali ke atas kasur jika Shaka tidak memegang tangannya dengan erat. Tepat ketika Shaka mengira dia sudah berhasil membuat adiknya untuk duduk tegak, Sheren kembali menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Tentu saja hal itu membuat Shaka kesal bukan main.

"She ayolah! Jangan begitu!"

Sheren melirik sang kakak dengan malas. "Memang kita mau ke mana?"

"Nonton."

"Sudah dibolehin sama Mama?"

Shaka mengeluarkan sebuah kunci mobil dari dalam saku jaketnya. "Tentu saja sudah! Mau ikut gak?"

"Tapi aku gak mau lihat film romantis!"

"Tentu." Setelah mengucapkan kata itu, Shaka kemudian berlalu dari kamar Sheren. Setelah itu, Sheren bergegas berganti pakaian. Pilihannya jatuh pada kemeja lengan panjang berwarna biru yang lengannya digulung dan celana jeans panjang berwarna serupa. Rambut panjangnya diikat dengan model pony tail.

***

Bioskop tidak terlalu ramai pada pagi menjelang siang hari ini. Mungkin, karena sebagian penduduk kota ini masih disibukkan dengan segudang rutinitas. Dan hanya segelintir orang yang pergi ke tempat ini di pagi hari menjelang siang. Shaka dan Sheren mendapat tempat duduk tepat berada di tengah ruangan, dengan posisi yang tidak terlalu atas dan juga tidak terlalu bawah. Sheren meletakkan kantung plastik berisi camilan yang tadi dibelinya ke lantai tepat di antara dirinya dan Shaka.

"Filmnya tentang apa sih?" Sheren berkata seraya menatap layar bioskop yang kini menampilkan deretan iklan film-film yang akan tayang selanjutnya. Gadis itu memang tidak sempat melihat poster film yang ada di dalam gedung bioskop tadi karena dia langsung berjalan menuju stan makanan di bioskop tersebut. Dan Shakalah yang bertugas membeli tiket mereka.

Shaka yang telah selesai membuka botol minuman ringan yang kedua berkata, "Film horor. Apa ya ceritanya tadi? Tentang surat-surat gitu pokoknya." Kemudian, Shaka meletakkan dua botol itu ke lubang tempat botol yang ada di kursi adiknya dan di kursinya sendiri.

Kapasitas studio ini hanya terisi separuh, namun jeritan para penonton berhasil memekakkan telinga. Sheren menatap heran pada orang-orang di sekelilingnya. Hantu yang ada di film ini tidak begitu seram, menurut Sheren. Tapi, kenapa orang-orang bisa berteriak histeris seperti ini? Dan lagi, hantu yang ada di dalam film tentunya tidak bisa melompat keluar dari layar. Kecuali Sadako, dan mereka tidak hidup di dalam cerita film tentang hantu itu.

Sheren membuka bungkus keripik kentang yang tadi dibelinya. Gadis itu menatap layar lebar itu sambil mengunyah keripik kentang rasa balado. Hal yang sama juga dilakukan oleh Shaka. Bedanya, Shaka mengunyah biskuit cokelat yang mirip dengan burger dengan krim rasa es krim di tengahnya. Kini, sepasang anak kembar itu sibuk mengunyah camilan sembari menatap layar lebar dengan pandangan datar.

Satu setengah jam kemudian, film usai dan waktu tepat menunjukkan tengah hari. Shaka dan Sheren keluar dari bioskop sembari membawa sampah mereka sendiri. "Habis ini kita ke mana?" tanya Sheren seraya berjalan santai keluar dari gedung bioskop. Tangan kirinya membawa plastik berisi sampah pembungkus makanan mereka tadi.

"Mau makan siang di sini sekalian? Karena Mama dan Ayah tidak di rumah."

Sheren kemudian menghampiri tempat sampah yang kebetulan berada tepat di pinggir lorong yang mereka lintasi. Seusai memasukkan sampah ke tempatnya, Sheren kembali berjalan bersama kakaknya. "Mama sama Ayah ke mana memangnya?"

"Jalan-jalan sendiri. Belanja kebutuhan bulanan katanya. Hal-hal semacam itulah pokoknya."

Sheren mengangguk. "Oke, lebih baik kita juga makan di luar saja."

***

Restoran yang mereka kunjungi kini sangat ramai oleh pengunjung. Restoran ini masih berada di mall yang sama dengan bioskop tempat mereka menonton film tadi. Shaka dan Sheren berhasil mendapatkan tempat duduk di pojok ruangan. Lalu, Shaka berjalan menuju meja kasir untuk memesan setelah meletakkan kantung plastik berisi camilan yang masih belum dibuka di kursi kosong di samping adiknya. Sementara Sheren duduk di kursi itu, menjaga tempat duduk mereka agar tidak ditempati oleh seseorang.

Dalam diam, Sheren merenung. Dia lelah dengan hidupnya. Hidupnya tidak seindah hidup para remaja pada umumnya. Dia harus bekerja keras untuk mendapatkan piala dan medali, mempertahankan posisi pertama yang pernah diraihnya, dan merasakan lelah disaat yang bersamaan. Sebenarnya, Sheren menikmati saat-saat dia bermain musik. Dia menikmati saat-saat dia menekan tuts-tuts hitam putih itu. Sheren menikmati saat-saat tuts-tuts itu mengeluarkan bunyi-bunyi yang indah didengarkan oleh telinga. Namun di lain sisi, hidupnya terasa terburu-buru dan seolah-olah selalu dikejar-kejar oleh waktu.

"She? Sheren? Sheren Queena? Dik!" Shaka menatap adiknya dengan heran sembari menyebut namanya beberapa kali. Panggilan itu tidak mendapatkan respon dari adiknya. Shaka lantas mengguncangkan bahu adiknya dan tindakan itu berhasil.

Sheren tampak terkejut. Gadis itu mengerjap beberapa kali menatap sang Kakak sembari bertanya, "Huh? Ada apa?"

"Kamu kenapa melamun? Ada masalah? Makanannya sudah datang nih," ujar Shaka sembari mendorong piring berisi nasi goreng yang berisi cumi-cumi, udang, daging sapi dan telur mata sapi ke arah Sheren.

Sheren menerima piring itu dengan perasaan galau. "Ka?"

"Ya? Ada apa?" tanya Shaka sembari mengaduk-aduk soto dagingnya.

"Kamu pernah merasa lelah tidak? Dan ingin berhenti dari semua hal yang kamu sukai," lirih Sheren sembari mengaduk lembut nasi gorengnya agar panasnya segera menghilang.

Shaka menghentikan aktivitasnya. Pemuda tampan itu menatap Sheren lembut. "She, lihat sini."

Sheren mendongak. Manik matanya menatap seorang pemuda yang memiliki paras serupa dirinya. Hanya saja, garis wajah Shaka terlihat tegas. Berbanding terbalik dengan garis wajah Sheren. Helaan nafas berat terdengar dari bibir Sheren. Gadis cantik itu tahu betul apa maksud Shaka menyuruhnya untuk menatap mata Shaka. Shaka selalu tahu segala perasaan yang dia sembunyikan. "Aku lelah, Shaka. Aku seolah hidup dalam ketergesaan. Semua serba tergesa-gesa. Belum lagi desakan untuk mendapatkan piala. Ditambah, mulut seseorang yang selalu membesar-besarkan segala hal kecil yang tidak perlu."

"Adisty?"

Sheren terkejut. Bagaimana saudaranya itu bisa tahu? "Bagaimana kamu bisa tahu?"

"Itu mudah. Aku sering mendapati dia bertelepon dengan Mama dan membicarakan kamu. Kamu tahu? Ada beberapa cara untuk lepas dari jeratan dia."

Sheren mengerjap, manik matanya menatap Shaka dengan tatapan tidak percaya. "Maksudnya? Dan kenapa kamu bisa berpikir begitu?"

"Tentu saja! Aku saudaramu! Aku mengenalmu sebaik aku mengenal diriku sendiri. Dan aku juga tahu betapa memuakkannya hidup seperti itu. Hidup seolah kamu menjadi bonekanya." Ada nada kesal dalam kalimat Shaka tersebut.

"Caranya? Aku tidak ingin pergi dari dunia musik, Ka," sendu Sheren.

"Kamu bilang sama Mama bahwa kamu mau berganti guru les. Mama pasti akan menurutimu. Tapi, kamu harus mendapatkan medali emas. Kedua, kamu bisa mengikuti audisi artis yang kamu ceritakan itu. Jika kamu lolos, kamu tidak perlu ketemu Adisty. Ketiga, kamu bilang ke Mama kamu mau fokus di akademik dan menjadi ilmuwan."

"Semuanya memiliki resiko, Ka. Dan resikonya adalah Mama akan memperketat aturan dalam hidupku," parau Sheren. Manik matanya berkaca-kaca.

Shaka menggenggam lembut tangan adiknya yang berada di atas meja. "Kompetisi kali ini adalah jalanmu menuju masa depan."

Sheren terdiam. Dia menyadari kebenaran dalam kalimat Shaka. Dia bisa keluar dari pengawasan Adisty jika dia menang dalam kompetisi kali ini. Namun, Sheren merasakan bahwa ada konsekuensi besar yang harus dia terima jika gagal. Tapi, Sheren merasa bahwa keputusan ini patut dicoba.

***

Surabaya, 1 Februari 2020

Aku rasa, selalu ada harga yang harus kubayar untuk semua ini. Aku muak dengan kekangan ini. Dan tali kekang ini digenggam oleh beberapa orang. Ibarat sebuah boneka tali yang dikendalikan oleh beberapa orang. Dan, aku harus berani memutuskan masa depanku sendiri.