Sheren menatap Mama yang sedang menuliskan sesuatu di kertas partiturnya. Netra Sheren menatap Mama yang masih sibuk menuliskan sesuatu di kertas tersebut. Sedangkan tubuhnya sedari tadi hanya duduk diam di atas sofa, hanya dadanya yang naik turun pertanda dia masih bernafas. Shaka telah berangkat ke sekolah sejak tadi dan Sheren tidak berminat untuk menghadiri hari kedua festival.
"Kenapa Dik? Ada yang ingin kamu bicarakan? Dan omong-omong, kenapa kamu enggak ikut Shaka sekolah?" Mama sadar bahwa sang bungsu sejak tadi diam menatapnya dengan pandangan tajam. Pertanda bahwa anak itu ingin menanyakan sesuatu, namun terlalu malas untuk menginterupsi.
"Aku tidak berminat dengan festival sekolah," jawab Sheren dengan nada malas. Gadis itu memang tidak menyukai berada di tengah-tengah keramaian. Karena berada di tengah-tengah keramaian membuatnya lelah.
Mama meletakkan partitur-partitur itu di atas meja. Lalu, memberikan atensi sepenuhnya pada si bungsu. "Bagaimana gedung orkestra sekolah? Bagus? Mama dengar dari Shaka bahwa kamu sudah mencoba gedung itu untuk pertama kali dan mendapatkan respons positif."
"Gedungnya bagus, lumayan bagus."
Kini, hening menyelimuti udara karena Sheren tengah menggigit bibir bawahnya. Jawaban pendek yang dia berikan tadi tidak menyuarakan kegelisahannya. Kini, dia kebingungan untuk menyuarakan kegelisahannya. Sheren menatap tangan kanannya yang kini digenggam oleh Mama, lalu netra Sheren beralih pada wajah Mama.
Seulas senyum terukir di bibir Mama. Senyum itu sangat menenangkan bagi siapa saja yang melihatnya. "Bicaralah, Nak. Mama di sini untuk kalian dan selalu siap mendengarkan apapun keluh kesah kalian."
Kalimat Mama memberikan sedikit keberanian pada Sheren. Lalu, gadis itu berkata, "Setelah lomba di Jerman, aku ingin mencoba audisi Golden Light. Tapi aku ragu pada kemampuanku sendiri."
"Kenapa She ragu pada kemampuan She sendiri? She menganggap bahwa kemampuan She buruk?"
"Tidak, Mama. Aku tahu kemampuanku bisa dibilang baik, tapi tetap saja aku ragu. Aku ragu karena kemampuanku masih sangat jauh di bawah rata-rata. Dan kemampuanku cukup buruk."
Mama menatap sang bungsu dengan intens. "Siapa yang bilang kemampuanmu buruk?"
"Aku sendiri, Ma. Dan aku tidak yakin bahwa orang-orang memuji kemampuanku karena aku."
"Kenapa begitu?"
Sheren menghela nafas berat seraya berkata, "Aku selama ini selalu menganggap bahwa aku hidup di bawah bayang-bayang Mama. Semua penghargaan itu karena orang-orang tahu aku adalah anak Mama."
Kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh Sheren tadi membuat hatinya sakit. Mama tidak menyangka bahwa putrinya bisa berpikiran seburuk itu tentang dirinya. Wanita itu lalu menangkup kedua pipi Sheren dengan kedua tangannya. "She, baik buruknya kemampuan seseorang itu tidaklah sempurna. Kemampuan seseorang tidak dinilai dari siapa orang tuanya, siapa keluarganya, dan siapa saudaranya. Tapi kemampuan adalah hasil dari kerja keras, disiplin, dan juga kemauan untuk maju. Dan asal kamu tahu, Mama tidak pernah mengunggah foto kalian di akun media sosial Mama yang sudah memiliki centang biru. Mama selalu mengunggahnya di akun kedua Mama dan tentu saja akun itu dikunci untuk umum." Mama tersenyum. "Tidak ada seorang pun di industri musik yang mengetahui bahwa kamu adalah anak Mama."
"Sungguh? Bagaimana bisa?" Sheren menatap Mama dengan ekspresi tak percaya.
Mama mengangguk. "Tentu bisa, karena ada peraturan mengenai privasi. Jadi, kamu masih mau mencoba audisi?"
"Iya, Ma. Tapi, bagaimana kalau aku gagal?"
"Gagal atau lolos itu urusan nanti. Yang terpenting adalah kamu sudah berusaha semaksimal mungkin."
"She?"
"Ya?"
"Kamu yakin tidak mau ke festival? Kamu kemarin melewatkan waktu untuk bersenang-senang lho!"
Sheren tersenyum. "Yakin, Ma. Sheren mau rebahan saja di kamar."
***
Kini, Sheren tengah merebahkan diri di kasur kamarnya. Jemarinya sibuk menari-nari di atas layar sentuh ponsel pintarnya. Gadis cantik itu tengah membuka laman sosial medianya dan dia terkejut dengan unggahan teman-temannya. Unggahan itu berisi tentang kembalinya Shawn ke sekolah setelah sekian lama. Dan Sheren merasa kasihan pada Shawn. Pemuda itu pasti merasa terkekang karena dia tidak bisa bepergian sesuka hatinya.
Sebuah pesan singkat masuk dari Shaka membuatnya tertawa. Kakaknya itu menceritakan bahwa dia kewalahan menghalau orang-orang yang berebut ingin dekat dengan Shawn. Sheren bersyukur bahwa hari ini dia tidak masuk dan tidak perlu berada di tengah kerumunan para remaja di sekolahnya.
Sheren memutuskan untuk keluar dari laman aplikasi sosial medianya. Gadis itu lalu mengunci ponselnya, kemudian meletakkan ponsel itu di atas meja nakas samping tempat tidur. Lalu, dia memutuskan untuk tidur karena nanti sore, dia harus berlatih dengan Adisty yang menyebalkan.
***
Sebuah pertanyaan tiba-tiba melintas di benaknya sejak dia melihat Adisty memasuki studio musik miliknya. Pertanyaan yang sudah lama sekali ingin dia gali jawabannya. Namun, dia selalu lupa. Kendati sepasang tangannya terus menerus menekan tuts-tuts hitam putih itu secara beraturan sesuai nada. Namun kenyataannya, pikiran Sheren sedang melanglang buana ke pertanyaan yang sedari tadi menari di benaknya. Dan tentu saja, dia tidak boleh gegabah dalam menanyakan hal itu. Karena jika dia salah langkah, yang dia hadapi adalah Mama yang pasti akan memarahinya. Oh tentu saja dengan tanduk imajiner di kepala Mama.
Bertepatan dengan berakhirnya notasi terakhir dari lagu yang dia mainkan, Sheren berkata, "Kak, aku mau tanya."
Tawa kecil terdengar dari bibir Adisty. "Tentu. Kamu mau tanya apa?" Ditatapnya sepasang netra Sheren yang berwarna hitam. Adisty menumpukan kedua tangannya pada meja beroda yang berada tepat di samping grand piano milik Sheren.
Sekelebat rasa ragu muncul di benaknya, namun Sheren menepis keraguan itu. Dia harus menuntaskan rasa penasarannya sekarang juga dan tidak bisa ditunda. "Kenapa Kakak selalu melaporkan ke Mama kalau aku bolos latihan? Kakak pasti tahu dan sadar dengan konsekuensi dari pengaduan Kakak ke Mama!"
"Menurutmu, kenapa Kakak melakukan hal itu?"
"Karena Kakak benci aku! Karena Kakak senang lihat aku susah!"
Adisty menggeleng, tatapan lembut dia berikan pada siswi yang telah dia latih selama bertahun-tahun itu. "Karena Kakak sayang sama kamu, Kakak peduli sama kamu." Benar, berinteraksi dengan Sheren hampir setiap hari sejak gadis di depannya ini berusia 10 tahun pasti membuahkan perasaan sayang, peduli, dan rasa perhatian yang dalam.
"Kakak bohong! Kakak melakukan itu karena Kakak benci aku! Kakak melakukan itu supaya aku enggak berontak layaknya binatang peliharaan dengan tali kekang di lehernya!! Kakak tahu gak?! Hidupku jarang bahagia! Aku jarang merasakan perasaan senang dan bahagia!! Yang kurasakan setiap hari adalah kekhawatiran dan ketakutan! Ketakutan pada kemarahan orang tuaku dan konsekuensi yang harus kutanggung dari kesalahan yang sebenarnya sangat kecil dan sepele! Aku juga selalu merasakan kekhawatiran tentang masa depanku!! Apakah seterusnya aku akan menjadi burung dalam sangkar emas atau menjadi burung yang memiliki kebebasan?! Kakak pernah berpikir begitu gak?! Pengaduan-pengaduan yang Kakak lakukan ke Mama justru semakin membuatku terjerat tali kekang konyol kalian!!" Sesungguhnya, Sheren tidak berniat meneriaki Adisty seperti itu. Rencana awalnya adalah dia akan bertanya pada Adisty. Dan setelah itu, dia akan bertindak masa bodoh seperti biasanya. Sayangnya, rencana tadi hanya tinggal rencana. Sheren kelepasan bicara dan justru mengeluarkan semua isi hatinya selama ini. Sial sekali dia hari ini!
Remaja perempuan itu kemudian berdiri dari duduknya, lantas gadis itu berjalan meninggalkan studio musik miliknya tanpa pamit pada Adisty. Dia sudah kelepasan bicara, dan yang bisa dia lakukan sekarang adalah keluar dari ruangan dan bersiap menerima konsekuensi apapun itu yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.
***
Ini sudah malam, bahkan hampir tengah malam. Dan tentu saja sudah lewat berjam-jam sejak dia marah pada Adisty. Sedari tadi, Sheren merasakan keheranan luar biasa. Biasanya, Mama atau Ayah pasti menegurnya, bukan, lebih tepatnya memarahinya jika dia berbuat salah. Namun, kali ini tidak. Atau belum?
Dia tiba-tiba teringat dengan kejadian di mana Mama melarang Shaka membawa mobilnya sendiri. Kejadian di mana orang tuanya marah dengan kejadian di mana dia membolos berjarak kurang lebih dua puluh empat jam. Jadi, ada kemungkinan orang tuanya akan memarahinya besok.
Bunyi perutnya seketika mengalihkan dunianya. Sheren tertawa geli. Gadis cantik itu tengah menertawai dirinya sendiri karena bunyi perutnya. Lalu, Sheren turun dari tempat tidur. Saat langkah pertama dia jejakkan ke lantai, dia tiba-tiba teringat satu hal.
"Ini sudah hampir tengah malam dan jam makan malam sudah lewat. Tadi, Mama atau Ayah tidak memanggilku untuk makan malam. Bahkan Shaka juga tidak memanggilku. Jangan-jangan, ini hukumannya?"
Secepat kilat, dia berlari tergesa-gesa menuju ruang makan. Lampu-lampu yang berada di dalam rumah ini sudah dimatikan sejak tadi. Hanya menyisakan cahaya remang-remang dari lampu-lampu pijar kecil di tembok. Jantung Sheren berdegup kencang. Sepemalasnya seorang Sheren, dia tidak pernah malas makan dan dia tidak bisa. Hal yang paling dia takuti di dunia ini adalah saat di mana pasokan makanan menipis dan dia akan mati kelaparan. Maaf-maaf saja, urusan perut baginya tetap yang utama.
Saat ini, Sheren telah tiba di ruang makan. Dengan jantung berdegup kencang, dia membuka tudung saji yang berada di meja makan. Setelah dia membuka isinya, dia terkejut. Nasi goreng dengan telur mata sapi, segelas jus jeruk, dan semangkuk kecil salad buah yang dibungkus dengan plastik wrap mengelilingi mangkuk itu membuatnya terkejut. Netra Sheren menemukan sebuah kertas memo berwarna kuning dengan tinta. Tulisan yang berada di memo itu membuatnya tersenyum. Lalu, Sheren mendudukkan dirinya di salah satu kursi di ruang makan. Kemudian, dia mulai menyantap makanan tengah malamnya.
***
Surabaya, 7 Februari 2020
'Jika lewat lebih dari pukul 22.00, antarkan makanan ini ke kamar Sheren.' Sebuah pesan yang singkat, namun berhasil membuatku merasa nyaman dan aman.