Jerman di Bulan Februari masih dingin walau tidak sedingin bulan-bulan sebelumnya. Sheren menatap salju yang hari ini turun dengan perlahan, seolah-olah mengucapkan selamat datang padanya. Salju memang tidak bisa ditemukan di Indonesia secara alami, maklum Indonesia negara tropis. Sheren menoleh saat namanya disebut. Gadis itu lalu berjalan anggun menuju panggung, meninggalkan kursi di dekat jendela yang tadi dia duduki.
Sheren menarik napas panjang sesaat setelah dia duduk di kursi kayu pendek di depan piano. Gadis itu menghembuskan napas secara perlahan dan mengulangi hal itu beberapa kali. Manik matanya menyusuri setiap pasang mata. Dia bisa melihat Mama, Ayah, Shaka, Kak Felicia, Kak Cyrus, Kak Felina, orang tua Kak Felicia, dan Shawn serta Adinda dan Bu Winona. Seketika, Sheren merasakan pundaknya menjadi sangat berat. "Aku pasti bisa. Aku harus semangat," gumam Sheren pada dirinya sendiri. Dengan mantap, dia menekan tuts-tuts hitam putih itu dengan teratur. Sebisa mungkin, Sheren berusaha untuk membuat perasaan sedihnya tersampaikan.
Sepuluh menit kemudian, Sheren berhasil mengakhiri penampilannya. Dia mendapatkan tepuk tangan dari para hadirin. Gadis itu menunduk sejenak setelah berdiri dari duduknya. Lalu berjalan meninggalkan panggung dengan anggun.
"Penampilan yang sempurna," ucap Shaka sambil menyerahkan botol air mineral yang sudah dia buka tutupnya pada sang adik.
Sheren menerima botol itu sambil duduk, lalu berkata, "Enggak sesempurna itu kok." Gadis itu lalu meneguk air mineral tersebut hingga tersisa setengah botol. Sheren lalu kembali menyerahkan botol itu pada Shaka. "Lagi pula, belum tentu aku menang," lanjutnya.
"Kita lihat saja nanti ya? Semoga kamu bisa menang," doa Shaka sembari meletakkan botol air mineral yang telah dia tutup ke dalam tasnya.
"Semoga saja aku bisa menang dan tidak menjadi gelandangan," doa Sheren mengimbuhkan.
"Hush!" ucap Shaka sambil menepuk pundak adiknya dengan gemas. Mereka lalu menikmati sisa waktu di babak pertama ini.
***
Helaan nafas berat terdengar berulang kali. Sheren menatap langit yang hari ini tampak ditutupi oleh awan putih tebal. Awan tebal itu sama seperti perasaannya saat ini. Hatinya tertutup oleh awan tebal kegusaran. Dia gusar jika di kompetisi kali ini dia kalah. Nasib buruk pasti akan selalu menimpanya jika dia kalah hari ini.
"Kenapa aku harus melalui jalan sesulit ini? Impianku sederhana, namun jalan yang kutempuh sangat terjal. Aku hanya ingin semua orang merasa bahagia saat mendengar musik yang kumainkan. Namun rasanya sangat sulit untuk memperdengarkan musikku pada semua orang," gumam Sheren sendu. Gadis itu kemudian berjalan kembali memasuki gedung orkestra tempat kompetisi piano diadakan. Masih ada tiga sesi lagi hari ini yang harus dia lalui jika dia menang. Dan dia berharap, dia bisa menang untuk hari ini hingga esok.
Suasana gedung orkestra sudah ramai. Kursi-kursi penonton sudah terisi penuh. Sheren kembali ke tempat duduknya tadi. Di sampingnya, Shaka sedang sibuk mengetik pesan di ponselnya. Sheren menatap ke arah panggung saat pembawa acara mengumumkan bahwa dia akan menyebutkan nama-nama peserta kompetisi yang lolos ke babak berikutnya.
"Gugup?" Shaka menggenggam tangan adiknya lembut setelah menyimpan ponselnya di saku jasnya. Kulit tangan Shaka merasakan sensasi suhu dingin dari tangan sang adik, pertanda bahwa adik kembarnya ini tengah gugup.
Sheren tersenyum miris, tatapannya mengarah ke panggung. "Aku tidak gugup, namun aku takut. Aku takut aku kalah dan masa depanku menjadi sulit." Genggaman tangan Sheren pada tangan Shaka semakin menguat seiring dengan pembawa acara mulai menyebutkan nama-nama yang lolos. Dan Sheren berhasil lolos ke babak berikutnya.
"Kamu lolos, She!" Shaka refleks menepuk kepala adiknya dengan bangga. Pemuda itu merasa sangat bangga karena adiknya bisa mencapai tahap sejauh ini.
Namun, reaksi Sheren justru berbanding terbalik. "Aku belum benar-benar lolos, Shaka. Perjuanganku masih panjang dan aku bisa saja berakhir mengenaskan." Itu memang benar. Dalam sebuah kompetisi, tiap detik yang berjalan sangat berharga. Di awal kompetisi, kita bisa saja menang. Namun, keadaan bisa berbanding terbalik saat di babak pertengahan hingga akhir kompetisi. Dan Sheren tahu benar itu. Dia bisa kalah hanya dengan satu kesalahan kecil pada tekanan jarinya di tuts-tuts hitam putih itu. Dan riwayatnya benar-benar tamat jika dia melakukan kesalahan kecil. Kompetisi kemudian kembali dimulai.
***
Buku-buku jarinya memutih seiring dengan cengkeramannya pada wastafel yang semakin menguat. Jejak-jejak air mata terlihat jelas di kedua pipinya, bahkan air mata masih mengalir deras hingga kini. Sheren menatap cermin kamar mandi yang tergantung di atas wastafel. Perasaan tertekan menyambangi hatinya dan membuatnya stres. Sheren takut jika dirinya benar-benar menghancurkan masa depannya. Apa lagi, tadi saat babak ketiga berakhir dan namanya disebutkan paling terakhir sebagai salah satu peserta yang lolos ke babak final besok.
"Sheren? Kamu di dalam?" Suara Shaka dari luar kamar mandi terdengar diiringi ketukan pada pintu kamar mandi.
Dengan cekatan, Sheren menyalakan kran wastafel. Lalu membasuh wajahnya. Sebisa mungkin menghilangkan jejak-jejak air mata dari wajahnya. Kemudian, gadis itu bergegas keluar dari kamar mandi setelah dia merasa bahwa jejak-jejak air matanya tertutupi dengan baik.
"Kok lama banget? Kamu enggak apa-apa?" Shaka menatap sang adik penuh curiga saat adik perempuannya keluar dari kamar mandi.
Sheren mengangguk. "Hm? Aku enggak apa-apa kok. Memangnya kenapa?"
"Ya sudah, enggak apa-apa." Shaka lalu memasuki kamar mandi. Hal ini tentu saja membuat Sheren lega karena saudara kembarnya itu tidak bertanya apa-apa lagi. Kemudian, Sheren berjalan ke kasur hotel tempat dia akan beristirahat.
Sheren merebahkan tubuhnya di kasur hotel yang nyaman. Seketika, ingatannya melayang pada kompetisi hari ini. Dan Sheren sedikit menyesali ketidakhadiran Adisty hari ini. Biasanya saat dia merasa gugup dan tertekan dengan kompetisi, Adisty bisa menenangkannya melalui hal-hal kecil yang dilakukan oleh wanita muda itu. Mulai dari mengajaknya berjalan-jalan berkeliling tempat kompetisi sampai membeli makanan ringan khas daerah yang mereka kunjungi. Dan seburuk-buruknya Adisty, dia memiliki sisi baik yang membuatnya berharga.
'Apa yang kulakukan ini sudah benar? Adisty memang menyebalkan, tapi dia tidak sepenuhnya buruk. Adisty tetap saja manusia yang memiliki sisi hitam putih.' Sheren kemudian memejamkan matanya sambil menyelimuti tubuhnya. Dia merasa kepalanya penuh dengan berbagai pemikiran yang penting sehingga bercampur aduk di dalam otaknya. Pemikiran-pemikiran itu membuatnya pusing dan dia memutuskan untuk tidur saja. Besok, dia masih harus bertempur dengan notasi.
***
Jerman, 17 Februari 2020
Hari ini adalah hari di mana kompetisi dimulai dan hari di mana masa depanku ditentukan karena keputusanku yang gegabah. Dan aku berharap, semoga keputusan gegabahku tidak menghancurkan masa depanku. Semoga.