Sheren tengah tengkurap di atas kasurnya sembari membaca notasi yang tertulis pada kertas partitur yang dia pegang. Hari ini, dia masih dalam rangka membolos dari sekolah. Eyang Kakung dan Eyang Putri mengantarkannya kembali ke rumah tadi subuh. Untungnya, Mama dan Ayah tidak marah. Justru, Mama dan Ayah terlihat lega. Kelegaan entah karena apa.
"Aku harus berpikir untuk mengetahui jawaban dari pertanyaanku. Tunggu, pertanyaanku?" monolog Sheren. Gadis itu kini berbaring. Sepasang netra hitamnya menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba, sebuah pertanyaan yang selama ini menari di benaknya kembali muncul. 'Kenapa aku harus berlatih piano mati-matian? Kenapa aku harus hidup dalam sangkar emas seperti ini? Kenapa aku tidak suka bermain piano kendati aku menyukainya?'
"Aku belajar piano mati-matian karena keinginan Mama. Mama dan Adisty yang membuatku seperti terkurung dalam sangkar emas. Aku membenci piano karena Adisty," monolog Sheren. Kemudian, sebuah ide melintas di benaknya. Sheren menyambar ponselnya yang tergeletak di samping tubuhnya. Gadis itu lalu mengetikkan sebuah pesan pada seseorang. Semoga saja ini jawabannya. Kemudian, Sheren berganti baju. Seusai berganti baju, dia berlari keluar kamar dengan tergesa. Semoga saja Mama masih ada di sana.
***
Kerumunan itu membuat Sheren kesulitan berjalan. Tubuh kurusnya dengan susah payah melawan arus manusia yang memadati tanah lapang yang biasa digunakan untuk berolahraga, yang kini beralih fungsi menjadi tempat konser sementara sebuah acara musik dari ibu kota. Semakin siang, lautan manusia semakin penuh.
"Sheren! Sini!"
Manajer Mama melambaikan tangannya pada Sheren dari depan pagar pembatas antara panggung dan penonton. Sheren tersenyum lega melihat perempuan itu. Sherly namanya, perempuan berusia nyaris 50 tahun yang telah menjadi manajer Mama sejak Mama memulai karier di belantika musik Indonesia. Bahkan, Sherly juga yang dengan setia mendampingi Mama saat Mama memulai karier di belantika musik dunia.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Sherly saat Sheren berhasil masuk ke area steril di depan panggung. Tentu saja hal ini membuat para penonton heran sekaligus iri. Sherly lalu tersenyum manis ke arah para penonton yang mulai mempertanyakan tentang Sheren. "Dia adalah putri salah satu penata rias kami. Jadi, saya harap Anda sekalian tidak salah paham tentang dia," jelas Sherly sambil merangkul pundak Sheren dengan gestur yang menunjukkan perlindungan pada gadis itu. Sherly lalu membawa Sheren pergi dari sana.
"Aku kaget saat Starlet berkata bahwa kamu sudah ada di depan. Harusnya kamu meneleponku agar aku bisa menjemputmu."
Sheren tersenyum. Mereka sedang dalam perjalanan menuju ruang tunggu Mama. "Aku tidak ingin menggunakan fasilitas pekerjaan Mama untuk keperluan pribadiku. Aku juga tidak enak karena harus merepotkan Tante terus."
"Bicara apa kamu? Tante sama sekali tidak merasa direpotkan kok. Tante sudah menganggap kamu sebagai anak Tante sendiri."
Sheren tertawa. "Wah, nanti Raninda ngambek loh Tan saat Tante bilang bahwa aku sudah seperti anak Tante sendiri."
"Ah Raninda, entah kapan anak itu akan dewasa. Padahal usianya sama seperti kalian, tapi dia tidak bisa sedewasa Shaka," senyum Sherly. Ibu satu anak itu sangat menyayangi anak semata wayangnya. Hal ini bisa dilihat dari caranya tersenyum saat membicarakan soal Raninda.
"Yah, Shaka adalah salah satu manusia langka. Dia harusnya dimasukkan dalam museum," tawa Sheren. Mereka kini tiba di depan ruang tunggu Mama. "Mama ada di dalam kan, Tan?"
"Iya, Mamamu ada di dalam. Ruang tunggu juga kosong, hanya ada Mamamu di dalam sana."
"Sendirian?"
"Sendirian."
Sheren kemudian masuk ke dalam ruang tunggu dengan langkah mantap. Dia telah memenangkan pertaruhannya dengan Mama tempo hari. Dan kini, saatnya dia meminta hadiahnya. Hadiah yang akan menjadi titik balik hidupnya, sama seperti pertaruhan yang dia lakukan kemarin.
Mama baru saja menyelesaikan makannya saat Sheren datang. Wanita itu tersenyum lembut saat si bungsu menatapnya. "Sheren sudah makan?" tanya Mama sambil membuang kotak sterofoam bekas makanan ke dalam tempat sampah.
"Aku tidak ingin makan, Ma."
Mama mengangguk. "Duduk dulu yuk! Oh ya, bagaimana Bromo? Menyenangkan? Mau ke sana lagi gak? Kita bisa ke sana saat libur natal tahun ini." Mama lalu berjalan menuju sofa panjang yang berada di tengah ruangan itu. Sheren mengikuti jejak sang Ibu yang sudah duduk di sofa lebih dulu daripada dirinya.
"Ma, Mama ingat dengan taruhan kita dulu?"
"Yang mana? Yang soal ajang pianomu itu?"
Sheren mengangguk. "She mau minta hadiah yang Mama janjikan. Mama tidak lupa kan? Mama janji untuk mengabulkan semua keinginan Sheren. Semuanya."
"Mama ingat kok. Sheren mau apa?" Sejujurnya, Mama merasa sangat penasaran dengan permintaan anaknya ini.
Sheren menatap Mama tajam. "Pertama, Sheren mau berhenti dari akademi. Sheren mau berhenti kursus. Kedua, Sheren akan melakukan sesuatu dan ini mengenai masa depan Sheren. Mama gak boleh ikut campur mengenai hal ini."
"Memang apa yang akan kamu lakukan? Mama tidak akan menyetujui hal negatif dan aktivitas negatif lainnya!"
Sheren memutar bola matanya dengan ekspresi malas. "Mama, aku tahu aku tidak sepintar Shaka. Tapi, aku juga masih sangat waras untuk tidak menghancurkan masa depanku sendiri."
"Memang kamu mau melakukan apa sih, She?" Meskipun Starlet pasti akan mengabulkan permintaan sang anak, dia tetaplah seorang Ibu yang memiliki rasa kasih sayang dan naluri untuk melindungi anak-anaknya dari hal-hal berbahaya.
Sheren mendengus. "Pokoknya, Mama dan Ayah tidak boleh ikut campur karena bisa merusak rencana Sheren, terutama Mama."
Kalimat terakhir Sheren membuat Mama mengerti. "Baiklah, Mama janji. Mama juga sudah mengeluarkan kamu dari akademi musik."
Sheren terkejut, "Kapan?!"
"Sehari setelah kamu dinyatakan menang dalam kompetisi," senyum Mama.
Sheren benar-benar terkejut melihat gerak cepat yang dilakukan oleh Mama. Tapi, dia bersyukur karena itu. "Ya sudah, She pulang dulu."
"Ini masih jam 2 siang, She. Kamu tidak mau melihat penampilan Mama?"
Sheren menggeleng, "Tidak mau. Aku mau tidur di rumah. Badanku masih sangat lelah akibat pergi ke Bromo."
"Baik, minta Sherly untuk mengantarmu pulang," kata Mama. Sheren mengacungkan ibu jarinya tanda setuju. Lalu, dia berlalu dari ruangan itu.
***
Malam itu, halaman belakang rumah keluarga Sheren sangat ramai. Semua orang tampak bergembira malam itu, termasuk si kembar. Shaka tengah menikmati daging sapi panggang yang dipanggang olehnya sendiri di ayunan taman. Melihat itu, Sheren menghampiri Shaka yang tengah duduk di ayunan sendirian, dia lalu ikut mendudukkan diri di ayunan yang berhadapan dengan Shaka.
"Gimana rasanya mendaki Bromo untuk pertama kali?"
Sheren tersenyum, "Capek banget, kakiku rasanya mau copot. Tapi, hal itu sangat menyenangkan."
Shaka tertawa melihat respon antusias yang diberikan sang adik. Lalu, ekspresi wajah Shaka berubah menjadi serius. Pemuda itu kemudian berkata, "Aku sudah dengar tentang masalahmu dan Theresa. Theresa memang memiliki kelakuan seburuk itu. Jadi, kamu tidak perlu memikirkan ucapannya kemarin."
"Theresa ya? Ka, sebenarnya kamu pernah naksir orang gak sih?"
Shaka mengacak rambut adiknya dengan gemas, "Rahasia."
"Shaka!"
"Apa?"
Sheren menendang-nendang tulang kering Shaka dengan kesal. Hal itu membuat Shaka tertawa. Tiba-tiba, Shaka teringat sesuatu. Lalu, pemuda itu bertanya pada sang adik, "Oh ya She, kamu sudah tahu belum bahwa kamu dikeluarkan dari akademi musik oleh Mama?"
"Tahu kok. Mama yang bilang tadi."
Shaka memandang sang adik dengan ekspresi khawatir. "Kamu... apa yang akan kamu lakukan sebenarnya?"
Sheren tersenyum, "Aku sedang memperjuangkan masa depanku. Aku sudah memikirkan hal ini sejak lama. Hanya saja, baru mendapatkan keberanian sekarang. Telat banget sih sebenarnya."
"She, hubungi aku kapan pun kamu butuh. Aku akan selalu ada untukmu, untuk keluargaku."
Sheren tersenyum, "Tentu."
***
Surabaya, 26 Februari 2020
Seharusnya, aku memantapkan tekadku sejak awal. Kemantapan tekadku rupanya datang terlambat. Tapi aku harap, semuanya akan berjalan dengan lancar.