Matahari belum sepenuhnya terbit saat mobil yang ditumpangi oleh Sheren beserta kedua Eyangnya melaju membelah jalanan yang mulai ramai. Sheren bisa melihat lalu lalang kendaraan yang mulai ramai. Ada beberapa orang yang membawa keranjang berisi sayur mayur, ada orang-orang yang sedang dalam perjalanan menuju tempat kerja. Dan dia tahu dia telah melakukan kesalahan karena hari ini, dia memutuskan untuk absen dari sekolah.
"Kita mau ke Bromo ya,Yang?"
Eyang Putri yang duduk bersama Sheren di jok tengah mengangguk. "Iya, hari ini kita akan ada di Bromo sampai siang. Setelah itu, kita pulang. Besok malam, Felicia dan suaminya serta Felicita dan suaminya berencana mengadakan barbeque di rumah Eyang."
"Tapi Eyang...Aku kan membolos dari sekolah," gumam Sheren tersendat. Dia melirik Eyang Kakung yang duduk di jok depan samping kursi pengemudi. Eyang Kakung meliriknya sebentar, lalu kembali fokus pada dokumen-dokumen pekerjaan beliau.
Eyang Putri tersenyum menatap cucu perempuannya sembari mengelus lembut surai hitam selembut sutra ini dan dijepit oleh penjepit rambut bermotif pita di sisi kiri rambutnya. "She ke sini karena She lelah dengan kehidupan dan rutinitas She kan? Tidak perlu khawatir soal sekolah. Ayah sudah ke sekolah dan memberikan penjelasan tentang kondisimu."
"Jangan terlalu terpaku pada rutinitasmu. Sesekali, kamu harus berlari menjauh dari rutinitasmu untuk menyegarkan pikirannmu. Terlalu terjebak dalam opini orang lain juga bukan sesuatu yang bagus," senyum Eyang Kakung sembari menoleh ke belakang untuk menatap cucunya. Keriput yang menghiasi wajah Eyang Kakung tidak serta merta menghapus paras rupawan Eyang Kakung. Sheren bahkan bisa melihat sorot mata yang memancarkan kebijaksanaan di sepasang bola mata hitam itu.
Sheren mengalihkan pandangannya pada jendela mobil yang menampilkan pemandangan pepohonan. Rumah-rumah penduduk dan pepohonan yang asri menimbulkan perasaan nyaman dalam diri Sheren. Sebuah rasa bingung sekaligus gembira menyusup ke hatinya. 'Bagaimana bisa Eyang tahu kalau aku sedang berusaha lari dari ekspektasi tinggi orang-orang? Namun, Eyang pasti akan menjawab bahwa itu adalah cara orang tua untuk mendidik anak-anak dan para cucunya. Aku tidak dapat memungkiri bahwa aku senang dengan perhatian yang seperti ini.'
Tak terasa, mobil telah memasuki tempat parkir Gunung Bromo. Sheren tersenyum senang kala melihat siluet gunung yang menawan itu.
***
Angin dingin menyapa Sheren dengan lembut, seolah mengucapkan kata sambutan pada sang pianis. Membuai gadis cantik itu untuk menetap di sini bersama Sang Rupawan. Sheren menatap gunung itu dengan senyum, kendati dia merasa lelah karena medan yang harus dia tempuh. Namun, Sheren merasa sangat bahagia. Padang pasir terhampar luas di hadapannya, seolah menyambutnya untuk menari bersama mereka di padang pasir yang luas nan cantik itu.
"Seru?" tanya Eyang Putri. Eyang Putri kini berdiri di belakang Sheren di sebuah undakan.
"Seru? Ini tidak hanya seru. Ini fantastis! Cantik sekali!"
Eyang Putri kemudian melangkah turun ke undakan tempat sang cucu berdiri. Eyang Putri lalu menggandeng tangan sang cucu, mengajak gadis itu untuk menuju padang pasir cantik yang ada di depan mereka. "Kita naik kuda yuk! Nanti kita bisa melihat-lihat pemandangan gunung ini lebih dekat."
"Eyang Kakung mana?" tanya Sheren saat menyadari bahwa Eyang Kakung tidak terlihat.
Eyang Putri tertawa melihat respon sang cucu. Lalu, Eyang Putri menunjuk ke satu arah. Sheren mengikuti arah telunjuk Eyang Putri dan terkejut saat Eyang Kakung tengah menunggang kuda dengan santai. "BAGAIMANA BISA?!"
"Bisa karena terbiasa. Kami sering mendaki gunung, Sheren sayang. Kakakmu sering ikut bersama kami saat liburan tiba. Dan kamu lebih memilih liburan bersama Felicia ke tempat lain. Ingat?"
Sheren kini mengerti, ternyata Shaka pergi mendaki gunung bersama Eyang saat liburan semester. Pantas saja Shaka tidak mau ikut saat Felicia mengajaknya berlibur ke tempat-tempat liburan yang sudah dipilih oleh Felicia. 'Jadi, ini yang dimaksud liburan sekaligus berolahraga oleh Shaka?' Pernyataan Eyang Putri tadi tidak hanya mengagetkan Sheren, namun juga menampar telak gadis cantik itu. Keterkejutan yang dirasakan oleh Sheren justru menunjukkan bahwa dia tidak dekat dengan Shaka. Kedekatannya dengan Shaka sangatlah dangkal. Mungkin, Shawn dan teman-temannya yang lain lebih mengetahui kepribadian Shaka daripada Sheren. Padahal, Sheren adalah saudara kembarnya. Mereka berjuang di dunia ini bersama-sama, bahkan sejak masih berbentuk embrio.
"Ayo!"
Sheren terkejut saat Eyang Putri menarik tangannya dengan tiba-tiba. Lalu, Sheren mengikuti langkah Eyang Putri menuju penyewaan kuda. Sepertinya, Eyang Putri dan Eyang Kakung sudah mengenal akrab si pemilik kuda. Karena, si pemilik kuda langsung menyebut nama asli Eyang Putri dengan nada akrab.
"Ayo, She!"
Sheren mengangguk. Dengan hati-hati, dia menaiki tangga pijakan kecil agar dia bisa naik ke punggung kuda. Pekikan takut sempat terlontar dari mulut Sheren saat kuda yang dia tunggangi bergerak pelan. Sheren menatap ke arah si pawang kuda yang berdiri di samping kuda itu sambil berkata dengan nada takut, "Ini aman? Kudanya terlihat tidak nyaman denganku."
"Tidak apa-apa kok, Mbak! Mbak tenang saja dan jangan panik, oke?"
Sheren memegang besi melengkung yang ada di pelana kuda dengan erat saat kuda mulai berjalan menuju padang pasir yang menawan itu. Rasa tegang dan takut menyelimutinya. Berbagai hal buruk -termasuk jika dia jatuh dari kuda-melintas di pikirannya. Rasa itu menyebabkan Sheren menutup matanya erat.
"She? Sheren!"
"Sheren Queena!"
Sheren refleks membuka matanya saat suara Eyang Putri memasuki gendang telinganya. Gadis itu lalu menoleh ke sumber suara, manik matanya masih menyiratkan rasa ketakutan yang teramat dalam. "Iya? Ada apa, Eyang?"
"Semua akan baik-baik saja, oke? Kuda yang kamu tumpangi aman, kuda itu tidak akan menyakitimu. Jangan takut. Ada Mas Adam, Eyang, dan juga Mas Seto yang akan melindungimu. Semua akan baik-baik saja," senyum Eyang. Namun, senyuman itu tidak membuat sang cucu merasa lebih baik. Sadar bahwa cucu perempuannya ini masih ketakutan, Eyang lalu berkata, "Kita kembali." Kemudian, sepasang kuda itu kembali ke tempat awal mereka datang.
Perjalanan tidak berakhir walau Sheren dan Eyang Putri menyudahi acara menunggang kuda yang mereka lakukan di padang pasir yang indah itu. Kini, Sheren dan Kakek serta Neneknya tengah berfoto di tempat-tempat eksotis yang ada di Gunung Bromo itu. Eyang Kakung tersenyum melihat cucunya yang tengah menatap gunung dengan tatapan terpesona. Eyang Kakung tahu bahwa Sheren jarang sekali bisa melihat pegunungan. Bahkan, cucu bungsunya itu jarang sekali bisa menikmati waktu untuk bermain. Yang dia lakukan setiap hari hanyalah bermain piano dan piano.
"Cantik ya? Rasanya tidak ingin pulang," senyum Eyang Kakung yang kini berdiri di samping sang cucu.
Sheren mengangguk. "Benar. Ini pertama kalinya aku pergi ke gunung. Terima kasih, Eyang."
"Seseorang pernah berkata bahwa gunung dan laut adalah pelepas stres yang paling mujarab. Menyaksikan langsung lukisan Tuhan di bumi ini, membuat kita sadar betapa indahnya alam ini."
"Eyang benar. Eyang tahu? Baru kali ini aku tidak menyesal membolos sekolah."
Eyang Kakung mengacak gemas pada rambut Sheren. "Tentu saja kamu harus tidak menyesal. Lagi pula, berlibur sesekali bukanlah dosa besar." Eyang Kakung tersenyum, "Kamu harus ikut saat Shaka menawarimu untuk berlibur. Dia selalu pergi ke tempat-tempat eksotis yang cantik dipandang mata dan juga dalam bidikan kamera. Hidupmu tidak melulu soal piano, bunyi, ketukan nada, dan berbagai hal yang berkaitan dengan benda berkaki empat itu."
"Eyang, aku boleh tanya tidak?"
"Tentu, kamu mau tanya apa?"
Sheren menarik napas panjang. Dia tengah mempersiapkan diri untuk menghadapi reaksi terburuk yang mungkin akan dikeluarkan oleh Eyang Kakung. "Eyang pernah mempertanyakan kenapa Eyang harus berada di jalan Eyang yang sekarang tidak?"
"Ini tentang pianomu bukan? Atau tentang sekolahmu?"
Sheren terkejut, dia tak menyangka bahwa Eyang Kakung memahami arah pertanyaannya. "Iya, bagaimana Eyang bisa tahu?"
Eyang menatap sang cucu dengan tatapan teduh. "Hidup adalah pertanyaan itu sendiri, Sheren. Cogito Ergo Sum. Aku berpikir, maka aku ada. Berpikirlah untuk menemukan jawabannya. Tapi ingat, kamu tidak boleh menyesali konsekuensi yang akan kamu dapatkan dari pilihanmu sendiri. Karena hidup bukanlah permainan di video game yang bisa direset ulang jika kamu kalah."
"Eyang Kakung tidak marah dengan pilihanku jika itu yang kumau?"
Eyang Kakung menggeleng. "Bukan sesuatu yang kamu mau. Berpikirlah menggunakan logika dan otakmu, jangan menggunakan perasaanmu." Suara lantang Eyang Putri menginterupsi pembicaraan Sheren dan sang Kakek. Eyang Putri rupanya sudah berada di bawah bukit. Eyang Kakung menepuk pundak Sheren lembut, "Ayo pulang."
***
Bromo, 25 Februari 2020
Pembicaraan dengan Eyang Kakung memang selalu penuh dengan filosofi. Namun, berbicara dengan beliau selalu membuatku mampu kembali berpikir dengan jernih. Seolah suara Eyang Kakung memiliki kekuatan magis untuk menuntunku ke arah yang benar.