Sheren merasakan perutnya sangat mulas sejak dini hari tadi. Dia tahu bahwa rasa sakitnya ini dikarenakan dia merasa tertekan dan stres. Sejak tadi, Sheren merasa perutnya sakit dan dia juga tidak nafsu makan. Dia memakan sarapannya sangat sedikit. Dan kini, langkah kakinya terasa sangat berat di setiap ayunan langkah kakinya.
Kini, bukan hanya perutnya yang sakit. Namun juga kepalanya, dia juga merasa sesak nafas akibat melihat banyak orang telah memenuhi gedung orkestra ini. Sheren berbalik badan, enggan memasuki gedung itu lebih jauh. Baru setengah berjalan, dia menabrak seseorang. Sontak, gadis itu mengucapkan kata "maaf" dalam Bahasa Inggris.
"Tidak apa-apa kok. Kamu tidak perlu meminta maaf. Kamu gak apa-apa, She?"
Sheren mendongak saat dia mendengar suara pemuda yang sangat familiar di telinganya. Dan benar, pemuda yang dia tabrak adalah Shawn. "Loh Shawn? Kamu sudah tiba di sini rupanya."
Shawn tersenyum tipis, sepasang manik matanya menatap Sheren tajam. Seolah-olah manik matanya itu adalah sinar x yang bisa menembus berlapis-lapis beton tebal. Shawn menatap jam tangannya sebentar lalu berkata, "Masih ada satu jam waktu luang sebelum kompetisi dimulai. Mau minum coklat hangat sebentar?"
"Boleh," senyum Sheren. Gadis itu bersyukur ada seseorang yang mengajaknya pergi sebentar dari hiruk pikuk ini. Lalu, dia berjalan beriringan bersama Shawn meninggalkan gedung orkestra.
***
"Jerman selalu menyimpan cerita manis," senyum Shawn. Pemuda itu memberikan segelas coklat hangat pada Sheren. Kini, mereka berdua sedang duduk di dalam kafe yang tidak jauh dari gedung orkestra.
Sheren tersenyum. "Benarkah? Selalu ada cerita manis?"
Shawn mengangguk. "Papaku sering mengajakku ke Jerman saat liburan. Hanya kami berdua di sini. Aku bisa menikmati banyak hal baik bersama Papa, mengunjungi tempat-tempat cantik dan eksotis. Papaku bahkan memiliki rumah di sini. Jerman selalu memberiku kehangatan." Shawn lalu menyesap coklat panasnya sambil tersenyum.
"Aku senang mendengarnya. Apalagi kamu bisa menikmati waktu luang bersama Papamu ditengah-tengah kesibukanmu yang super padat." Sheren meletakkan gelasnya. Coklat hangatnya tersisa setengah.
"Kamu benar, apalagi sangat sulit bagiku untuk bertemu Papa dan Mama. Mereka sudah bahagia dengan hidup mereka masing-masing walau ada aku di tengah mereka."
Sheren mengernyit mendengar kata-kata Shawn itu. "Maksudnya, Shawn? Ah maaf, jika kamu keberatan menjawabnya, tidak usah dijawab juga tidak apa-apa."
Shawn tertawa kecil. "Enggak apa-apa kok. Itu bukan sesuatu yang rahasia. Mama dan Papaku sudah lama bercerai dan mereka sudah memiliki keluarga baru mereka masing-masing. Namun, bukan berarti mereka melupakanku. Keluarga baru Mama dan Papaku tetap sayang padaku. Aku mempunyai banyak Kakak tiri dan adik kandung. Papa dan Mama bercerai setelah Shanna lahir. Awalnya memang menyakitkan. Namun setelah kujalani, rupanya tidak seburuk itu. Aku punya banyak Kakak yang menyayangiku, terlebih lagi aku adalah putra satu-satunya dan cucu laki-laki satu-satunya di keluarga kami."
"Kamu beruntung memiliki keluarga yang menyayangimu sepenuh hati," senyum Sheren.
Shawn tersenyum lembut. "Sheren, kamu juga beruntung karena memiliki keluarga yang juga menyayangimu sepenuh hati. Terutama kakakmu."
"Shawn, kamu jarang bertemu denganku dan bagaimana bisa kamu berkata bahwa keluargaku menyayangiku?"
Shawn mencondongkan tubuhnya ke arah Sheren, kedua tangannya bertumpu pada meja. "Aku memang jarang bertemu denganmu, tapi aku sering bertemu dengan Shaka dan Mamamu. Ada binar bangga dan perasaan sayang yang tidak bisa mereka tutupi saat mereka membicarakanmu. Dan binar sayang itu bahkan tidak pernah Shaka tunjukkan untuk orang lain. Kamu mungkin akan selalu menyangkal hal ini. Namun, kamu juga tahu bahwa perspektifmu belum tentu benar."
Sheren tertohok dengan kalimat Shawn. Akhirnya, gadis itu memilih untuk menghabiskan minumannya daripada meladeni ucapan Shawn tadi. Kalimat pemuda itu mengena telak di hatinya. Shawn tersenyum lembut mengamati tingkah laku Sheren. Pemuda itu lalu memilih menghabiskan minumannya dalam diam. Sepasang remaja itu membiarkan kesunyian mengambil alih.
***
Kini, Sheren telah berada di dalam gedung orkestra itu. Dia kini duduk di bangku penonton bersama orang tuanya, sedangkan Shawn duduk di samping Shaka. Berulang kali dia mengelap tangannya yang berkeringat pada sapu tangan berwarna merah muda senada dengan gaun yang dia pakai. Hari ini, dia harus berkompetisi dengan sembilan peserta lainnya agar bisa memenangkan kompetisi dan menyelamatkan hidupnya. 'Sebentar lagi adalah giliranku tampil. Tampil di urutan ke sepuluh memang menguntungkan karena aku bisa melihat kemampuan sembilan peserta lain secara rinci. Namun, tampil di urutan terakhir juga membuatku semakin tertekan karena aku tahu betapa hebatnya para peserta lain dan beban mental yang kupikul pasti bertambah.'
"Gugup?"
Sheren menoleh ke arah kanannya, sepasang manik matanya menatap Mama. "Tidak juga. Kenapa aku harus gugup?" Kebohongan dia ucapkan dengan lancar untuk menutupi kegugupannya. Dia melakukan ini agar ego dalam dirinya tidak terjun bebas. Tentu saja, Sheren tidak ingin mengakui kalau dia gugup.
Mama mengangguk sembari berusaha menahan tawa. Mama sebenarnya sudah tahu sejak kemarin bahwa si bungsu gugup, namun Mama sengaja tidak bertanya padanya karena Mama ingin agar putri bungsunya ini mengakui perasaannya pada Mama secara langsung sekaligus membangun komunikasi mereka yang sempat tersendat.
Jantung Sheren semakin berdebar kencang saat peserta terakhir telah selesai memainkan lagunya. Pembawa acara lalu menyebutkan namanya. Sheren kemudian berdiri dari kursinya, lalu berjalan dengan langkah anggun dan teratur kendati debar jantungnya semakin menggila. Di mata orang lain, Sheren menaiki panggung dengan mantap dan penuh percaya diri.Nyatanya, gadis itu tengah berusaha menenangkan debar jantungnya yang menggila. Sheren tersenyum pada para hadirin sesaat setelah dia duduk di kursi kayu piano. Lalu, dengan mantap dan penuh penghayatan, dia menekan tuts-tuts hitam putih itu.
'Tuts-tuts ini mungkin saja menyelamatkanku, namun mungkin saja membunuhku. Aku hanya berharap, agar tuts-tuts ini tidak membunuhku dalam keindahannya. Semoga.'
Musik memiliki kekuatan magis yang menakjubkan. Musik tidak memiliki bentuk, tidak pula memiliki rupa. Namun, semua orang tahu bahwa musik memiliki keindahan yang menakjubkan. Keindahan musik terletak pada melodinya, pada perasaan yang terkandung di dalam nada-nada itu. Dan musik, sanggup membawa seseorang kembali mengingat memori masa kecilnya.
Tuts terakhir telah selesai dia tekan, seulas senyum sedih disertai tetesan air mata dari manik matanya keluar tanpa permisi. Gedung orkestra sunyi senyap sesaat, kemudian terpecahkan kesunyian itu oleh gegap gempita tepuk tangan dari para hadirin. Sebuah rasa lega yang aneh menyusup ke hati Sheren. Gadis itu lalu beranjak dari tempat duduknya, kemudian berdiri di tengah panggung seraya membungkukkan badan. Kemudian, dia berjalan dengan langkah anggun menuruni panggung, tangan kanannya mengusap lembut air mata yang masih menganak sungai di pipinya.
Tanpa basa-basi, dia memeluk saudara kembarnya. Menumpahkan segala beban yang dia sandang selama ini ke dalam pelukan Shaka. Shaka menepuk-nepuk lembut punggung adiknya. Dia tahu betapa beratnya beban yang disandang sang adik di usianya yang masih sangat muda ini. Dan dia berusaha semaksimal mungkin untuk membantu meringankan beban sang adik.
Cukup lama hingga Sheren akhirnya bisa mengontrol emosinya. Kini, gadis itu sudah tenang kendati jejak-jejak air mata masih tersisa. Sheren kini menatap panggung dengan perasaan campur aduk, kendati perasaan lega lebih mendominasi. Pengumuman pemenang akan diumumkan sebentar lagi setelah penampilan salah satu pianis ternama di dunia yang kini sedang memainkan lagu klasik terkenal diiringi dengan tarian balet terkenal dari sebuah grup balet terkenal. Tarian itu bercerita tentang sebuah kisah cinta tragis seorang gadis yang disihir menjadi angsa dan seorang pangeran.
Pertunjukan balet diiringi alunan lagu klasik itu membuat Sheren lupa pada beban yang tadi dia tumpahkan pada Shaka. Pertunjukan balet itu mampu mendistraksi pikiran Sheren. Ditambah lagi, lagu yang sedang dimainkan saat ini adalah lagu favoritnya. Melodi-melodi dari lagu itu memiliki kekuatan magis baginya.
Pertunjukan indah itu akhirnya selesai. Dengan berakhirnya pertunjukan itu, kesadaran Sheren kembali. Kini, dia harus bersiap menghadapi detik-detik pertaruhan masa depannya. Sheren memejamkan matanya saat pembawa acara menaiki panggung. Dia tak sanggup melihat kenyataan jika dia kalah. Maka, pilihan terbaiknya adalah memejamkan mata.
Gravitasi seolah menghilang dari bumi, begitupula suara-suara di sekelilingnya. Sheren benar-benar tidak sanggup menghadapi kenyataan yang sebentar lagi akan menyapanya. Namun, seseorang mengguncangkan tubuhnya, membuat Sheren dengan terpaksa membuka mata. Dia melihat Shaka memeluknya dengan gembira sembari mengucapkan selamat padanya berkali-kali. Hal ini tentu saja membuatnya bingung. "Ada apa, Ka?"
Senyum lebar masih terpatri di wajah tampan Shaka. "Kamu menang, Dik! Kamu menjadi juara pertama!"
Butuh waktu bagi Sheren untuk mencerna kalimat Shaka. Lalu, sebuah senyum terbit di bibirnya. Air mata kembali menetes di sepasang mata indahnya. Staf kompetisi menghampirinya, menuntunnya untuk ke panggung. Lalu, Sheren berjalan ke panggung dengan langkah anggun. Aura gembira terlihat jelas dari dirinya.
***
Jerman, 18 Februari 2020
Terima kasih Tuhan karena telah mengijinkanku untuk menang. Dan terima kasih karena telah menyelamatkan masa depanku. Aku sangat bahagia sekali hari ini.