"Astaga! Kenapa kamu ada di sini?!"
Sheren benar-benar terkejut saat Shawn secara tiba-tiba muncul dari balik pintu ruang kepala sekolah yang dia buka. Sheren berniat keluar dari ruangan tersebut setelah mendapatkan surat ijin dispensasi dari sekolah.
"Aku sedang berdiri di sini, She. Kamu tidak bisa melihatnya?"
Sheren lalu berjalan maju sambil menutup pintu ruang kepala sekolah. Gadis itu menatap Shawn tajam. "Yah, terserah kamu." Lalu, dia berjalan keluar dari ruang guru diikuti oleh Shawn. Sheren sama sekali tidak mengajak Shawn bicara selama mereka berjalan keluar dari ruang guru. Gadis dengan bandana biru itu juga membiarkan Shawn berjalan mengikutinya.
"Kamu mau ke ruang musik? Ikut dong!"
Sheren berhenti melangkah, gadis itu lalu menatap Shawn dalam-dalam. "Berhenti mengikutiku, Shawn." Sheren lalu berlari meninggalkan Shawn. Sementara itu, Shawn menatap punggung Sheren yang perlahan menjauh dengan sendu.
"Apa aku tidak tampak penting di matamu? Baiklah! Aku akan berjuang lebih keras," gumam Shawn sambil tersenyum lembut. Pemuda itu lalu berjalan menuju kelasnya. Tadi,dia berada di ruang guru untuk mengumpulkan tugas-tugas pengganti selama dia tidak bisa menghadiri kegiatan sekolah. Dan dia memutuskan untuk menunggu Sheren keluar dari ruang kepala sekolah saat dia melihat Sheren memasuki ruangan tersebut. Kenapa dia mau menunggu Sheren? Alasannya sederhana, dia menyukai gadis itu.
***
Sheren menekan tuts-tuts hitam putih itu dengan perasaan galau. Dia merasakan ketakutan menyelubunginya. Ketakutan bahwa dia akan kalah, ketakutan bahwa hidupnya akan hancur setelah ini. Sheren menunduk, kepalanya terasa sangat sakit seolah akan meledak, arus lalu lintas pikirannya terlalu penuh dan dia tidak sanggup. Dia tidak sanggup untuk menang. Namun, kelebat ingatannya mengenai pertengkarannya dengan Mama kembali menghantuinya. Tentang ancaman dari Mama bahwa segala fasilitasnya akan dicabut. Lalu, Sheren kembali menegakkan tubuhnya. Memaksa tubuhnya untuk kuat dan baik-baik saja hingga kompetisi usai. Lalu, Sheren kembali memainkan pianonya.
Musik merupakan salah satu media untuk menyalurkan perasaan seseorang, dan itulah yang terjadi. Perasaan yang disalurkan oleh Sheren di dalam nada-nada yang dia mainkan adalah perasaan takut, dilema, dan tertekan. Dan dia tidak memungkiri itu sehingga perasaan itulah yang tersampaikan. Sedikit melenceng dari aslinya memang, namun itu bukan masalah besar.
Sudah satu jam empat puluh lima menit dia berada di ruangan ini. Perasaan dilema, ketakutan, dan tertekan justru semakin terasa. Perasaan-perasaan itu semakin menyesakkan seiring dengan tuts-tuts yang dia mainkan berulang kali dengan nada yang sama. Sheren memejamkan mata, dia menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan-lahan. Dia melakukan itu berulang kali sembari mencari kembali ketenangan hatinya, namun gagal. Hal itu tentu saja membuatnya frustasi. Lalu, Sheren berdiri kemudian meninggalkan ruang musik itu. Dia butuh udara segar.
Kini, dia tengah berada di taman sekolah yang ramai. Maklum, ini sudah jam istirahat sehingga ada banyak siswa-siswi yang berada di taman ini. Sheren menatap taman yang penuh dengan berbagai macam tanaman hijau itu. Dia memejamkan mata saat angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya dengan lembut dan tenang.
"Kenapa kamu ada di sini sendirian?"
Sheren membuka matanya saat mendengar suara itu. Lalu, dia menoleh ke sisi kanannya. "Berhentilah ikut campur urusanku, Shawn!"
Shawn tertawa kecil. "Aku tidak ikut campur urusanmu, aku hanya bertanya. Ini jam makan siang, kamu sudah makan?"
"Aku sedang tidak ingin."
"Kenapa?"
Sheren melirik Shawn dongkol. "Berhentilah bertanya, Shawn!"
Shawn mengambil roti dari saku blazernya, lalu memberikan roti itu pada Sheren. Sheren tersenyum sembari menerima roti itu. "Kamu ini stalker ya? Bagaimana caramu mengetahui bahwa ini roti favoritku? Atau ini hanya kebetulan?" tanya Sheren sambil membuka plastik pembungkus roti tersebut.
"Aku bukan stalker! Tadi aku bertemu Shaka saat sedang di kantin, lalu aku bertanya padanya apakah kamu memiliki makanan favorit? Dia bilang kamu suka roti ini," senyum Shawn.
"Kenapa kamu melakukan ini, Shawn?"
"Karena aku ingin. Aku hanya ingin melakukan ini," senyum Shawn. 'Dan merasakan debaran ini lebih lama,' batinnya tersenyum.
Sheren melirik Shawn sekilas. Kemudian berkata, "Shawn, boleh tanya?"
Shawn mengangguk. "Kamu mau rotinya lagi? Aku masih punya banyak."
"Bukan itu! Aku mau tanya, kamu pernah gak sih merasakan kepalamu penuh dengan hal-hal yang kamu sendiri tidak tahu?"
"Kamu enggak menikmati permainan pianomu akhir-akhir ini ya?"
"Apa? Pertanyaan macam apa itu?"
Shawn tersenyum. "Aku juga pernah merasakan hal itu. Terutama disaat orang-orang menaruh ekspektasi besar padaku, pada aktingku. Aku sering berpikir begini; apakah yang kulakukan ini sudah benar? Apakah orang-orang puas dengan hasilnya? Apakah orang tuaku puas dengan hasilnya? Dan apakah karierku bisa terus berlanjut atau malah gagal?" Shawn tersenyum, pemuda itu memberi jeda agar Sheren bisa mencerna kata-katanya.
"Orang tuamu pernah tidak puas dengan kerja kerasmu?"
"Jika dikatakan tidak puas, tidak juga. Namun, aku dan mereka pernah bertengkar mengenai jalan hidupku ke depannya. Aku merasa bahwa mereka terlalu mengaturku agar aku harus hidup sesuai keinginan mereka dan memiliki kemampuan akademik yang bagus. Kamu tahu? Orang tuaku bahkan mengirimkan tutor belajarku mengikuti jadwal kerjaku. Gila? Memang. Tidak masuk akal? Tidak juga."
"Itu sungguhan?"
"Tanya Shaka jika kamu tidak percaya. Namun, setelah dipikir-pikir, yang mereka lakukan ada benarnya. Menjadi seorang selebriti bukan jaminan bahwa hari tuaku menjadi terjamin. Ada yang cukup beruntung mendapatkan jaminan hari tua karena semasa muda gemar berinvestasi dan memiliki tawaran pekerjaan yang mengalir deras. Tetapi, ada juga yang tidak. Dan orang tuaku membekaliku dengan kemampuan akademik agar aku memiliki kemampuan bekerja di luar bidang seni untuk menyokong kehidupanku."
Pernyataan Shawn cukup membuat Sheren berpikir. Dia menyadari bahwa kalimat-kalimat yang Shawn katakan tadi sangat masuk akal. Sheren tidak pernah berpikir sampai sana, karena selama ini dia hanya berpikir dari sudut pandangnya saja. Sudut pandang seorang remaja yang terkadang kekanakan. "Orang tua itu kadang aneh," gumam Sheren.
"Setuju.Cara mereka mencintai anak-anaknya juga aneh. Mereka sering melakukan hal yang berlawanan dengan kemauan kita, namun pada akhirnya kita menyadari bahwa tindakan orang tua kita tidak selalu buruk bagi kita."
Sheren tersenyum sebagai tanggapan atas kata-kata Shawn tersebut. Dan senyuman itu menimbulkan debar hangat di dadanya. "Sheren, boleh enggak aku menghadiri kompetisimu minggu depan?"
"Memang kamu enggak sekolah?" Sheren menatap Shawn penuh tanya. Dia merasa penasaran karena Shawn bertanya tanpa pikir panjang.
Shawn tersenyum simpul. "Boleh enggak? Soalnya aku ada pekerjaan di Jerman mulai besok sampai dua minggu ke depan. Dan aku memiliki waktu luang untuk mendukungmu."
"Memang kamu ada tiketnya? Setahuku, tiketnya sudah habis terjual beberapa jam setelah pembukaan."
Shawn mengambil ponsel dari saku blazernya. Pemuda itu lalu mengutak-atik ponselnya. Kemudian, dia menunjukkan sebuah foto tiket kompetisi piano di ponselnya pada Sheren. "Simsalabim! Aku punya dong!" tawa Shawn.
Sheren ikut tertawa. "Kapan kamu membelinya?"
"Kapan aku membelinya? Oh tentu rahasia. Yang jelas, aku sudah memiliki tiket kompetisimu dan aku berniat menontonnya walau kamu tolak."
Sheren tertawa riang. "Kamu ada pekerjaan apa di sana? Syuting film?"
"Seratus untuk Queena! Kamu mau menontonnya jika sudah tayang?"
"Bagus enggak?Genrenya apa?"
Shawn mengacungkan jempol kanannya. "Tentu saja bagus! Film ini merupakan salah satu film aksi terbaik yang pernah kumainkan."
"Kamu enggak capek memangnya mengambil film aksi terus? Seingatku, sudah ada satu filmmu yang akan tayang bulan ini. Dan itu juga film aksi." Sheren menatap Shawn dengan mata berkilat penasaran, dan hal itu sangat menarik di mata Shawn.
"Capek sih pasti. Tapi, aku suka."
Bel tanda masuk berdering. Shawn dan Sheren lalu kembali ke kelas bersama.
***
Surabaya, 14 Februari 2020
Perspektifku tidak selalu benar dan aku kadang tidak tahu jika perspektifku salah.