Chereads / Catatan Cerita / Chapter 14 - Catatan 13: Resiko

Chapter 14 - Catatan 13: Resiko

Kelas sudah ramai saat Sheren memasuki kelas. Sebenarnya dia sedikit terlambat. Dia bangun kesiangan hari ini karena semalam dia tidak tidur. Percakapannya dengan Kak Adisty kemarin benar-benar mengganggunya. Untungnya, hari ini sekolah sedang sibuk mempersiapkan acara festival.

"Loh, Sheren?"

Sheren melambai pada Adeline saat gadis cantik dengan bandana warna abu-abu itu meletakkan tas yang dibawanya ke meja. "Hai Adeline, sedang apa?"

Adeline melepas headset dari kedua telinganya. "Aku sedang menghafalkan lagu untuk festival sekolah. Kenapa kamu masuk? Bukannya kamu sudah mendapat izin dari pihak sekolah untuk tidak masuk kelas?"

"Masak? Siapa yang bilang?" Sheren heran mendengar itu, karena dia tidak menerima informasi apapun dari pihak sekolah. Kecuali informasi tentang dirinya yang harus menghadap kepala sekolah pada pukul 09.00 nanti. Dan itu berarti satu jam lagi dari sekarang.

Kini, giliran Adeline yang menatap Sheren bingung. "Bu Fayra kemarin ke sini memberi pengumuman bahwa kamu mendapatkan dispensasi dari sekolah." Ah, begitu rupanya!

"Hari ini kepala sekolah menyuruhku datang. Entahlah apa tujuannya. Omong-omong, kamu mau membawakan lagu apa untuk festival?" Adeline menyebutkan sebuah judul yang sangat familiar di telinga Sheren. Kemudian Sheren berkata, "Kamu aransemen ulang?"

"Bukan aku, tapi pelatihku. Aku enggak seberbakat kamu yang bisa mengaransemen ulang sebuah lagu." Adeline tertawa. Sepasang mata itu membentuk bulan sabit.

"Kok gitu? Kamu gak mau mencoba? Mengaransemen lagu itu menyenangkan."

"Dan aku gak menikmatinya. Aku gak menikmati waktuku saat bermain musik, karena aku bukan kamu." Adeline kemudian kembali memasang headsetnya ke telinganya. Sheren berdiri sambil membawa tasnya. Gadis cantik itu tahu bahwa Adeline sedang mengusirnya secara halus. Lalu, Sheren berjalan pergi meninggalkan kelas.

***

Kata-kata kepala sekolah persis dengan ekspektasinya kemarin. Beliau menyuruhnya untuk menang dan mempertahankan prestasinya. Kepala sekolah juga memberinya uang. Kata beliau, itu adalah hadiah untuk kerja kerasnya. Dan hal itu membuat perasaannya senang. Dia senang saat ada satu orang yang mengerti tentang kerja kerasnya, dan dia merasa dihargai. Kini, gadis itu tengah berjalan di koridor sekolah dengan konsentrasi yang terpecah karena dia tengah melamun.

"Ah!" Kesadaran Sheren kembali saat sesuatu menabraknya secara tiba-tiba. Netra Sheren kemudian mencari objek yang menabraknya dengan agak keras itu. Dan maniknya bertemu dengan manik mata Theresa. Gadis berkacamata itu menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. "Ada apa?" tanya Sheren dengan nada jengah.

"Bisa kita bicara sebentar?"

Sepasang bola mata Sheren menatap Theresa malas. "Oke, sepuluh menit." Theresa mengangguk. Lalu, Sheren berjalan menuju kantin diikuti oleh Theresa. Gadis berbandana putih itu sengaja memilih kantin sebagai tempat percakapan mereka, karena dia khawatir sesuatu yang buruk bisa saja menerkamnya saat dia hanya berdua dengan Theresa. Iya, Sheren takut Theresa menghajarnya. Sheren bukan Shaka yang bisa berkelahi.

***

"Apa kabar?" Itu adalah kalimat yang pertama keluar dari mulut Theresa saat mereka sudah duduk di salah satu bangku di kantin. Posisi meja mereka berada di tengah-tengah ruangan.

"Baik kok. Sangat baik. Ada apa?"

Theresa menatap Sheren sendu. Manik matanya siap menumpahkan air mata yang entah sejak kapan dia tahan. "She, aku ada salah ya sama Shaka?"

Dengusan keluar dari bibir Sheren. Kemudian, gadis itu berkata, "Kamu putus sama Shaka?"

"Aku tahu She, aku enggak sekaya keluarga kalian. Aku tahu orang tuaku bukan konglomerat. Tapi apa aku salah jika aku mencintai Shaka?"

Sheren menatap Theresa kesal. "Kalau kamu mau meluluhkan Shaka, ya langsung ke orangnya! Kenapa kamu malah bicara sama aku?"

"Karena Shaka pasti mau dengerin kamu. Shaka pasti enggak bakalan bisa nolak permintaan kamu."

"Kamu manfaatin aku? Sayangnya, dia enggak bakal cinta lagi sama kamu. Shaka sangat menghormati Mama. Apapun yang dikatakan Mama, Shaka pasti nurut. Dan lagi, otakku gak sekejam itu dengan saudaraku. Aku gak bakalan ngontrol kehidupan Shaka. Aku mendukung semua pilihannya, termasuk soal cinta." Sheren lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Theresa, seringai tercetak di bibirnya. "Shaka beruntung karena dia akhirnya tidak mendapatkan perempuan seperti kamu. Aku yakin, dia pasti membenci kamu setelah ini." Sheren lalu berdiri, gadis itu kemudian berjalan meninggalkan kantin. Waktu yang dia berikan untuk Theresa sudah habis. Dan dia tidak ingin menghabiskan waktunya yang sangat sedikit ini hanya untuk meladeni kebodohan Theresa.

***

Denting piano Sheren sarat dengan kemarahan. Walau terdengar indah, namun emosi kemarahan terasa jelas dari suara itu. Adisty menatap Sheren tajam, mengamati ekspresi gadis itu. Sheren tidak memberikan emosi kesedihan, dia justru memberikan emosi kemarahan yang sangat berbanding terbalik dengan makna lagu ini.

"Stop!"

Jemari-jemari lentik itu seketika berhenti. Sepasang netra itu menatap tajam Adisty. "Kenapa, Kak? Aku membuat kesalahan?" Anggukan dari Adisty membuat Sheren seketika menatap perempuan itu khawatir. "Kesalahan apa? Aku salah menekan tuts?"

"Kamu salah memasukkan emosi. Nada yang kamu tekan benar, tidak ada yang meleset. Namun, emosi yang kamu masukkan salah. Salah besar dan sangat fatal." Adisty berkedip, perempuan muda itu menatap Sheren dengan raut khawatir. "Ada sesuatu yang mengganggumu?"

"Enggak ada?" Jawaban itu terdengar seperti sebuah pertanyaan, karena Sheren ragu dalam menjawabnya. Kemudian, dia teringat dengan percakapannya dan Theresa tadi. Sheren menjentikkan jarinya seraya berkata, "Tadi, aku sempat berdebat dengan mantan pacar Shaka. Gadis itu sangat menyebalkan! Jadi, secara tidak sadar, emosiku masih terbawa hingga kini."

Adisty tertawa, perempuan itu mencubit gemas pipi gembul Sheren dengan lembut. "Ada-ada saja kamu ini! Bilangnya enggak peduli pada Shaka, nyatanya kepikiran setengah mati."

"Siapa sih Kak yang enggak risih jika ditanyai terus menerus tentang Shaka? Aku enggak mau harus mengintervensi perasaan dan privasi saudaraku untuk hal-hal receh begitu! Dia memiliki privasinya sendiri!"

Adisty menatap Sheren dengan pandangan teduh. "Mau jalan-jalan? Kita bisa mengakhiri latihan hari ini lebih cepat."

"Naik kendaraan umum?" tanya Sheren dengan nada riang. Gadis cantik itu suka sekali menaiki kendaraan umum kendati dia selalu diantar jemput dengan mobil mewah yang selalu berganti-ganti setiap bulannya.

"Naik motor, She. Mau gak?"

Sheren mengangguk dengan riang sebagai pertanda dia menerima tawaran Adisty. Kemudian, Sheren kembali melanjutkan latihannya. Kali ini, emosi kesedihan dari lagu itu tersampaikan dengan baik.

***

Surabaya di malam hari tidak kalah ramainya dengan di siang hari. Orang-orang berkumpul di tenda-tenda pedagang makanan kaki lima. Pakaian seragam sekolah yang tadi dikenakan oleh Sheren, kini telah berganti dengan terusan berwarna biru selutut bermotif awan, bandana berwarna biru terpasang rapi di kepalanya. Hanya sepatunya saja yang tetap, yaitu sepatu sneaker berwarna biru. Langkah-langkah Sheren dengan riang mengikuti Adisty, sepasang netranya melihat sekeliling dengan antusias.

"Kita mau makan apa,Kak?"

Adisty tersenyum mendengar pertanyaan riang yang keluar dari mulut Sheren. Netra cantik wanita itu lalu memindai sekeliling. "Pecel lele mau?" tanyanya sambil menunjuk tenda penjual pecel lele, bebek goreng, dan lainnya.

"Boleh! Ayo!" Lalu, Sheren berlari kecil memasuki tenda disusul oleh Adisty yang tersenyum. Kebahagiaan Sheren rupanya sesederhana ini.

Seusai memesan, Adisty dan Sheren duduk lesehan di atas tikar yang sudah digelar oleh pedagang. Sheren tersenyum melihat Adisty. "Nanti setelah dari Jerman, kita ke sini lagi yuk?"

"Boleh saja. Kamu sepertinya menikmati jalan-jalan malam hari ya?"

Tawa keluar dari bibir Sheren. "Aku selalu menikmati waktu luangku, Kak. Aku selalu suka saat orang-orang mengajakku pergi. Makanya, Shaka dan Kak Felicia sering mengajakku pergi. Mama dan Ayah juga. Tapi, aku tidak menikmati waktuku dengan Mama." Nada suara Sheren terdengar kesal saat dia mengatakan bahwa dia tidak menikmati waktunya dengan Mamanya.

Percakapan itu lalu diinterupsi oleh pedagang yang menyajikan pesanan mereka. Kata terima kasih serentak diucapkan oleh Sheren dan Adisty. Senyum terbit di bibir si pedagang saat mendengar ucapan terima kasih itu. Lalu, pedagang itu meninggalkan meja tempat Sheren dan Adisty berada. "Karena Mamamu terkenal? Makanya kamu tidak menikmati waktu bersama beliau?" tanya Adisty seraya mencuci tangannya dengan cairan hand sanitizer.

"Iya Kak. Bukannya aku benci pekerjaan Mama, tapi para penggemar beliau yang tidak tahu tempat membuatku tidak nyaman. Aku tidak masalah dengan fakta bahwa Mama memiliki penggemar di seantero negeri ini, tapi mereka selalu menyita waktu santai kami saat kami pergi berjalan-jalan," keluh Sheren mulai menyendok nasi dan ampela gorengnya setelah mencuci tangan dengan hand sanitizer yang dia bawa. "Terkesan seperti tidak bersyukur, aku tahu. Tapi tetap saja itu menyebalkan! Intensitas pertemuan kami sudah sangat sedikit, ditambah lagi dengan para penggemar Mama yang terus menerus meminta foto dengan beliau." Kemudian, Sheren menyuapkan nasi ampela itu ke mulutnya sendiri.

Adisty menatap Sheren dengan senyuman hangat. "Kakak mau bilang bahwa itu adalah resiko pekerjaan yang ditanggung Mama kamu. Tapi, Kakak juga tahu bahwa pernyataan yang seperti itu akan melukai perasaanmu.Kamu hanya ingin mendapatkan perhatian dari orang tuamu tanpa interupsi pihak lain."

"Hanya Shaka yang bisa dan boleh menginterupsi," jawab Sheren lugas. Ya, hanya Shaka saja yang boleh menginterupsi kegembiraannya. Dan Shaka tidak pernah melakukannya. Pemuda itu selalu ada di semua momen dalam hidupnya, tanpa interupsi. Kemudian, Sheren dan Adisty melanjutkan makan mereka. Dua perempuan berbeda usia itu tetap mengobrol, namun menghindari topik-topik berat. Mereka kini membicarakan tentang tren berbusana masa kini, musik, dan lainnya.

***

Surabaya, 24 Januari 2020

Kak Adisty benar tentang resiko itu. Setiap keputusan memang memiliki resiko. Aku tahu itu. Namun, ada seutas rasa dalam diriku yang menyangkal fakta itu. Aku tahu ini terkesan egois, tapi aku hanya ingin perhatian penuh dari orang tuaku yang super sibuk. Perhatian yang tidak hanya berupa uang, namun juga kasih sayang.