Akhir pekan kemarin tetap berjalan menyebalkan. Sheren memilih untuk ikut dengan Kak Felicia ke penampungan hewan milik Kak Cyrus daripada pergi bersama Mama. Dia masih kesal dengan kejadian tempo hari. Jadi, dia memilih untuk menghindari bepergian bersama Mama. Dan akhir pekan kemarin, Shaka memilih untuk pergi dengan adiknya ke penampungan hewan.
Dan kini, bertepatan dengan Hari Senin, yang berarti rangkaian kesibukan menjelang festival yang akan diadakan pada pekan depan semakin padat. Sheren hari ini memilih untuk masuk sekolah karena Kak Adisty baru bisa mengajarinya piano pada pukul 10.00 pagi.
Rhea yang baru saja tiba terkejut melihat Sheren sudah duduk manis di bangkunya dengan sebuah buku yang sedang dia baca. "Loh She! Kok kamu masuk?"
"Kak Adisty baru bisa mengajar nanti jam 10.00. Dan aku tidak mau berada di rumah sendirian sementara Shaka dan orang tuaku tidak berada di rumah," jawab Sheren seraya menutup bukunya. Buku yang tadi dibaca Sheren adalah buku novel klasik yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. "Ada pelajaran gak hari ini?"
Rhea meletakkan tas ranselnya ke atas meja. Gadis cantik bersurai cokelat itu menatap sang sahabat dengan riang. "Enggak ada. Karena mulai pekan ini sampai waktu festival berakhir, kegiatan belajar mengajar ditiadakan."
"Rugi dong aku dateng ke sekolah?" Sheren menyesali ketidaktahuannya soal ini. Harusnya, dia menunggu Kak Adisty sambil rebahan di rumah saja kendati dia harus merasakan sepi seorang diri.
Rhea mengibaskan tangannya, memberikan gestur tidak setuju dengan kalimat Sheren. "Ya enggak dong! Kamu kan bisa ngobrol denganku. Kita harus menikmati momen yang ada sebelum momen ini berlalu."
"Kita masih memiliki dua tahun lagi, Rhea. Kita masih memiliki banyak waktu untuk bersenang-senang."
"Menurutku enggak gitu, She. Memang, dua tahun itu waktu yang enggak sebentar. Tapi, kita gak selalu terus menerus bertemu selama dua tahun itu. Kamu pasti sering ke luar negeri, entah itu untuk kompetisi atau untuk liburan. Begitu juga aku."
"Makanya, kamu mau buat momen sebanyak mungkin untuk dikenang. Gitu kan, Rhe?"
Rhea mengangguk mengiyakan. Gadis berambut cokelat itu memeluk Sheren dengan riang. "Eh She, sudah sarapan?"
"Mau ke kantin?" tanya Sheren sambil melepaskan pelukan Rhea dengan sedikit paksaan. Rhea mengangguk riang sebagai jawaban atas pertanyaan Sheren. Lalu, kedua gadis itu berlalu ke kantin bersama-sama.
***
"Aku pikir kantin pasti sepi, rupanya aku salah," ujar Sheren sambil menyendok siomaynya. Suasana kantin pagi ini cukup ramai, walau tidak seramai saat istirahat.
Rhea mengangguk setuju. "Tentu ramai. Jam pelajaran kosong, dan kita tidak boleh tidak masuk sekolah kecuali ada hal darurat yang sangat mendesak. Teman-teman yang tidak ambil bagian di festival sekolah pasti memilih ke kantin untuk menghabiskan waktu."
"Kamu bener, Rhe. Kantin selalu menjadi pilihan pertama para siswa untuk menghabiskan waktu, dan perpustakaan selalu menjadi yang terakhir," ucap Sheren miris. Selama bersekolah, Sheren jarang melihat perpustakaan sekolah kedatangan pengunjung seramai kantin. Selalu ada banyak tempat kosong di perpustakaan.
Rhea tersenyum, gadis itu telah menghabiskan sepiring pentol tahu dengan bumbu kacang yang tadi dia pesan. "Gimana ya? Masalahnya, buku tidak terlihat menarik bagi sebagian siswa. Hanya siswa tertentu saja yang menganggap bahwa buku memiliki daya tarik yang kuat."
Siomay di piring Sheren juga telah habis, hanya menyisakan sisa-sisa bumbu di atas piring. "Kamu benar soal itu. Aku kira, teman-teman sekelas kita pasti selalu menjadikan perpustakaan sebagai pemberhentian pertama saat istirahat. Tapi ternyata, kantin tetap yang nomor satu."
"Kenapa kamu berpikir begitu, She?" tanya Rhea disertai tawa kecil.
Sheren berkedip beberapa kali seraya berkata, "Karena karakter mereka yang penuh ambisi dan selalu ingin menjadi yang pertamalah yang membuatku berpikir begitu."
"Kita sudah cukup pusing dengan mata pelajaran kita selama sehari penuh. Dan kenapa kita harus melanjutkan kepusingan itu disaat jam istirahat?" ucap Oriana. Oriana dan Arissa tiba-tiba bergabung dengan Sheren dan Rhea. Masing-masing gadis membawa nampan berisi makanan.
"Kalian sudah selesai dengan urusan festival?" tanya Rhea pada Arissa yang duduk berhadapan dengannya. Sedangkan Oriana duduk bersebelahan dengan Rhea.
"Belum. Bahkan urusan dengan festival baru dimulai sekarang. Dan masih akan sangat panjang. Jadi, kami memutuskan untuk menyimpan banyak energi untuk hari ini. Iya kan, Ris?" kata Oriana menatap Arissa dengan tatapan jenaka. Arissa mengangguk mengiyakan ucapan Oriana.
"Oh ya, kalian sudah ada rencana untuk melanjutkan kuliah di mana?"
Pertanyaan Arissa membuat Rhea dan Sheren serentak mengeluh dalam hati. Kenapa Arissa harus menyinggung topik itu? "Arissa, bisa gak sehari saja kamu gak membahas soal kuliah? Bukannya aku benci kuliah, tapi membahas topik itu hanya membuatku muak! Aku tahu kita memang harus memiliki rencana untuk masa depan. Tapi, membahas itu terus menerus membuatku muak," ucap Rhea kesal. Gadis cantik itu tidak mau repot-repot menyembunyikan rasa muaknya.
Arissa tidak tampak tersinggung. Gadis itu melanjutkan, "Aku akan melanjutkan kuliah di teknik komputer. Aku..."
"Bodo amat, Ris! Bodo amat! Kamu mau ke Mars sekalipun, aku enggak peduli!" potong Rhea kesal. Gadis itu kemudian menatap Sheren seraya berkata, "Ayo pergi dari sini, She!" Anggukan Sheren menjadi jawabannya. Rhea dan Sheren kemudian berlalu dari kantin, meninggalkan Oriana yang menatap kesal pada Arissa.
"Kamu sih Ris!"
***
Sheren pikir, setelah kejadian di kantin tadi, dia tidak akan lagi mendengar teman-temannya membahas tentang universitas dan hal-hal terkait rencana masa depan. Nyatanya dia salah. Sekembalinya dia ke kelas bersama Rhea, dia bertemu dengan Sashi dan Radinka. Dua gadis itu nyatanya tengah berdiskusi, sedikit berdebat, mengenai universitas yang baik menurut persepsi mereka masing-masing.
"Hei kalian! Berhenti memperdebatkan hal-hal seperti itu karena tidak ada gunanya. Semua universitas memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing," lerai Sheren pada dua gadis yang nyaris bertengkar itu. Sheren tak habis pikir, mengapa Sashi dan Radinka bertengkar karena itu.
"Dinka nih! Kamu tahu gak She? Pilihan Dinka itu..."
"Enggak tahu dan gak mau tahu! Lagian, sebagus apapun universitas yang akan kalian masuki nanti, semuanya percuma saja jika kalian tidak bekerja keras, ulet, disiplin, dan tekun," ujar Sheren menatap kedua gadis itu bergantian.
Radinka kini menatap Sheren dengan pandangan ingin tahu. "Kalau kamu nanti gimana? Mau kuliah di mana?" Sheren akan membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Radinka, namun kalah cepat dengan suara Shaka yang memanggil namanya. Sontak, keempat gadis itu refleks menoleh.
"Kenapa? Ada masalah, Ka?" tanya Sheren seraya berjalan menuju tempat Shaka berdiri. Shaka berdiri di ambang pintu kelas adiknya.
"Kak Adisty ada di depan gerbang sekolah. Dia jemput kamu buat latihan."
Sontak, langkah kaki Sheren terhenti. Gadis itu lalu berbalik, berjalan menuju bangkunya untuk mengambil tas ranselnya. Mendengar nama Adisty disebut, sama saja dengan sebuah komando untuk bergegas atau Mama akan marah.
"Shaka tambah ganteng aja! Memang ya, kapten selalu tampan." Celetukan Radinka terdengar saat Sheren berjalan melewati gadis itu. Sheren melirik Radinka sekilas, memberikan ekspresi wajah menghujat atas ucapannya tadi. Sedangkan Shaka hanya diam, bertingkah seolah tak mendengar celetukan Radinka. Sementara Sashi dan Rhea refleks menggeser tubuh mereka menjauh dari Radinka beberapa sentimeter.
***
"Nah saya sendiri tidak tahu apakah dia mau atau tidak. Semua keputusan ada padanya." Bu Sheila menatap Bu Winona dan Adinda dengan tatapan menyesal.
"Saya tahu itu. Makanya, Saya datang ke mari dan meminta tolong pada Anda untuk membujuknya," sanggah Bu Winona masih berusaha. Petinggi Golden Light itu bersikeras untuk membawa salah satu anak didik Bu Sheila ke agensinya. Beliau sudah tahu sepak terjang anak didik Bu Sheila tersebut.
Sebuah suara ketukan sepatu terdengar di koridor tempat Bu Winona, Bu Sheila, dan Adinda berbicara. Spontan, ketiga orang yang masih berbicara itu langsung menoleh ke sumber suara. Tak lama kemudian, sosok Adisty dan Sheren yang masih mengenakan seragam sekolah muncul dari belokan koridor. Senyum terbit di bibir Bu Sheila. Wanita itu menoleh ke arah Bu Winona seraya berkata, "Nah, ini dia Bu! Anak didik saya yang sedang kita bicarakan sedari tadi."
Sheren yang sudah berhenti tepat di samping Bu Sheila, kini menatap wanita itu dengan pandangan penuh tanya. Kemudian, gadis itu menatap Adisty yang tengah berdiri di depan Adinda sembari mengulas senyum pada Adinda. Sementara itu, Adinda menatap Adisty dengan tatapan datar dan terkesan malas. Hal itu tentu saja menimbulkan tanda tanya besar bagi Sheren.
"Halo, Sheren. Saya Winona, CEO Golden Light," sapa Bu Winona pada Sheren seraya mengulurkan tangannya.
Sheren menjabat tangan itu dengan penuh tanda tanya, genggaman tangannya tidak erat dan penuh keraguan. Bu Winona tersenyum penuh arti pada Sheren. Wanita yang menjabat sebagai CEO itu sangat paham dengan keraguan Sheren, namun beliau memilih untuk diam dan membiarkan Sheren mengutarakan sendiri keraguannya. "Saya Sheren. Senang bisa berkenalan dengan orang sehebat Anda," ucap Sheren ragu-ragu.
Bu Winona melepaskan jabatan tangan mereka. Wanita itu tersenyum ramah menatap Sheren. "Bisa saya minta waktunya sebentar?"
"Tentu bisa, Bu." Jawaban itu terdengar bukan dari mulut Sheren, melainkan dari mulut Adisty. Wanita muda itu menjawab pertanyaan Bu Winona dengan ekspresi bahagia. Sementara Sheren, akhirnya mengangguk pasrah kendati dia memiliki banyak pertanyaan di benaknya.
Bu Winona berkata, "Kamu bisa ikut saya ke restoran di depan gedung ini? Tenang saja, saya yang traktir."
"Tentu bisa, Bu," jawab Sheren singkat. Akhirnya, Bu Winona mengajak Sheren dan Adinda untuk meninggalkan gedung kursus piano ini. Sheren mengikuti Bu Winona dengan penuh tanda tanya. Dia tengah menimbang saat yang tepat untuk bertanya. Netra Sheren melirik ke arah Adinda yang berjalan tenang di sisi kirinya. Ekspresi wajah gadis itu sangat tenang, cenderung datar. Akhirnya, Sheren memutuskan untuk menyimpan pertanyaannya dan akan menanyakan hal itu di waktu yang tepat.
***
Sheren mengaduk green tea latte miliknya dengan tatapan kosong. Gadis itu jelas sedang memikirkan sesuatu yang sedari tadi mengganjal di hatinya.
"Apa kabar, Sheren?"
Sapaan hangat dari Bu Winona berhasil mengembalikan fokusnya. Gadis itu akhirnya menatap Bu Winona tepat di manik matanya. Sebuah keberanian mendorongnya untuk bertanya secara terus terang mengenai tujuan wanita itu. "Maaf sebelumnya, Bu. Saya ada pertanyaan. Apakah saya boleh mengajukan pertanyaan?"
Bu Winona mengangguk. "Tentu saja boleh! Silahkan bertanya."
"Begini Bu, ada perlu apa ya Ibu menemui saya ke sini?"
Senyum ramah terulas di bibir Bu Winona dan Adinda. Bu Winona menatap Sheren dengan ramah. Lalu berkata, "Saya dan Adinda ke mari untuk menawarkan padamu tentang audisi Golden Light. Saya mendengar dari Adinda dan beberapa koneksi saya, bahwa kemampuanmu dalam bermain piano dan mengaransemen lagu sangat mengagumkan. Saya tahu, kamu tahun kemarin menjadi juara pertama dan berhasil mengalahkan Shawn dan Adinda. Saya juga sudah mengumpulkan data mengenai kemampuanmu. Jadi, apakah kamu berminat untuk mengikuti audisi di agensi kami? Kami membutuhkan talenta sepertimu."
Sheren tertegun mendengar itu. Ditawari audisi langsung oleh CEO perusahaan besar adalah sebuah keajaiban. Apalagi, perusahaan itu adalah perusahaan impian orang-orang yang ingin menjadi musisi. Sheren menatap Bu Winona dengan intens. "Saya akan pikirkan tawaran Ibu. Karena setelah ini, saya ada kompetisi Piano."
"Di Jerman?" tanya Bu Winona.
"Di Jerman," jawab Sheren mengiyakan.
Bu Winona lalu memberikan sebuah kartu nama pada Sheren. Dan berpesan untuk menghubunginya kapan saja Sheren ingin mengikuti audisi. Kemudian, Sheren, Adinda, dan Bu Winona meninggalkan kafe untuk memulai aktivitas mereka masing-masing.
***
Surabaya, 27 Januari 2020
Hari ini, keajaiban sepertinya mulai menghampiriku. Namun, aku masih ragu-ragu untuk menerima tawaran Bu Winona. Aku tidak percaya diri dengan kemampuanku, terlebih lagi karena audisi perusahaan itu terkenal sangat sulit.