Hari ini, Sheren memutuskan untuk membolos sekolah. Sekolah sedang sibuk mempersiapkan festival. Jadi seusai absen, dia memutuskan untuk pulang dan berlatih piano. Oh tentu tidak berlatih di rumah, dia sudah memiliki janji dengan Kak Adisty untuk bertemu di akademi musik. "Rhe, aku pergi dulu ya! Aku harus berlatih piano," ucap Sheren pada Rhea yang duduk di sampingnya.
"Oke, pergilah! Nanti jika guru mencarimu, aku akan mengatakan bahwa kamu sedang berlatih piano. Omong-omong, bagaimana caramu pulang? Shaka pasti memiliki kegiatan osis kan?"
Sheren tersenyum. "Enggak usah khawatir! Aku akan pulang menggunakan taksi daring. Jadi, aku tidak perlu menunggu Shaka." Kemudian, Sheren mengambil ponselnya dari saku rok seragam. "Pergi dulu ya, Rhe!" Sepasang kaki ramping Sheren kemudian berjalan ringan meninggalkan kelasnya.
Sayangnya, yang namanya membolos tetaplah tindakan tidak baik. Sheren masih berjarak lima ratus meter dari kelasnya saat namanya dipanggil oleh seseorang. Spontan, gadis itu menghentikan langkahnya. Kemudian, Sheren berbalik badan dan netranya bertatapan dengan netra Bu Fayra yang juga tengah menatapnya. Guru muda itu sudah berdiri tepat di depan Sheren. "Pagi Bu! Apa kabar?"
Fayra Rena namanya, guru perempuan yang terkenal galak. Beliau masih muda, karena masih berusia 26 tahun. "Kamu mau ke mana?" Perempuan itu menatap Sheren sambil bersedekap. Netranya sibuk memindai si anak didik.
Tatapan matanya yang tajam membuat nyali Sheren ciut, namun dia berusaha untuk tidak gentar. "Saya mau ke studio, Bu. Saya harus berlatih piano untuk kompetisi di Jerman."
"Oh ya? Jadi yang dibicarakan Nathanael itu benar?"
"Nathanael?"
Bu Fayra mengangguk. "Iya, Nathanael kemarin bilang begitu. Dia bilang Sheren tidak bisa mengikuti festival sekolah karena persiapan lomba piano di Jerman. Nathanael mengatakan itu saat dia ditanya Pak Juan tentang alasan kamu tidak ikut festival."
"Memang benar, Bu. Saya tidak bisa ikut festival karena itu. Saya membutuhkan waktu yang banyak untuk berlatih piano."
Seulas senyum tulus terbit di bibir Bu Fayra, sepasang matanya membentuk bulan sabit. "Semangat ya, Sheren! Saya sangat berharap kamu bisa menang di kompetisi ini seperti bulan lalu. Kamu menang di Swiss kan bulan lalu?"
"Ya, Bu. Saya akan berusaha semampu saya," jawab Sheren lirih. Sebuah beban berat tiba-tiba menggelayut di kedua pundaknya.
"Ya sudah, kamu boleh pulang. Kamu pulangnya naik apa?" tanya Bu Fayra tersenyum.
Belum sempat Sheren menjawab, bunyi klakson terdengar menyapa gendang telinganya dan Bu Fayra. Gadis cantik itu refleks menoleh. Netranya melihat sebuah mobil yang sangat familiar baginya, berikut si pengemudi. Sheren kembali menatap Bu Fayra, lalu berkata, "Saya permisi dulu Bu." Setelah Bu Fayra mengangguk, Sheren berlari kecil menuju mobil itu. Sheren membuka pintu jok depan samping pengemudi, dia kemudian masuk ke mobil. Mobil itu lalu berjalan meninggalkan sekolah.
"Kok tumben kamu bisa keluar?" tanya Sheren setelah mobil berjalan.
Shaka yang tengah mengemudi tertawa kecil. "Aku bilang ke Kepala Sekolah kalau aku akan mengantarmu latihan piano."
"Dan Kepala Sekolah kasih ijin?"
"Tentu! Beliau bahkan memintaku untuk memberitahumu bahwa beliau ingin bertemu denganmu besok pagi. Oh tentu saja kamu tidak harus hadir di sekolah selama masa persiapan festival."
Sheren mengangguk, walau dalam hati dia mengeluh. Kepala Sekolah pasti memiliki ekspektasi besar terhadap dirinya. Beliau pasti mengharapkan Sheren untuk menang dan kembali mendapatkan medali seperti bulan kemarin. Asumsi ini sudah sangat membebaninya, ditambah lagi jika asumsinya ini menjadi kenyataan. Hembusan nafas lelah keluar dari mulut Sheren.
"Kenapa Dik? Ada sesuatu yang mengganjal di hatimu?"
"Enggak, enggak ada apa-apa." Sheren tentu tidak bisa mengatakan beban pikirannya pada Shaka, karena dia tahu bahwa dirinya bukanlah seseorang yang penting bagi Shaka. Akhirnya, perjalanan menuju akademi musik Sheren hanya diisi oleh suara kendaraan karena Sheren memilih untuk bungkam.
***
Jari jemarinya dengan lincah menari di atas tuts-tuts berwarna hitam putih itu. Nada-nada yang terdengar tetaplah indah, namun dia tahu bahwa dia membuat banyak kesalahan. Otaknya terus menerus memutar kenangan tentang ekspresi pengharapan dari orang-orang. Harapan tentang bagaimana orang-orang menginginkan agar dia bisa kembali menang dan membawa pulang penghargaan. Dia juga ingat dengan wajah-wajah bangga itu saat dia berhasil membawa pulang penghargaan. Orang-orang menepuk pundaknya dengan tatapan bangga. Namun entah mengapa, dia muak. Ekspresi-ekspresi itu membebaninya.
Sebuah nada sumbang terdengar di akhir lagu disertai dengan tangan Sheren yang gemetar hebat. Adisty menghela napas berat. Wanita muda itu kemudian mengambil sebotol air mineral, lalu memberikannya pada Sheren. Namun, Sheren tidak menerima botol itu. Gadis cantik itu kini tengah mengatur napasnya agar tidak tersengal-sengal.
"Sesuatu terjadi?" tanya Adisty sambil meletakkan botol itu di atas meja.
"Sesuatu terjadi setiap hari." Kemudian, Sheren berpindah tempat dari kursi di depan tuts-tuts piano ke sofa panjang di salah satu sisi di ruangan itu.
"Ada apa?"
"Ada banyak apa yang terjadi hari ini, Kak." Sheren kemudian teringat dengan sikap orang-orang di sekelilingnya yang sangat berharap padanya. Gadis itu menatap Adisty tajam. "Kak Adisty, Kakak dulu sering ya mengikuti kompetisi piano?"
Adisty mengangguk. "Tentu saja. Aku beberapa kali mengikuti kompetisi piano. Ada apa memangnya? Tumben sekali kamu bertanya soal ini."
"Lalu, kenapa Kakak tidak menjadi pianis profesional dan malah menjadi guru les piano? Prospek kerja Kakak kan cerah."
Senyuman pahit tampak di wajah cantik Adisty. Pertanyaan Sheren mengorek luka lama yang telah sembuh dikikis waktu. Wanita muda itu menghela nafas, lalu berkata, "Kamu yakin mau mendengarnya? Karena hal yang akan kamu dengar ini, mungkin saja bisa menyakitimu."
"Kalau Kakak enggak mau cerita, enggak apa-apa kok. Aku enggak memaksa Kakak untuk bercerita jika Kakak gak mau."
Adisty mengangguk, seulas senyum perih terulas di bibirnya. "Kamu percaya enggak kalau misal Kakak bilang bahwa kamu adalah cerminan Kakak? Bedanya, Mamaku adalah pengusaha barang pecah belah."
"Maksudnya?" Kening Sheren mengernyit saat mendengar kalimat Adisty.
Adisty menghela napas, perempuan itu tengah mengumpulkan keberanian untuk bercerita. "Jadi, Kakak dulu juga pianis. Kakak adalah anak nomor dua dari tiga bersaudara. Orang tua Kakak mendidik kami bertiga untuk menjadi nomor satu, selalu nomor satu. Berbagai pengharapan tersemat di pundak kami bertiga. Awalnya, aku berpikir bahwa semua hal yang terjadi di hidupku adalah berkah yang abadi. Nyatanya, aku salah. Dulu, aku selalu memasrahkan hidupku di tangan kedua orang tuaku. Aku berpikir bahwa segalanya akan baik-baik saja. Aku saat itu tidak memiliki rencana untuk masa depanku. Aku hidup hanya berpikir tentang hari ini. Hingga akhirnya, ekonomi keluargaku terguncang. Mama dan Papa sudah tidak sanggup menghidupi anak-anaknya karena usaha orang tuaku bangkrut. Kami bertiga terpaksa memutar otak kami untuk bisa bertahan hidup hingga ajal memanggil. Kakakku bekerja menjadi staf penerbit. Sedangkan adikku bekerja sebagai salah satu staf pemasaran biro perumahan. Untungnya, orang tua kami mendidik kami menjadi pribadi yang ulet. Hingga pelan-pelan, kami bisa bangkit. Satu hal yang kusesali hingga kini adalah, aku tidak memiliki rencana-rencana yang matang untuk masa depanku."
"Jadi, Kakak bekerja sebagai guru les bukan atas kehendak Kakak?"
Adisty mengangguk. "Karena cita-citaku dulu adalah menjadi pianis profesional."
"Kenapa Kakak menyerah pada mimpi Kakak? Kakak kenapa tidak mengejar mimpi Kakak?"
"Karena jalanku bukan di sana, She. Saat aku memutuskan untuk mengejar mimpi, bagaimana dengan keluargaku? Apa yang akan kami makan untuk hari ini dan keesokan harinya? Tidak ada. Saat aku memilih mengejar mimpi, itu sama dengan aku membiarkan keluargaku kelaparan."
Sheren tercenung. Gadis itu kini mulai memahami maksud orang tuanya. "Jadi, tidak semuanya seperti itu. Kebenarannya tidak seperti yang kupikir," gumam Sheren lirih.
Adisty tersenyum lembut. "Orang tua tidak selamanya benar, tapi juga tidak selamanya salah. Orang tua kita berusaha agar kita tidak salah jalan, kendati terkadang caranya tidak tepat."
Sheren menjilat bibir bawahnya dengan gusar. Sebuah perasaan bersalah menyusup ke hatinya. Jika dipikirkan dengan baik, apa yang dikatakan oleh Kak Adisty memang benar. Dan hal itulah yang membuat Sheren merasa bersalah. Rasa bersalah itu muncul karena dia selama ini sudah berpikiran macam-macam pada orang tuanya.
"Tapi She, kamu juga memiliki hak untuk menyuarakan pendapatmu jika kamu merasa orang tuamu berbuat kesalahan," imbuh Kak Adisty. "Dan lagi, komunikasi itu penting. Komunikasi yang tidak hanya dengan orang tuamu, tapi juga saudaramu."
"Saudaraku tidak suka aku."
"Oh ya? Aku rasa justru sebaliknya. Apa kamu memiliki komunikasi yang baik dengan Shaka? Dari mana asal pendapatmu itu?"
Sheren menghela napas, kemudian berkata, "Komunikasiku dengan keluargaku memang seburuk itu." Rasa-rasanya, pekerjaan rumah Sheren bukan hanya tentang berlatih piano. Namun juga tentang memperbaiki komunikasi dengan orang tuanya.
***
Surabaya, 23 Januari 2020
Aku tahu komunikasiku dengan keluargaku sangat buruk. Namun, aku tidak berani memperbaikinya karena terlalu banyak asumsi di kepalaku. Banyak asumsi yang selama ini tidak pernah kukonfirmasi langsung pada yang bersangkutan. Asumsi itu lama-lama menumpuk menjadi racun di hatiku.