Chereads / Catatan Cerita / Chapter 11 - Catatan 10: Momen Menyebalkan

Chapter 11 - Catatan 10: Momen Menyebalkan

Bangunan perkantoran itu sepi menjelang malam, sangat berbeda dengan kondisi di pagi hari hingga sore hari. Sheren memasuki gedung itu seorang diri. Dia bertemu satpam yang baru saja keluar dari kamar mandi yang berada di samping lift saat Sheren sedang memencet tombol lift.

"Selamat malam Mbak," sapa satpam itu ramah.

"Selamat malam," balas Sheren dengan intonasi datar yang monoton. Pintu lift kemudian terbuka. Sheren mengangguk pada satpam itu, kemudian memasuki lift tanpa menunggu respons dari satpam itu. Lalu, lift yang pintunya sudah tertutup secara otomatis itu perlahan naik ke atas. Tujuan Sheren kali ini adalah lantai sepuluh. Gedung perkantoran berlantai dua puluh ini adalah gedung yang disewakan pada perusahaan-perusahaan yang ingin memiliki kantor di tempat yang strategis. Gedung perkantoran ini sekarang adalah milik Mama, dan dulu adalah milik Kakek. Terkadang, Sheren tak habis pikir dengan Mama. Kenapa Mama justru sibuk mengejar karier bermusik daripada karier bisnisnya? Kakek dan Nenek mewariskan banyak bisnis untuk Mama. Namun, beliau justru memilih menjadi seorang komposer dan produser musik.

Lift yang membawa Sheren akhirnya berhenti bergerak, pertanda bahwa dia telah tiba di lantai yang dia tuju. Lalu, pintu lift terbuka. Kemudian, Sheren berjalan cepat keluar dari lift. Gadis itu kini berlari kecil menyusuri koridor sepi ini. Berbagai pemikiran horor melintas di benak Sheren saat dia berlari menyusuri koridor. Pemikiran seperti adanya hantu yang tiba-tiba saja menerkamnya dari belakang, atau sebuah tangan yang tiba-tiba muncul dari lantai dan menyeret kakinya. Begitu tiba di pintu bernomor 819, Sheren membukanya dengan tergesa lalu memasuki ruangan itu dengan tergesa. Gadis itu lalu menutup pintunya.

***

Di luar dugaan, kondisi studio musik itu justru ramai. Lampu-lampu yang terpasang di langit-langit studio menyala dengan terang. Ada delapan orang di ruangan ini, termasuk Mama. Sesaat, semua orang terkejut dengan kedatangan Sheren. Namun, keterkejutan itu tidak bertahan lama.

"She ke sini sama siapa? Kakak mana?" tanya Mama sambil berdiri dari duduknya. Wanita itu kemudian berjalan menghampiri Sheren yang berdiri di ambang pintu studio.

"Aku ke sini naik taksi, Ma. Sehabis pulang bimbel," jawab Sheren mengedip.

"Sudah makan?" tanya Mama.

"Belum." Jawaban dari Sheren membuat Mama mengerti. Wanita itu kemudian berjalan menuju meja kerjanya yang berada di samping komputer dan alat-alat rekaman. Beberapa barang berada di atas meja kerja itu, termasuk tas ransel Mama.

Om Adnan yang merupakan salah satu rekan kerja Mama kemudian berkata, "Sheren tidak ingin ikut audisi Golden Light akhir bulan?"

Sheren menggeleng seraya berkata, "Saya tidak ikut Om. Kapan-kapan saja."

Jawaban Sheren membuat Mama seketika menoleh ke arah si bungsu. Sepasang netra indah milik Mama menatap si bungsu tajam namun juga penuh tanya. "Kenapa?"

"Karena kompetisi di Jerman. Mama sendirikan yang bilang untuk memilih sesuatu berdasarkan skala prioritas? Nah, skala prioritasku adalah kompetisi itu," jawab Sheren lugas. Gadis itu kemudian melanjutkan, "Atau Mama justru ingin aku mundur dari kompetisi dan mengikuti audisi itu?"

Mama menggeleng seraya berkata, "Tidak! Mama tidak keberatan kamu mundur dari audisi itu. Lagi pula, audisi itu selalu ada setiap bulan." Mama yang sudah selesai berkemas kemudian berjalan ke arah Sheren yang masih berdiri di ambang pintu seraya membawa tasnya.

"Audisi itu ada setiap bulan? Wow, agensi itu pasti sangat kaya karena mampu membiayai karyawan yang sangat banyak," takjub Sheren.

"Begitukah? Padahal kenyataannya tidak begitu. Walau audisi diadakan setiap bulan, tidak setiap bulan perusahaan itu menerima peserta pelatihan baru. Karena apa? Karena standar mereka tinggi. Kadang, mereka baru menemukan peserta pelatihan yang cocok itu setahun sekali, atau enam bulan sekali. Bahkan dalam satu tahun tersebut, tidak ada peserta pelatihan sama sekali yang diterima oleh perusahaan itu. Yang diterima pun tidak banyak," jelas Mama sambil membelai lembut rambu panjang putrinya. Mama kemudian pulang dari studio bersama si bungsu.

***

Sheren kira setelah dia dan Mama pergi dari studio Mama, Mama akan membawanya pulang. Nyatanya, Sheren keliru. Mama tidak membawanya pulang, melainkan mengajaknya berburu kuliner di malam hari. Hal ini tentu saja membuatnya kaget, karena Mama tidak pernah mengajaknya pergi kecuali di akhir pekan. Mama kemudian mengajak Sheren memasuki sebuah warung makan yang menjual soto dan rawon sebagai menu utamanya.

"Ma, kok tumben? Mama biasanya enggak pernah mengajakku berjalan-jalan, kecuali akhir pekan," kata Sheren setelah dia dan Mama selesai memesan. Kini, Sheren dan Mama tengah duduk berhadapan menempati salah satu kursi-kursi di warung itu.

"Kenapa memangnya? Kamu tidak suka?" senyum Mama. Wanita itu menatap si bungsu dengan tatapan lembut.

Sheren menggeleng. "Bukan begitu, hanya saja ini semua tampak aneh. Mama tidak sedang merencanakan sesuatu kan?" Gadis cantik itu menatap Mama dengan tatapan penuh tanya sekaligus khawatir. Dia khawatir jika Mama memiliki rencana tersembunyi dan pada akhirnya, rawon yang akan dia makan rupanya jebakan. Karena Mama, selalu memiliki rencana tersembunyi.

"Kok gitu? Mama gak pernah ada niat begitu," senyum Mama. Wanita itu tersenyum jenaka dan menyorot sang putri dengan tatapan jenaka.

"Mama gak bohong? Benar-benar enggak bohong?" Nada bicara Sheren menyiratkan bahwa dia tidak percaya dengan perkataan Mama kendati Mama sudah membantahnya. Dan tentu Mama menyadari nada bicara penuh kecurigaan dari sang putri.

"Beneran kok. Mama hanya ingin mengajakmu untuk bersantai sejenak. Lagi pula, Shaka dan Ayah juga sedang pergi. Tentu sangat menyebalkan jika hanya kita yang tinggal di rumah bukan? Sementara, dua laki-laki itu justru bersenang-senang di luar," senyum Mama. Percakapan itu terinterupsi sejenak oleh karyawan warung soto yang mengantarkan pesanan Mama dan Sheren. Mama dan Sheren mengucapkan terima kasih pada karyawan itu, yang direspon dengan senyum manis oleh si karyawan. Kemudian, karyawan itu berlalu dari tempat yang ditempati oleh Sheren dan Mama.

"Shaka dan Ayah ke mana?" tanya Sheren sembari mengaduk rawon yang masih panas itu. Asap mengepul tipis dari mangkuk rawonnya, disertai dengan harum memikat yang berasal dari rawon tersebut.

Mama yang juga sedang mengaduk sotonya, lalu berkata , "Entahlah, katanya sih malam khusus laki-laki gitu.Sudah, tidak usah dipikirkan. Nikmati saja momen yang sekarang sedang terjadi, siapa tahu momen itu akan menjadi kenangan indah di masa depan."

"Momen kita menikmati rawon dan soto bersama, Ma?"

"Iya dong! Mama yakin sekali bahwa momen ini akan menjadi momen yang sangat indah untuk kita nanti."

"Semoga saja."

Kemudian, Mama dan Sheren menikmati makan malam mereka dengan tenang. Tidak ada lagi percakapan antara ibu dan anak itu. Yang terdengar hanyalah denting sendok beradu dengan mangkuk.

***

Sheren menyesali rasa gembira yang dia rasakan saat berada di warung tadi. Tadi, dia merasa gembira dan tenang karena Mama mengatakan bahwa beliau tidak memiliki maksud apa-apa dengan mengajaknya pergi berjalan-berjalan. Dan kini, Sheren benar-benar menyesali acara jalan-jalan malam ini. Gadis itu lupa bahwa Mama adalah musisi ternama, hampir semua orang di negeri ini tahu siapa sosok Mama. Tentu saja Mama juga memiliki banyak penggemar yang tersebar di banyak tempat, tak terkecuali dengan mall yang mereka datangi.

Baru saja Sheren dan Mama memasuki mall, orang-orang sudah berbisik sambil melirik ke arahnya dan Mama. Awalnya, Sheren masih diam saja. Namun kini, Sheren acuh dengan orang-orang di mall ini. Awalnya dimulai dari satu orang yang meminta foto dengan Mama. Kemudian, disusul oleh orang-orang lain yang datang berbondong-bondong meminta foto dengan Mama. Hingga terjadilah kerumunan menyebalkan ini. Sheren jengkel melihat kerumunan itu. Akhirnya, dia berlalu dari tempat itu dengan perasaan kesal.

Kaki-kaki Sheren kini menyusuri deretan toko-toko yang menjual sederet keperluan wanita, mulai dari baju hingga aksesoris perempuan. Sheren memutuskan untuk memasuki toko baju. Dan dia tidak peduli lagi dengan keberadaan Mama. Biarkan saja Mama mencarinya, dia tidak peduli! Karena Sheren muak dengan privasi yang selalu terusik setiap mereka pergi ke tempat umum.

Berbelanja rupanya cukup ampuh untuk menurunkan rasa kesalnya pada Mama dan kerumunan tadi. Kini, Sheren justru asyik menikmati waktunya sekarang. Di tangan kirinya, terdapat beberapa potong baju bermodel terusan selutut, kemeja, rok pendek, serta celana panjang berbahan jeans. Sheren bahkan tidak mengacuhkan getar ponsel di kantung jaketnya. Ponselnya terus bergetar sejak sepuluh menit yang lalu. Tapi dia tidak peduli.

Kini, Sheren memutuskan untuk membayar belanjaannya. Dia merasa ini sudah cukup dan dia harus pulang. Sheren telah mendapatkan baju-baju yang dia inginkan. Setelah membayar, Sheren berlalu dari mall itu. Dia pulang menggunakan taksi daring yang dia pesan melalui aplikasi di ponselnya. Omong-omong soal ponsel, ada dua puluh panggilan tak terjawab dari Mama.

***

"She, bisa gak kamu mengangkat setiap telepon yang masuk ke ponselmu?! Mama khawatir dengan keselamatanmu tadi! Apa susahnya sih menelepon Mama untuk mengatakan di mana posisimu tadi?" Mama menatap si bungsu dengan tatapan kesal bercampur lega. Kini baik Sheren, Mama, Shaka, dan Ayah telah berada di rumah. Lebih tepatnya lagi, mereka berada di kamar Sheren. Tadi, Mama mengabarkan pada Shaka dan Ayah bahwa Mama terpisah dari si bungsu dan gadis itu sama sekali tidak bisa dihubungi. Maka dari itu, Ayah dan Shaka bergegas pulang untuk mencari di mana Sheren berada.

Sheren memutar bola matanya malas, dengusan kesal keluar dari bibir Sheren disertai seringai di bibirnya. "Mama tahu? Setiap kali aku pergi dengan Mama, aku tidak pernah menikmati momen itu. Selalu dan selalu, momen menyebalkan itu datang! Aku tahu Mama terkenal, dan aku tidak peduli dengan itu! Sangat tidak peduli. Tapi, aku peduli dengan privasiku. Mama yang bilang padaku bahwa aku harus menghargai setiap momen yang ada. Nyatanya, apa Mama pernah menghargai momen yang ada denganku? Pernah?" Tawa sumbang terdengar dari bibir Sheren, " Tentu saja tidak! Mama tidak pernah menghargai itu dan aku tahu itu! Mama selalu memilih untuk meladeni orang-orang yang meminta foto dengan Mama dan menghabiskan waktu yang sangat sedikit itu hanya untuk meladeni orang berfoto."

"She, bukan begitu! Mama hanya..."

"Hanya apa? Hanya terlalu takut untuk mengatakan bahwa keluarga adalah prioritas? Atau terlalu takut untuk mengatakan bahwa Mama tidak menyayangiku padahal tindakan Mama sudah menjelaskan segalanya?!" Sheren tidak membiarkan Mama menyelesaikan kalimat sanggahan beliau. Karena Sheren tahu, Mama pasti akan membela diri.

"She, dengarkan dulu ya? Mama menyayangimu, Nak! Sama seperti Mama menyayangi kakakmu!"

"Keluar dari kamarku!!!KELUAR SEKARANG!!!KELUAR KALIAN!!!! Aku tidak mau lagi mendengar kata-kata penuh kebohongan dari kalian!" Teriakan amarah Sheren terdengar memekakkan telinga. Shaka dan Ayah bergegas membawa Mama keluar dari kamar Sheren sebelum gadis itu benar-benar mengamuk.

"AISH!!!!MENYEBALKAN!!!!SEMUANYA PEMBOHONG!!!!" Teriakan penuh amarah kembali terdengar. Kali ini, tingkat muak Sheren sudah berada di ambang batas. Dia muak dengan segala hal yang berbau publikasi. Mama, Ayah, dan Shaka adalah orang-orang yang tidak pernah menganggapnya menjadi bagian penting dalam hidup mereka. Hal itu bisa dilihat dari tindakan mereka. Mama yang selalu lebih peduli dengan pekerjaan dan penggemarnya. Shaka yang tidak pernah peduli pada masalah Sheren, namun dia menjadi orang pertama yang mengulurkan tangan jika orang lain terkena masalah. Dan Ayah yang lebih peduli pada perusahaannya. Namun, demi menutupi ketidakpedulian itu, mereka berulang kali membohongi Sheren dengan mengucapkan kalimat bahwa mereka mencintainya ribuan kali seumur hidupnya.

***

Surabaya, 21 Januari 2020

Aku tahu mereka tidak menyayangiku.Bagi mereka, aku hanyalah orang yang kebetulan dilahirkan dalam keluarga ini. Dan sekali lagi, Mama membuatku semakin membencinya. Berulang kali Mama mengatakan untuk menikmati momen-momen ketika bersamanya dan membuat kenangan indah. Namun Mama justru sengaja membuang momen-momen itu dengan menghabiskan waktu untuk meladeni permintaan berfoto orang-orang yang datang padanya. Dan ini tidak hanya terjadi satu kali, namun sudah terjadi sebanyak ratusan kali.