Hari ini adalah hari di mana beberapa universitas ternama akan mengadakan penyuluhan bagi siswa-siswi kelas sepuluh, termasuk kelas Sheren. Penyuluhan ini selalu dilakukan setiap tahun untuk seluruh tingkatan kelas, dimulai dari kelas sepuluh hingga dua belas. Terlebih lagi, ini adalah hari Jumat. Yang berarti seluruh kegiatan di sekolah akan berakhir pada pukul 11.00.
Perwakilan pertama datang dari sebuah universitas swasta terkemuka di Indonesia. Perwakilan universitas tersebut adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan. Sheren menatap perwakilan universitas itu dengan pandangan datar, sementara Rhea memandang para perwakilan itu dengan pandangan antusias. Sheren melirik teman sebangkunya itu seraya berkata, "Kamu mau melanjutkan di universitas ini?"
"Universitas ini menjadi pilihan keduaku jika aku tidak lolos seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri," bisik Rhea dengan pandangan berbinar. Kemudian, gadis itu melanjutkan, "Kalau Sheren sendiri mau melanjutkan di mana?"
"Aku? Entahlah. Rencanaku setelah lulus SMA adalah melakukan hobiku," jawab Sheren tak acuh.
Rhea kini menatap Sheren dengan pandangan penuh tanya. "Kamu ingin melanjutkan kuliah di jurusan musik klasik? Di mana? Jerman? Italia?"
"Siapa bilang aku akan melanjutkan kuliahku di jurusan musik. Setelah lulus, aku akan mendalami hobiku lebih dalam. Selama ini aku hanya bisa melakukannya dengan sangat sedikit," jawab Sheren santai. Binar matanya menampilkan tatapan jenaka.
"Memasak? Mendesain baju? Arsitektur? Teknik fotografi?" tanya Rhea antusias.
"Rebahan. Aku akan mendalami hobi rebahanku," jawab Sheren santai. Jawaban Sheren sukses membuat Rhea tercengang. Gadis cantik itu sama sekali tidak menyangka bahwa Sheren akan menjawabnya dengan jawaban demikian. Rebahan katanya? Gadis ini tengah bercanda!
Sebuah suara sapaan seorang wanita di depan kelas membubarkan bising obrolan para siswa. Akhirnya, penyuluhan mengenai universitas pun dimulai.
***
"Shereeeennnn, jangan bercanda dong! Gak lucu tahu!"
Rhea terus memberondongnya tentang hal yang dia katakan tadi. Gadis berambut coklat itu terus saja membahas masalah itu sejak penyuluhan selesai. Kini, mereka tengah berada di atap sekolah setelah membeli beberapa makanan yang dibungkus untuk dibawa ke atap.
"Rhea, kamu udah mendapatkan jawabannya tadi."
Rhea menatap Sheren tak percaya. Sementara yang ditatap justru tengah menikmati setusuk sempol goreng.
"SHEREENNNNNN!"
Tawa geli meluncur dari bibir mungil Sheren. Teriakan gemas tadi terdengar sangat lucu di telinga Sheren. Kini, gadis itu menatap Rhea dengan atensi penuh. "Iya Rhe, aku serius. Itu tadi bukan candaan," jawab Sheren.
"Ck, jangan bercanda tentang masa depan! Masa depanmu bukan untuk bercandaan!" sentak Rhea mulai emosi.
Sheren mengangkat bahunya dengan tatapan acuh tak acuh. Tangan kanannya kini kembali mengambil setusuk sempol goreng dari dalam kantung plastik. "Aku serius. Cita-citaku setelah lulus nanti adalah mendalami hobi rebahanku AHHHHH!" Sebuah tangan mencubit pipi kiri Sheren secara tiba-tiba. Hal itu tentu saja membuatnya kesakitan.
"Jangan bercanda seperti itu! Jangan pernah mengucapkan hal-hal aneh tentang masa depanmu karena bisa saja itu menjadi kenyataan," ucap Shaka kesal sembari melepaskan cubitannya dari pipi sang adik.
Namun, Sheren justru salah fokus dengan tidak adanya Sashi di sekeliling Shaka. "Ke mana dia? Tumben sendirian? Nanti dia sedih karena tidak punya teman, lalu nangis," ledek Sheren. Kemudian, dia memakan sempol yang berada di tangan kanannya.
"Siapa yang kamu bicarakan?" tanya Shaka sambil mengambil sebotol teh kemasan dari dalam kantung plastik Sheren. Shaka berada di atas atap bersama beberapa temannya, termasuk Theresa. Rombongan itu terlihat membawa beberapa kantung plastik, laptop, serta buku.
Hal itu tentu saja menarik perhatian Sheren. "Kalian kenapa ada di sini membawa buku?" tanya Sheren pada Theresa. Kemudian, gadis itu beralih menatap Shaka, "Orang yang kumaksud adalah Sashihara Reynara."
Shaka yang tengah meneguk teh botol kemasan itu kemudian menyudahi minumnya, menyisakan teh yang masih separuh. "Hidupku tidak hanya melulu bersama dia. Jadi, ya sudahlah. Toh dia bukan siapa-siapaku."
Sheren menatap Shaka dengan pandangan aneh. Namun Shaka tidak peduli, pemuda itu lalu berkata, "Kami akan mengadakan rapat osis di sini. Oh ya, mana ketua kelas kalian? Harusnya dia ada di sini sekarang."
"Rapat untuk agenda apa?" tanya Sheren penasaran.
Respon penasaran yang ditunjukkan oleh Sheren justru mengundang tatapan jenaka dari Shaka. Pemuda itu kemudian mencubit pipi kiri Sheren dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang botol teh kemasan. "Adududuh, kepo sekali adikku ini ya!"
Suara tawa muncul di belakang Shaka. Ya, itu adalah teman-teman Shaka yang tengah tertawa melihat interaksi Shaka dan adiknya. Pemandangan di depan mereka sekarang adalah pemandangan yang hangat dan juga menggemaskan. Terlebih dengan reaksi Sheren yang kini cemberut.
"Shaka! Lepas!"
Shaka menuruti ucapan adiknya. Dia melepaskan cubitannya pada pipi Sheren. Pemuda itu kemudian menatap Sheren dengan tatapan teduh. Dan tatapan itu justru membuat Sheren jengkel. Tatapan itu adalah tatapan yang sama dengan yang diberikan Shaka pada Sashi, dan Sheren tidak suka itu! Dia kini membenci apapun yang berkaitan dengan Sashi karena gadis itu telah mengatainya bodoh!
"Kamu setelah ini tidak usah masuk kelas lagi. Karena setelah istirahat pertama, sekolah akan memulangkan siswanya lebih awal karena guru-guru akan mengadakan rapat," ucap Shaka lembut.
Mendengar hal itu, membuat Sheren kesal. "Dan kamu akan rapat osis, benar? Baiklah, aku akan pulang jalan kaki dan menikmati kesepianku sebagai daun terakhir di pohon. Baik!"
"Kamu bisa tunggu di kafeku, She," usul Rhea. Gadis cantik itu memang memiliki bisnis kafe kekinian di salah satu daerah di Surabaya. Setiap ada waktu luang, Rhea selalu berada di kafe yang dia miliki itu. Orang tuanya memberikannya sebuah kafe untuk dikelola dan sebagai tambahan uang jajan untuk Rhea.
"Enggak Rhe, makasih. Aku akan bersama baby blossomku saja. Kamu tidak perlu khawatir," tolak Sheren sambil mengibaskan tangannya.
"Setelah ini, Kakak antar kamu pulang dulu," ucap Shaka.
***
Suara dentingan piano terdengar mengalun lembut dan indah. Sebuah lagu yang memiliki makna tentang kasih sayang. Sheren menekan tuts-tuts pianonya dengan tekanan yang tepat. Tidak terlalu keras, namun juga tidak terlalu ringan. Shaka telah kembali ke sekolah setelah mengantarkannya pulang. Dan kini, Sheren seorang diri di rumah. Hanya ditemani oleh Baby Blossom yang merupakan nama dari grand pianonya.
"Wah, permainanmu tidak pernah buruk," ucap sebuah suara yang tiba-tiba mengagetkannya. Suara itu membuat Sheren spontan berhenti bermain sembari menatap ke arah sumber suara itu. Sashihara Reynara tengah menatapnya dengan pandangan jenaka, alis kanannya naik beberapa inchi.
"Mau apa kamu ke mari?!" Katakan saja Sheren tidak tahu diri. Namun, gadis itu masih sangat kesal pada Sashi karena menghinanya dengan sebutan bodoh. Sheren sangat kesal saat seseorang memanggilnya dengan sebutan itu.
Tanpa dipersilahkan untuk duduk, Sashi justru menduduki sofa di ruang musik itu dengan nyaman. Hal itu membuat Sheren jengkel karena Sashi bertindak seolah-olah dia ada di rumahnya sendiri. "Kamu belum menjawab pertanyaanku, Sashihara Reynara! Jika tujuanmu adalah Shaka, maka aku tidak akan memberikanmu jalan untuk itu," geram Sheren.
Sashi justru menatap Sheren dengan pandangan jenaka, gadis berambut hitam dengan panjang sebahu itu tampak tidak tersinggung dengan kata-kata Sheren. "Aku ke sini karena ada seseorang yang merasa kesepian di rumahnya karena seorang diri."
"Jangan mengada-ada!"
Sashi tersenyum lembut. "Buat apa aku mengada-ngada? Aku hanya ingin berada di sini bersama temanku."
Sheren tersenyum sangsi. "Bukankah kami sudah kamu masukkan ke dalam daftar orang-orang bodoh bikinanmu?"
"Hati manusia gampang sekali berubah-ubah, Sheren sayang. Awalnya memang iya, aku memang memasukkanmu dan Rhea ke dalam daftar orang-orang bodoh buatanku. Tapi, aku juga sadar bahwa justru aku sangat rugi karena melepaskan teman-teman seperti kalian. Orang-orang tulus pasti meninggalkan kesan tersendiri dan kesan itu abadi," kata Sashi menatap Sheren dengan tatapan lembut. Ya, sejujurnya dia memang menyesal.
"Dan lagi, membuat masalah dengan kapten karate dan taekwondo sekolah kita cukup menyeramkan," lanjut Sashi.
Pernyataan Sashi membuat Sheren heran. Memang, kenapa dengan Theresa dan Shaka? Sheren tahu bahwa kapten karate sekolah sekarang adalah Theresa, dan Shaka menjabat sebagai kapten taekwondo. "Dan hubungannya denganmu?" tanya Sheren tak mengerti.
Pertanyaan Sheren membuat Sashi mendengus kesal. "Haduh Sheeee! Kemarin, Theresa dan Shaka melabrakku. Enggak bersamaan sih. Shaka memarahiku dengan kata-kata tajamnya, dia enggak berteriak-teriak emosi kok. Tapi, itu lebih menyakitkan karena kata-kata yang sangat tajam. Sementara Theresa, dia terang-terangan meneriakiku," ujar Sashi bergidik ngeri.
"Kenapa Resa melabrakmu? Dia kan gak begitu kenal aku," ucap Sheren masih tidak mengerti.
Kini, Sashi menatap Sheren dengan pandangan kaget. "Kamu gak tahu?!"
"Tahu apa?"
"Shaka dan Theresa pacaran! Seluruh sekolah sudah tahu itu!"
Sheren tercengang, gadis cantik itu tidak tahu menahu soal kisah cinta Shaka. "Enggak, aku gak tahu. Ya sudahlah kalau mereka memang pacaran." Kemudian, Sheren kembali fokus pada pianonya. Dia tidak mengacuhkan keberadaan Sashihara yang kini menatapnya sembari menopang dagu.
***
Hari sudah malam, makan malam pun telah usai. Sedari sore tadi, Sheren terus memperhatikan Shaka dengan tatapan curiga. Dan kini, tatapan itu semakin jelas karena mereka berada di ruang keluarga. Shaka tengah bermain game dengan Ayah, sementara Sheren tengah berbaring di sofa panjang di ruangan itu.
Shaka tidaklah bodoh, dia tahu bahwa sang adik sedari tadi terus menatapinya dengan pandangan menusuk. "Ada apa, Dik?" tanya Shaka sambil tetap terfokus pada layar televisi yang menampilkan permainan game yang dimainkan oleh Shaka dan Ayah.
"Besok anterin ke mall," ucap Sheren sambil tetap menatap Shaka tajam.
"Oke, jam berapa?"
"Tunggu Rhea sampai di sini. Enggak perlu ditungguin."
"Oke, pulangnya Kakak jemput," jawab Shaka masih terfokus pada layar televisi.
"Memang Adik tidak ada kompetisi piano? Kemarin, Adisty ke rumah dan meminta kelengkapan berkas untuk kompetisi di Jerman," ucap Mama mengambil alih atensi Sheren.
Sheren mengerang kesal mendengar ucapan Mama. Kenapa Mama begitu terobsesi dengan piagam pada kompetisi piano? "Iya Ma. Cuma sekali ini saja," ucap Sheren dengan nada malas.
Mama memandang putri bungsunya dengan tajam. "Mama kasih ijin. Tapi, Kakak harus ikut menemani kamu. Dan tidak boleh lebih dari jam tiga sore. Lalu, kamu juga harus latihan empat jam lebih banyak. Mengerti?"
Sheren seketika duduk di sofa yang tadi dia gunakan sebagai tempatnya berbaring. Gadis cantik itu menatap Mama dengan tajam. "MA! Aku tidak pergi berhari-hari lho! Kenapa Mama begini sih?! Aku juga jarang pergi main!"
Tidak ada kegentaran sedikit pun di mata Mama kendati si bungsu tengah menatapnya dengan penuh amarah. "Karena saat kamu bersenang-senang dan bersantai, jutaan orang di luar sana tengah bekerja keras untuk mendapatkan apa yang kamu dapatkan sekarang. Dan jutaan orang di luar sana beribu langkah lebih maju dari kamu saat kamu bersantai."
Sheren ingin membantah kalimat Mama. Tapi, dia kembali menelan bantahannya karena dia tahu bahwa dia tidak memiliki jalan lain untuk bisa keluar dari masalah ini. Jadi, Sheren memilih diam dan menelan semuanya sendiri. "Oke. Aku setuju."
***
Surabaya, 17 Januari 2020
Apakah aku memang tidak memiliki hak untuk menikmati hidupku walau hanya beberapa jam saja? Kenapa aku harus hidup dengan sangat terburu-buru? Apa yang aku kejar?