"Shaka!"
Shaka menoleh ke sumber suara yang memanggilnya. Begitu pula Sashi. Shaka dan Sashi memang sedang berjalan berdua di koridor sekolah. Mereka melihat Sheren tengah berlari kecil ke arah Shaka. Rambut panjangnya ikut beterbangan kecil mengikuti gerakan larinya. Ekspresi wajah Sheren yang tadi biasa saja, kini tampak heran sekaligus marah.
"Ada apa, Dik?" tanya Shaka heran. Pasalnya, Shaka melihat wajah adiknya tampak heran dan juga marah disaat yang bersamaan. Hal ini tentu membuat Shaka bertanya-tanya. Apa dia melakukan kesalahan? Apa dia melakukan sesuatu yang menurut adiknya sangat fatal? Apa Sheren marah karena tadi pagi dia menarik selimut adiknya dan memaksanya bangun pagi? Tapi dia merasa itu adalah hal wajar yang harus dilakukan. Jika dia tidak melakukannya, bisa dipastikan mereka akan terlambat.
Sheren masih menatap Shaka dari ujung kaki hingga ujung rambut, seolah-olah kakaknya itu telah melakukan tindakan kriminal. Ha itu tentunya membuat Shaka resah. "Kenapa sih, Dik? Ada sesuatu ya di wajah Kakak?" tanya Shaka akhirnya.
"Enggak. Oke, mana keyboardku yang tadi Kakak pakai buat praktek? Nanti seteah istirahat kedua, aku ada praktek ujian seni menggunakan aat musik," ucap Sheren datar. Manik matanya menatap lekat pada Sashi kendati muutnya berbicara pada Shaka. Hal itu tentunya tidak luput dari perhatian Shaka, namun dia tidak akan menanyakan hal ini sekarang.
"Ada di dalam kelas Kakak. Kakak ambil dulu ya? Kamu mau ikut ambil atau tunggu di sini?" tawar Shaka pada adiknya. Sheren menatap langit-langit koridor sejenak, kemudian menatap Kakaknya seraya mengangguk. Lalu, Shaka menatap Sashi seraya berkata, " Aku mau ambil keyboard adikku dulu. Kamu tunggu di sini atau mau pergi dulu ke kantin?"
"Aku duluan aja Ka. Nanti kamu nyusul ya?" kata Sashi. Shaka mengangguk. Lalu, Sashi berjalan meninggalkan koridor sekolah. Shaka kemudian menepuk pundak adiknya, memberi kode pada adiknya untuk mengikutinya. Sheren mengangguk. Remaja kembar itu kemudian berjalan meninggalkan koridor sekolah.
***
Kelas Shaka tidak benar-benar sepi saat jam istirahat. Beberapa siswa terlihat berlalu lalang di kelas. Beberapa dari mereka tampak tengah menikmati makan siang mereka di kelas karena mereka membawa bekal.
"Kakak ke lemari penyimpanan itu dulu. Kamu bisa duduk di bangku Kakak."
Sheren mengangguk. Kemudian, dia berjalan menuju meja Shaka sementara saudaranya itu berjalan menuju lemari penyimpanan khusus siswa yang berada di belakang kelas. Bangku Shaka berada pada deretan nomor dua dari depan. Di depan bangku Shaka, seorang remaja perempuan berambut lurus sepundak dan berkacamata tengah sibuk membaca buku. Lalu, Sheren memilih mendekati gadis itu ketimbang duduk di kursi Shaka.
"Hai," sapa Sheren.
Sapaan Sheren membuat gadis itu menoleh padanya. Kemudian, seulas senyum cerah terulas di bibir manis gadis itu. Tatapannya menyiratkan tatapan persahabatan yang ramah. "Sini duduk sini," ucapnya sambil berpindah menuju kursi kosong di sebelahnya.
Sheren menduduki kursi itu sambil tersenyum manis. Gadis ini bernama Theresa. Teman sekelas Shaka sekaligus sahabat kakaknya, karena Sheren sering bertemu gadis ramah ini di rumah. Manik mata Sheren kemudian menatap lekat Theresa, kedua tangannya tengah menopang pipinya yang gembul.
"Ada sesuatu di wajahku?"
Sheren menggeleng sembari tersenyum manis saat mendengar pertanyaan Theresa. Gadis itu rupanya risih saat Sheren menatapnya dengan intens. "Resa, boleh aku tanya sesuatu?" Anggukan dari Theresa memberi Sheren lampu hijau untuk bertanya. Sheren menoleh ke arah Shaka sebentar, dan dia mendapati kakaknya tengah berbincang-bincang sambil menuliskan sesuatu di buku. Sheren kemudian kembali menatap Theresa sambil berkata, "Shaka ada hubungan apa sama Sashi?"
"Kenapa kamu tanya begitu? Ah! Shaka diikuti oleh Sashi ya?"
"Iya benar. Dia bergentayangan seperti hantu di sekitar Kakakku. Hal itu enggak wajar menurutku. Sashi memang mengenal Shaka, tapi tidak dalam tahap seintens itu."
Theresa tersenyum mendengar pernyataan Sheren. Gadis itu kemudian berkata, "Sashi mengikuti Shaka karena dia merasa kesepian dan tidak memiliki teman. Kemarin, dia datang ke mari menemui Shaka. Setahuku, dia menceritakan masalah yang dihadapinya pada Shaka. Aku sempat mendengar sekilas lalu dari Shaka bahwa kalian sedang bermusuhan dan Sashi dikucilkan oleh teman sekelas kalian."
"Kenapa Shaka melakukan itu pada Sashi?"
Theresa mengernyit mendengar pertanyaan Sheren, kemudian dia menjawab, "Tidak ada hal spesial sih. Shaka hanya ingin membantu Sashi agar dia tidak merasa kesepian di sekolah. Ada hal yang ditutupi oleh Sashi ya?"
"Iya, kamu dan semua orang mungkin melupakan sebuah fakta bahwa Sashi suka sekali memandang rendah orang-orang. Oriana, Adeline, dan sekarang aku dan Rhea. Kami semua merasa muak dengan tingkah laku Sashi yang melampui batas," geram Sheren, " Kamu tahu apa saja yang..."
"Dik, ini keyboardnya."
Percakapan itu terhenti karena kedatangan Shaka yang tiba-tiba. Sheren menoleh pada Shaka sekilas, lalu kembali menatap Theresa seraya berkata, "Dia bukan korban sesungguhnya, Resa." Kemudian, Sheren berdiri dari duduknya sambil mengambil alih keyboardnya dari Shaka. Tanpa banyak kata, Sheren lalu meninggalkan kelas itu.
***
Kalimat Theresa tadi terus terngiang-ngiang di benak Sheren. Sheren tidak bodoh untuk tidak menyadari maksud dari tindakan Shaka. Bagi Shaka, Sheren hanyalah seorang anak perempuan yang kebetulan saja bertalian darah dengannya. Untuk Shaka, Sheren bukanlah seseorang yang penting karena selama ini, Shaka tidak pernah peduli dengan masalahnya. Shaka juga tidak pernah membantu Sheren menyelesaikan masalahnya. Kenyataan ini membuat hati Sheren terasa sakit.
"She, Sheren? Sheren!"
Sheren terkejut akibat sebuah suara teriakan menyapa gendang telinganya dengan mendadak. Gadis itu kemudian menatap Rhea yang tengah menatapnya dengan tatapan khawatir bercampur kesal. "Kamu kenapa She? Ada masalah?"
Lebih baik, Rhea tidak tahu akan hal ini, batin Sheren. Gadis itu kemudian tersenyum manis sambil menatap Rhea. Secara gestur, Sheren mengirimkan sinyal pada Rhea bahwa dirinya baik-baik saja. "Aku enggak apa-apa kok. Habis ini pelajaran musik kan? Ayo ke studio." Sheren kemudian bangkit. Lalu, gadis itu menggeret kecil lengan Rhea. Sebenarnya, Rhea memiliki sebuah pertanyaan yang tersimpan di benaknya. Namun, dia memilih bungkam karena dia tidak ingin melangkahi privasi Sheren.
***
Pelajaran seni musik kali ini adalah setiap siswa harus bisa mengaransemen lagu yang sudah diberikan pada masing-masing siswa dan memainkannya menggunakan alat musik yang disukai oleh masing-masing siswa. Rhea memilih viola, Sashi dengan gitarnya, sementara Sheren tentu saja dengan keyboardnya. Kali ini, dia memilih untuk tidak menggunakan grand piano kendati pihak sekolah menyediakan grand piano di studio musik sekolah.
Sheren ingin sekali tertawa karena permainan piano yang dilakukan oleh salah seorang teman sekelasnya. Permainan piano itu terlalu terburu-buru dan tidak sesuai tempo. Aulia bahkan berulang kali melakukan kesalahan secara beruntun. Dan sepertinya, Aulia tidak menyadari kesalahannya. Telinga kanan Sheren menggunakan airpod yang terhubung dengan ponselnya. Dan ponsel itu tengah memainkan lagu yang sama dengan yang dimainkan oleh Aulia, sementara telinga kiri Sheren dia gunakan untuk fokus mendengarkan permainan piano Aulia yang menurutnya berantakan.
Akhirnya, permainan piano Aulia berakhir. Sheren menghembuskan napas penuh kelegaan kala permainan Aulia benar-benar berakhir. Adeline mencolek lengan kanan Sheren sembari tersenyum jenaka. Baik Adeline maupun Sheren sama-sama memahami musik, karena Adeline telah lebih dulu bergabung menjadi pemain biola dari sebuah orkestra terkenal. Jadi, mereka sangat bisa menilai kemampuan bermusik rekan-rekannya. Dan kini, giliran Sashi. Gadis cantik itu maju ke panggung mini yang sengaja dibuat untuk praktik musik.
"Selamat siang, Ibu Marissa dan teman-teman sekalian. Kali ini, saya akan membawakan sebuah lagu dari seorang musisi klasik terkenal," ucap Sashi dengan gaya yang meyakinkan.
Adeline dan Sheren seketika langsung duduk tegak begitu mendengar kalimat Sashi. Apalagi setelah Sashi menyebutkan judul lagu yang akan dia mainkan. Lagu itu merupakan lagu favorit Sheren. Atensi Sheren dan Adeline kini benar-benar terfokus pada Sashi.
Intro dimulai. Petikan gitar Sashi terdengar ringan. Jemari lentiknya menekan kunci gitar dengan tekanan yang tidak terlalu keras dan tidak terlalu ringan. Cukup lumayan untuk ukuran amatir.
"Lumayan bagus untuk ukuran amatir," gumam Sheren menatap Sashi dengan tajam.
Adeline mengangguk setuju seraya berkata, "Cara dia memetik gitar cukup bagus untuk ukuran amatir. Tapi, kunci-kunci gitarnya terlalu monoton. Tidak ada variasi baru sejak awal lagu. Setahuku, lagu aslinya memiliki banyak variasi nada kan?"
"Sashi mencari aman dengan menggunakan nada-nada yang diulang-ulang dan tidak ada variasi nada tinggi, rendah, dan nada kejutan lainnya karena dia kesulitan menggerakkan jemarinya mengikuti kunci-kunci itu jika dia melakukan banyak variasi nada. Dan bisa dipastikan bahwa dia akan melakukan kesalahan jika dia melakukan itu," angguk Sheren.
Akhirnya, penampilan Sashi telah selesai. Kini, tiba giliran Adeline untuk maju. Sheren bertepuk tangan riang kala melihat Adeline berjalan menuju panggung mini. "ADELINE GABRIELLA, SEMANGAT!" teriak Sheren riang. Adeline memberikan tanda 'love sign' yang sedang viral akhir-akhir ini pada Sheren saat dia telah tiba di atas panggung mini. Hal itu tentu saja mengundang tawa dari Sheren dan beberapa siswa di sini.
Kemudian, Adeline memejamkan mata sejenak. Gadis itu menarik napas dalam dan teratur. Kedua kelopak matanya terbuka. Kini, pandangan matanya berubah. Hal itu tentu saja disadari oleh Sheren. Seulas senyum terbit di bibir gadis cantik itu. Lalu, sebuah nada yang sangat menenangkan dan indah terdengar dari dawai dan biola yang dimainkan oleh Adeline. Ekspresi wajah Adeline kentara sekali bahwa dia sangat menikmati permainannya. Adeline mencintai musik. Sheren tahu itu karena dia sendiri sangat mengenal ekspresi itu.
Saat seseorang tengah terhanyut dalam keindahan sebuah musik, orang itu tidak akan pernah menyadari berapa lama waktu yang dia habiskan untuk mendengarkan musik tersebut karena keindahan itu menyita fokusnya. Dan itulah yang terjadi sekarang. Desah kecewa dari para siswa terdengar saat Adeline mengakhiri permainan biolanya. Lalu, tepuk tangan meriah diberikan para siswa untuk Adeline. Adeline tersenyum riang mendengar itu.
Kini, tiba saatnya giliran Sheren. Gadis itu sudah berada di panggung mini yang tadi digunakan oleh Adeline. Sebelum memulai, Sheren menatap keyboardnya dengan pandangan riang seraya berbisik, "Ayo mulai, Baby!"
"Selamat siang, Ibu Marissa dan kawan-kawan yang saya sayangi. Untuk permainan kali ini, Saya bersedia membuka permintaan lagu dari kawan-kawan maupun Ibu Marissa," ucap Sheren. Gadis itu sengaja melakukan ini karena sejujurnya, lagu favoritnya telah dimainkan oleh Sashi. Jadi, dia harus memutar otak untuk menunjukkan kualitasnya dan juga agar dia tidak dibandingkan dengan Sashi.
Ibu Marissa menatap Sheren seraya berkata, "Kamu tahu lagu soundtrack dari film bajak laut yang terkenal itu?"
"Saya tahu, Bu. Ibu ingin Saya memainkan lagu itu?" tanya Sheren sembari meletakkan kedua tangannya di atas tuts-tuts hitam putih itu.
"Iya, satu saja. Itu pun jika kamu bisa. Bagaimana?" tawar Bu Marissa menatap Sheren dengan senyum menantang. Wanita itu tahu persis mengenai kemampuan Sheren karena suaminya adalah rekan kerja Ibu Sheren dan wanita itu selalu memasang foto-foto kemenangan anak-anaknya dalam sebuah kompetisi di ruang kerjanya.
Sebuah intro terdengar menyapa telinga para pendengar yang ada di ruangan ini. Intro yang berasal dari lagu pengiring sebuah film bajak laut yang terkenal. Intro itu telah digubah oleh Sheren. Studio musik itu seketika hening, bahkan suara detik jam dinding yang berada di dinding studio seolah ikut berhenti. Hanya suara dari keyboard Sheren saja yang terdengar. Begitu indah, megah, dan juga elegan. Permainan musik Sheren membuat orang-orang itu hanyut dalam lagu itu. Sesekali, nada-nada tinggi terdengar, begitu pula nada rendah. Kadang, jemari Sheren menari dengan sangat cepat di atas tuts-tuts hitam putih itu. Namun, ada kalanya menari dengan sangat lambat. Permainan itu menggambarkan berbagai macam ekspresi manusia melalui musik. Terakhir, Sheren mengakhiri permainannya dengan nada rendah yang halus. Tangan kanannya terangkat ke udara setelahnya. Sebuah senyum terukir di bibirnya. Senyum yang membuat semua orang mengerti betapa dia mencintai musik sebanyak dia mencintai keluarganya. Musik adalah pusat dunia Sheren.
Tepuk tangan meriah terdengar dari kawan-kawannya. Beberapa dari mereka terlihat terharu dan juga bahagia. Ibu Marissa ikut bertepuk tangan dengan tatapan bangga yang tertuju pada Sheren. Melihat reaksi teman-temannya, membuat Sheren tersenyum. Hatinya selalu terasa hangat saat dia melihat orang-orang dapat menikmati musiknya dengan sepenuh hati.
***
Surabaya, 16 Januari 2020
Sebuah kehangatan kecil namun penuh makna selalu aku rasakan saat aku melihat reaksi orang-orang mengenai musikku. Karena aku tahu mereka menghargai musikku.